BAB I
THAHARAH
I.
PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah berarti bersih (nadlafah),
suci (nazahah) terbebas (khulus) dari kotoran (danas).
Seperti tersebut dalam surat Al-A’raf
ayat 82
إنّهم انا س يتطهّرون Yang artinya : “ sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri“. Dan pada surat al- baqorah ayat 222.
إنّهم انا س يتطهّرون Yang artinya : “ sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri“. Dan pada surat al- baqorah ayat 222.
Yang artinya : “sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri“.
Menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat (menghilangkan) penghalang yang timbul dari hadats dan najis. Ddengan
demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan
thaharah dari najis.
II.
THAHARAH DARI HADATS
Thaharah dari hadats ada tiga macam
yaitu wudhu’, mandi, dan tayammum. Alat yang
digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang
suci untuk tayammum.
A. WUDHU’
Menurut lughat ( bahasa ), adalah
perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh tertentu. Dalam istilah syara’ wudhu’ adalah perbuatan
tertentu yang dimulai dengan niat. Mula-mula wudhu’ itu diwajibkan setiap kali
hendak melakukan sholat tetapi kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan
berhadats. Dalil-dalil wajib wudhu’:
1. ayat Al-Qur'an surat al-maidah ayat 6 yang artinya “
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan sholat , maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kaimu sampai dengan ke dua mata kaki …”
2.
Hadits Rasul
SAW
لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya: “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila
Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’. “ (HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi).
Fardhu wudhu’ yaitu :
1. niat 4. menyapu
kepala
2. membasuh
muka 5. membasuh kaki
3. membasuh
tangan 6. tertib
Sunat wudhu’ yaitu :
1) membaca basmalah pada awalnya
2) membasuh ke dua telapak tangan sampai ke pergelangan
sebanyak tiga kali, sebelum berkumur-kumur, walaupun diyakininya tangannya itu
bersih.
3) madmanah, yakni berkumur-kumur memasukan air ke mulut
sambil mengguncangkannya lalu membuangnya.
4) istinsyaq, ykni memasukan air ke hidung kemudian
membuangnya
5) meraatakan sapuan keseluruh lepala
6) menyapu kedua telinga
7) menyela-nyela janggut dengan jari
8) mendahulukan yang kana atas yang kiri
9) melakukan perbuatan bersuci itu tiga kali- tiga kali
10) muwalah, yakni melakukan perbuatan tersebut secara
beruntun
11) menghadap kiblat
12) mengosok-gosok anggota wudhu’ khususnya bagian tumit
13) menggunakan air dengan hemat.
Terdapat tiga
pendapat mengenai kumur – kumur dan menghisap air di dalam wudhu’ yaitu :
1) kedua perbuatan itu hukumnya sunah. Ini merupakan
pendapat Imam Malik, asy- Syafi’I dan Abu hanifah.
2) keduanya fardhu’ , di dalam wudhu’. Dan ini perkataan
Ibnu abu Laila dan kelompoka murid Abu Daud
3) menghisap air adalah fardhu’, dan berkumur-kumur
adalah sunah. Ini adalah pendapat Abu Tsaur, aabu Ubadah dan sekelompok ahli
Zahir.
Dalam wudhu’
terdapat niat. Ada beberapa pendapat mengenainya. Sebagian Ulama amshar berpendapat
bahwa niat itu menjadi syarat sahnya wudhu’ , mereka adlah Ima as- syafi’I,
Malik, Ahmad, Abu Tsaur, dan Daud. Sedang Fuqoha lainnya berpendapat bahwa niat
tidak menjadi syarat ( sahnya wudhu’ ). Mereka adalah abu Hanifah, dan Ats-
sauri. Perbedaan mereka karena , perbedaan pandangan mengenai wudhu’ itu
sendiri. Yang memang bukan ibadah murni seperti sholat. Hal ini dilakukan demi
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Hal- hal yang
mebatalkan wudhu’ :
1. Keluar sesuatu dari qubul atau dubur, berupa apapun ,
benda padat atau cair, angin. Terkecuali maninya sendiri baik yang biasa maupun
tidak, keluar sendirinya atau keluar daripadanya. Dalil yang berkenaan dengan
hal ini yaitu surat Al- Maidah ayat 6 yang artinya “ … atau
keluar dari tempat buang air ( kakus ) … “
2. Tidur, kecuali duduk dalam keadaan mantap. Tidur
merupakan kegiatan yang tidak kita sadari, maka lebih baik berwudhu’ lagi
karena dikhawatirkan pada saat tidur ( biasanya ) dari duburnya akan keluar
sesuatu tanpa ia sadari.
3. Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk, atau lainnya.
Batalnya wudhu’ dengan hilangnya akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur,
degan kehilangan kesadaran sebagai persamaannya.
4. Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan .Firman Allah
dalam surat An- nisa ayat 43 yanga artinya “ … atau kamu telah menyentuh
perempuan ..” .
Hal tersebut
diatasi pada sentuhan :
• Antara kulit
dengan kulit
• Laki- laki
dan perempuan yang telah mencapai usia syahwat
• Diantara mereka
tidk ada hubungan mahram
• Sentuhan
langsung tanpa alas atau penghalang
5. Menyentuh kemaluan manusia dengan perut telapak tangan
tanpa alas.
B. MANDI ( AL – GHUSL )
Menurut lughat, mandi di sebut al-
ghasl atau al- ghusl yang berarti mengalirnya air pada sesuatu. Sedangkan di
dalam syara’ ialah mengalirnya air keseluruh tubuh disertai dengan niat. Fardhu’ yang mesti dilakukan ketika mandi yaitu :
1) Niat. Niat tersebut harus pula di lakukan serentak
dengan basuhan pertama. Niat dianggap sah dengan berniat untuk mengangkat
hadats besar, hadats , janabah, haidh, nifas, atau hadats lainnya dari seluruh
tubuhnya, untuk membolehkannya shalat.
2) Menyampaikan air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan
permukaan kulit. Dlam hal membasuh rambut, air harus sampai kebagian dlam
rambut yang tebal. Sanggul atau gulungan rambut wajib dibuka. Akan tetapi
rambut yang menggumpal tidak wajib di basuh bagian dalamnya.
Untuk
kesempurnaan mandi, di sunatkan pula mengerjakan hal-hal berikut ini:
1. membaca basmalah
2. membasuh
tangan sebelum memasukannya ke dalam bejan
3. bewudhu’
dengan sempurna sebelum memulai mandi
4. menggosok
seluruh tubuh yang terjangkau oleh tangannya
5. muwalah
6. mendahulukan
menyiram bagian kanan dari tubuh
7. menyiram dan
mengosok badan sebanyak- banyaknya tiga kali
Sebab–sebab
yang mewajibkannya mandi :
1. mandi karena
bersenggama
2. keluar mani
3. mati,
kecuali mati sahid
4. haidh dan
nifas
5. waladah
(melahirkan). Perempuan diwajibkan mandi setelahmelahirkan, walaupun ’ anak ‘
yang di lahirkannya itu belum sempurna. Misalnya masih merupakan darah beku (alaqah), atau
segumpal daging (mudghah).
C. TAYAMMUM
Tayammum menurut lughat yaitu
menyengaja. Menurut istilah syara’ yaitu menyampaikan tanah ke wajah dan tangan
dengan beberapa syarat dan ketentuan .
Macam thaharah yang boleh di ganti
dengan tayamumm yaitu bagi orang yang junub. Hal ini terdapat dalam surat al-
maidah ayat 6, yang artinya “ … dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik ( bersih )… “.
Tayammum itu dibenarkan apabila
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) ada uzur, sehingga tidak dapat menggunakan air. Uzur
mengunakan air itu terjadi dikarenakan sedang dalam perjalanan ( safir ),
sakit, hajat. Ada beberapa kriteria musafir yang diperkenankan bertayammum,
yaitu :
a. Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar
tidak ada air maka ia boleh langsungbertayammum tanpa harus mencari air lebih
dulu.
b. Ia tidak yakin, tetapi ia menduga disana mungkin ada
air tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan demikian ia wajib lebih dulu
mencari air di tempat- tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
c. Ia yakin ada air di sekitar tempatnya itu. Tetapi
menimbang situasi pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat
akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia
diperbolehkan bertayammum.
2) Masuk waktu shalat
3) Mencari air setelah masuk waktu shalat, dengan mempertimbangkan
pembahasan no I
4) Tidak dapat menggunakan air dikarenakan uzur syari’
seperti takut akan pencuri atau ketinggalan rombongan
5) Tanah yang murni ( khalis ) dan suci. Tayammum hanya
sah dengan menggunakan ‘turab’ , tanah yang suci dan berdebu. Bahan-bahan
lainnya seperti semen, batu, belerang, atau tanah yang bercampur dengannya,
tidak sah dipergunakan untuk bertayammum.
Rukun tayammum, yaitu :
1. niat istibahah (membolehkan) shalat
atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya. Dalil wajibnya niat
disini ialah Hadits yang juga dikemukakan sebagai dalil niat pada wudhu’. Niat
ini serentak dengan pekerjaan pertama tayammum, yaitu ketika memindahkan tanah
ke wajah.
2. menyapu wajah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 43 yang
artinya “…sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya Allah mahapemaaf lagi maha
pengampun “ .
3. menyapu kedua tangan.
Fuqoha
berselisih pendapat mengenai batasan tangan yang diperintahkan Allah
untuk disapu. Hal seperti tersebut terdapat dalam al- quran surat al- Midah
ayat 6 yang artinya “ … sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu .. “ .
berangkat dari ayat tersebut lahirlah pendapat berikut ini :
a. berpendirian bahwa batasan yang wajib untuk melakukan
tayammum adalah sama dengan wudhu’ , yakni sampai dengan siku-siku ( madzhab
maliki )
b. bahwa yang wajib adalah menyapu telapak tangan ( ahli
zahir dan ahli Hadits )
c. berpendirian bahwa yang wajib hanyalah menyapu sampai
siku-siku ( imam malik)
d. berpendirian bahwa yang wajib adalah menyapu sampai
bahu. Pendapat yan asing ini diriwayatkan oleh Az- Zuhri dan Muhammad bin
Maslamah .
4. tertib, yakni mendahulukan wajah daripada tangan .
Hal-hal yang
sunat dikerjakan pada waktu tayammum yaitu :
1. membaca
basmalah pada awalnya
2. mamulai
sapuan dari bagian atas wajah
3. menipiskan
debu di telapak tangan sebelum menyapukannya
4. meregangkan
jari-jari ketika menepukannya pertama kali ke tanah
5. mandahulukan
tangan kanan dari tangan kiri
6. menyela
nyela jari setelah menyapu kedua tangan
7. tidak mengangakat tangan dari anggota yang sedang
disapu sebelum selesai menyapunya
8. muwalah.
Hal–hal yang membatalkan tayammum, yaitu semua yang membatalkan wudhu’, melihat air
sebelum melakukan sholat, murtad.
III. THAHARAH DARI NAJIS
Benda-benda yang termasuk najis
ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah, cairan luka yang
membusuk, (ma’ al- quruh), ‘alaqah, bangkai, anjing, babi, dan anak keduanya, susu binaang yang tidak halal
diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan wanita.Jumhur fuqaha juga berpendapat
bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini banyak sekali perbedaan
pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus
dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian dan masjid.
Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat al-
Mudatsir ayat 4. Benda yang
dipakai untuk membersihkan najis yaitu air. Umat Islam sudah mengambil
kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa dipakai untuk membersihkan
najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa najis tidk
bisa dibersihkan (dihilangkan) kecuali dengan air. Selain itu bisa dngan batu,
sesuai dengan kesepakatan (imam malik dan asy- syafi’I).
Para ulama mengambil kata sepakat
bahwa cara membersiohkan najis adlah dengan membasuh (menyiram), menyapu,
mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, ebagin fuqaha hanya mangkhususkan
untuk membersihkan kencing bayi yan belum menerima tambahan makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang
bernajis karena jilatan anjing adalah dengan membasuhnya dengan air sebanyak
tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Hal ini berdasarkan
Hadits Rasul SAW, yang artinya “ menyucikan bejana seseorang kamu, apabila
anjing minum di dalam bejana itu, ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang
pertama diantaranya dengan tanah.
BAB II
SHALAT
A. Definisi &
Pengertian Sholat Fardhu / Wajib Lima Waktu
Menurut
bahasa shalat artinya adalah berdoa, sedangkan menurut istilah shalat adalah
suatu perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam sesuai dengan persyaratkan yang ada.
B. Hukum, Tujuan dan Syarat Solat Wajib Fardhu 'Ain
Hukum
sholat fardhu lima kali sehari adalah wajib bagi semua orang yang telah dewasa
atau akil baligh serta normal tidak gila. Tujuan shalat adalah untuk mencegah
perbuatan keji dan munkar.
Untuk
melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dulu, yaitu :
1.
Beragama Islam
2.
Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3.
Berusia cukup dewasa
4.
Telah sampai dakwah islam kepadanya
5.
Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6.
Sadar atau tidak sedang tidur
Syarat
sah pelaksanaan sholat adalah sebagai berikut ini :
1.
Masuk waktu sholat
2.
Menghadap ke kiblat
3.
Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4.
Menutup aurat
C. Rukun Shalat
Dalam
sholat ada rukun-rukun yang harus kita jalankan, yakni :
1.
Niat
2. Posisis
berdiri bagi yang mampu
3.
Takbiratul ihram
4.
Membaca surat al-fatihah
5.
Ruku / rukuk yang tumakninah
6.
I'tidal yang tuma'ninah
7.
Sujud yang tumaninah
8.
Duduk di antara dua sujud yang tuma'ninah
9.
Sujud kedua yang tuma'ninah
10.
Tasyahud
11. Membaca
salawat Nabi Muhammad SAW
12.
Salam ke kanan lalu ke kiri
D. Yang
Membatalkan Aktivitas Sholat Kita
Dalam
melaksanakan ibadah salat, sebaiknya kita memperhatikan hal-hal yang mampu
membatalkan shalat kita, contohnya seperti :
1.
Menjadi hadas / najis baik pada tubuh, pakaian maupun lokasi
2.
Berkata-kata kotor
3.
Melakukan banyak gerakan di luar sholat bukan darurat
4.Gerakan
sholat tidak sesuai rukun shalat dan gerakan yang tidak tuma'ninah.
BAB III
JENAZAH
Jenazah
atau Mayat atau Jasad adalah orang yang telah meninggal dunia. Setelah proses pengurusan jenazah, termasuk di
dalamnya memandikan, mengkafani, dan proses lainnya berdasar ajaran agama
masing-masing (misalnya dalam Islam ada proses men-salati), biasanya mayat dikuburkan atau dikremasi (dibakar). Proses pengurusan jenazah ini biasanya
dilakukan oleh keluarga jenazah dengan dukungan pemuka agama.
Salat Jenazah adalah jenis salat yang
dilakukan untuk jenazah muslim. Setiap muslim yang meninggal baik laki-laki maupun perempuan wajib
disalati oleh muslim yang masih hidup dengan status hukum fardhu kifayah.
Syarat penyelenggaraan
Adapun syarat yang harus
dipenuhi dalam penyelenggaraan salat ini adalah:
- Yang melakukan salat harus memenuhi syarat sah salat secara umum (menutup aurat, suci dari hadas, menghadap kiblat dst)
- Jenazah/Mayit harus sudah dimandikan dan dikafani.
- Jenazah diletakkan disebelah mereka yang menyalati, kecuali dilakukan di atas kubur atau salat ghaib
Rukun Salat Jenazah
Salat jenazah tidak dilakukan dengan ruku', sujud maupun iqamah, melainkan
dalam posisi berdiri sejak takbiratul ihram hingga salam. Berikut
adalah urutannya:
1. Berniat, niat salat ini, sebagaimana juga
salat-salat yang lain cukup diucapkan di dalam hati dan tidak perlu dilafalkan,
tidak terdapat riwayat yang menyatakan keharusan untuk melafalkan niat. [1][2]Niat salat jenazah
Ø Untuk jenazah laki-laki : " Ushalli
'alaa haadzal mayyiti arba 'a takbiiraatin fardhal kifaayati ma'muumam/imaaman
lillahi ta'aalaa, Allahu akbar "
Ø Untuk jenazah perempuan : " Ushalli
'alaa haadzihil mayyiti arba 'a takbiiraatiin fardhal kifaayati
ma'muuman/imaaman lillahi ta 'aalaa, Allaahu akbar "
2. Takbiratul Ihram kedua kemudian membaca shalawat atas Rasulullah SAW minimal :"Allahumma Shalli
'alaa Muhammadin" artinya : "Yaa Allah berilah salawat atas
nabi Muhammad"
3. Takbiratul Ihram ketiga kemudian membaca do'a
untuk jenazah minimal:"Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fu
anhu" yang artinya : "Yaa Allah ampunilah dia, berilah
rahmat, kesejahteraan dan ma'afkanlah dia".Apabila jenazah yang disalati
itu perempuan, maka bacaan Lahuu diganti dengan Lahaa. Jadi untuk
jenazah wanita bacaannya menjadi: "Allahhummaghfir laha warhamha wa'aafiha
wa'fu anha". Jika mayatnya banyak maka bacaan Lahuu diganti
dengan Lahum. Jadi untuk jenazah banyak bacaannya menjadi: "Allahhummaghfir
lahum warhamhum wa'aafihim wa'fu anhum"
4. Takbir keempat kemudian membaca do'a minimal:"Allahumma
laa tahrimnaa ajrahu walaa taftinna ba'dahu waghfirlanaa walahu."yang
artinya : "Yaa Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai
kepadanya atau janganlah Engkau meluputkan kami akan pahalanya, dan janganlah
Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, serta ampunilah kami dan dia."
Jika jenazahnya adalah wanita, bacaannya menjadi: "Allahumma laa
tahrimnaa ajraha walaa taftinna ba'daha waghfirlanaa walaha."
5. Mengucapkan salam
Salat Ghaib
Bila terdapat keluarga
atau muslim lain yang meninggal di tempat yang jauh sehingga jenazahnya tidak
bisa dihadirkan maka dapat dilakukan salat ghaib atas jenazah tersebut.
Pelaksanaannya serupa dengan salat jenazah, perbedaan hanya pada niat salatnya.
Niat salat ghaib : "Ushalli 'alaa mayyiti (Fulanin) al ghaaibi arba'a takbiraatin
fardlal kifaayati lillahi ta'alaa" Artinya : "aku niat salat gaib atas mayat (fulanin) empat
takbir fardu kifayah sebagai (makmum/imam) karena Allah". kata fulanin diganti dengan nama mayat
yang disalati.
BAB IV
ZAKAT
1.
Makna Zakat
Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan
atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau
mensucikan (QS. At-Taubah : 10)
Menurut Hukum Islam
(istilah syara'), zakat adalah nama
bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat
yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam
kitab Al Hawiy).
Selain itu, ada istilah
shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib
dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain
mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan
shadaqah.
2.
Penyebutan Zakat dan Infaq dalam Al Qur-an dan As Sunnah
a. Zakat (QS. Al Baqarah :
43)
b. Shadaqah (QS. At Taubah
: 104)
c. Haq (QS. Al An'am :
141)
d. Nafaqah (QS. At Taubah
: 35)
e. Al 'Afuw (QS. Al A'raf
: 199)
3. Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu
rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam.
Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu)
atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk
dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur
secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan
amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan ummat manusia.
4. Macam-macam
Zakat
a. Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
b. Zakat Maal (harta).
Syarat-syarat
Wajib Zakat
a. Muslim
b. Aqil
c. Baligh
d. Memiliki harta yang mencapai nishab
ZAKAT
MAAL
1. Pengertian Maal (harta)
1.1. Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali sekali oleh manusia untuk memiliki,
memanfaatkan dan menyimpannya
1. 2. Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki
(dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim).
sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
a. Dapat dimiliki,
disimpan, dihimpun, dikuasai
b. Dapat diambil
manfaatnya sesuai dengan ghalibnya.
Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak, dll.
2. Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib di
Zakati
2.1. Milik Penuh (Almilkuttam)
Yaitu : harta tersebut berada dalam kontrol
dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh. Harta
tersebut didapatkan melalui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syariat
islam, seperti : usaha, warisan, pemberian negara atau orang lain dan cara-cara
yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang haram,
maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus
dibebaskan dari tugasnya dengan cara dikembalikan kepada yang berhak atau ahli
warisnya.
2.2.
Berkembang
Yaitu : harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan
atau mempunyai potensi untuk berkembang.
2.3.
Cukup Nishab
Artinya
harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya
terbebas dari Zakat.
2.4. Lebih
Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah)
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM), misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb.
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM), misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb.
2.5. Bebas Dari
hutang
Orang
yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada
waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas
dari zakat.
2.6. Berlalu Satu
Tahun (Al-Haul)
Maksudnya
adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini
hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedang hasil
pertanian, buah-buahan dan rikaz
(barang temuan) tidak ada syarat haul.
3.
Harta(maal) yang Wajib di Zakati
3.1. Binatang
Ternak
Hewan
ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba)
dan unggas (ayam, itik, burung).
3.2.
Emas Dan Perak
Emas dan
perak merupakan logam mulia yang selain merupakan tambang elok, juga sering
dijadikan perhiasan. Emas dan perak juga dijadikan mata uang yang berlaku dari
waktu ke waktu. Islam memandang emas dan perak sebagai harta yang (potensial)
berkembang. Oleh karena syara'
mewajibkan zakat atas keduanya, baik berupa uang, leburan logam, bejana, souvenir,
ukiran atau yang lain.
Termasuk dalam kategori emas dan perak,
adalah mata uang yang berlaku pada waktu itu di masing-masing negara. Oleh
karena segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek, saham
atau surat berharga lainnya, termasuk kedalam kategori emas dan perak. sehingga
penentuan nishab dan besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak.
Demikian
juga pada harta kekayaan lainnya, seperti rumah, villa, kendaraan, tanah, dll.
Yang melebihi keperluan menurut syara' atau
dibeli/dibangun dengan tujuan menyimpan uang dan sewaktu-waktu dapat di
uangkan. Pada emas dan perak atau lainnya yang berbentuk perhiasan, asal tidak
berlebihan, maka tidak diwajibkan zakat atas barang-barang tersebut.
3.3.
Harta Perniagaan
Harta perniagaan
adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai
jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan,
dll. Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan
seperti CV, PT, Koperasi, dsb.
3.4.
Hasil Pertanian
Hasil
pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis
seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan,
dedaunan, dll.
3.5.
Ma-din dan Kekayaan Laut
Ma'din (hasil tambang) adalah benda-benda yang
terdapat di dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seperti emas, perak,
timah, tembaga, marmer, giok, minyak bumi, batu-bara, dll. Kekayaan laut adalah
segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut seperti mutiara, ambar, marjan,
dll.
3.6.
Rikaz
Rikaz adalah harta terpendam dari zaman dahulu
atau biasa disebut dengan harta karun. Termasuk didalamnya harta yang ditemukan
dan tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.
BAB V
PUASA
Arti
puasa menurut bahasa adalah menahan. Menurut syariat islam puasa adalah suatu
bentuk aktifitas ibadah kepada Allah SWT dengan cara menahan diri dari makan,
minum, hawa nafsu, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa sejak terbit
matahari / fajar / subuh hingga matahari terbenam / maghrib dengan berniat
terlebih dahulu sebelumnya.
Hari-hari
yang dilarang untuk puasa, yaitu :
o saat
lebaran idul fitri 1 syawal dan idul adha 10 dzulhijjah
o Hari
tasyriq : 11, 12, dan 13 zulhijjah
Puasa
memiliki fungsi dan manfaat untuk membuat kita menjadi tahan terhadap hawa
nafsu, sabar, disiplin, jujur, peduli dengan fakir miskin, selalu bersyukur
kepada Allah SWT dan juga untuk membuat tubuh menjadi lebih sehat.
Orang
yang diperbolehkan untuk berbuka puasa sebelum waktunya adalah :
-
Dalam perjalanan jauh 80,640 km (wajib qodo puasa)
-
Sedang sakit dan tidak dapat berpuasa (wajib qodo puasa)
-
Sedang hamil atau menyusui (wajib qada puasa dan membayar fidyah)
-
Sudah tua renta atau sakit yang tidak sembuh-sembuh (wajib membayar fidyah 3/4 liter beras atau bahan makanan
lain)
A. Puasa
Ramadhan
Puasa
Ramadhan hukumnya adalah wajib bagi orang yang sehat. Sedangkan bagi yang sakit
atau mendapat halangan dapat membayar puasa ramadhan di lain hari selain bulan
ramadan. Puasa ramadhan dilakukan selama satu bulan penuh di bulan romadhon
kalender hijriah / islam. Puasa ramadhan diakhiri dengan datangnya bulan syawal
di mana dirayakan dengan lebaran ied / idul fitri.
B. Puasa
Senin Kamis
Puasa
senin kamis hukumnya adalah sunah / sunat di mana tidak ada kewajiban dan
paksaan untuk menjalankannya. Pelaksanaan puasa senin kamis mirip dengan puasa
lainnya hanya saja dilakukannya harus pada hari kamis dan senin saja, tidak
boleh di hari lain.
C. Puasa
Nazar
Untuk
puasa nazar hukumnya wajib jika sudah niat akan puasa nazar. Jika puasa nazar
tidak dapat dilakukan maka dapat diganti dengan
memerdekakan
budak /
hamba sahaya atau memberi makan / pakaian pada sepuluh orang miskin. Puasa
nazar biasanya dilakukan jika ada sebabnya yang telah diniatkan sebelum sebab
itu terjadi. Nazar dilakukan jika mendapatkan suatu nikmat / keberhasilan atau
terbebas dari musibah / malapetaka. Puasa nazar dilakukan sebagai tanda syukur
kepada Allah SWT atas ni'mat dan rizki yang telah diberikan.
D. Puasa
Bulan Syaban / Nisfu Sya'ban
Puasa
nisfu sya'ban adalah puasa yang dilakukan pada awal pertengahan di bulan
syaban. Pelaksanaan puasa syaban ini mirip dengan puasa lainnya.
E. Puasa
Pertengahan Bulan
Puasa
pertengahan bulan adalah puasa yang dilakukan pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap
bulan sesuai tanggalan hijriah. Pelaksanaan puasa pertengahan bulan mirip
dengan puasa lainnya.
F. Puasa
Asyura
Puasa
asyura adalah puasa yang dilakukan pada tanggal 10 di bulan muharam / muharram.
Pelaksanaan puasa assyura mirip dengan puasa lainnya.
G. Puasa
Arafah
Puasa
arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 di bulan zulhijah untuk
orang-orang yang tidak menjalankan ibadah pergi haji. Pelaksanaan arafah mirip
dengan puasa lainnya.
H. Puasa
Syawal
Puasa
syawal dikerjakan pada 6 hari di bulan syawal. Puasa syawal boleh dilakukan
pada 6 hari berturut-turut setelah lebaran idul fitri. Pelaksanaan arafah mirip
dengan puasa lainnya.
BAB VI
HAJI DAN UMRAH
1. PENGERTIAN HAJI / DEFINISI HAJI
Pengertian haji banyak ditulis di buku-buku fiqih. Ada
beberapa perbedaan di kalangan ulama mengenai pengertian haji ini, namun perbedaan-perbedaan tersebut
bukan suatu yang prinsip, melainkan sebatas pada tataran redaksional saja.
“Haji adalah berkunjung ke Baitullah, untuk melakukan
Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan – amalan yang lain dalam
waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzul Hijjah) untuk mendapatkan
keridhaan Allah SWT”.
II.
MACAM - MACAM HAJI
a. Haji
Ifrad yaitu : mendahulukan Haji daripada Umrah.
b. Haji
Tamattu’ yaitu : mendahulukan Umrah baru kemudian Haji.
c. Haji
Qiran yaitu : melaksanakan Haji sekaligus Umrah.
III.
SYARAT RUKUN DAN WAJIB HAJI
a.
Syarat Haji
1. Islam
2.
Baligh
3.
Berakal sehat
4.
Merdeka
5. Mampu
b. Rukun
Haji
1. Ihram
2. Wukuf
di Arafah
3. Thawaf
Ifadlah
4. Sa’i
5.
Memotong rambut / Tahallul
6.
Tertib
Catatan : Rukun haji harus dilaksanakan bila
ada salah satu atau lebih tidak dilaksanakan, maka tidak dapat diganti dengan
dam (denda), dan hajinya batal (tidak sah).
c. Wajib Haji
2. Mabit di Muzdalifah
3. Mabit di Mina
4. Melempar Jumrah
5. Thawaf Wada’
Catatan : Wajib Haji harus dilaksanakan
dan apabila salah satu ada yang ditinggalkan, maka hajinya sah tapi harus
membayar dam (denda).
2. DEFINISI UMRAH
Pengertian umroh atau definisi umrah
secara bahasa artinya berkunjung, sedangkan secara istilah adalah berkunjung ke
ka’bah dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan umrah
dalam rangka mendekatkan diri pada Allah
Umrah disebut juga haji kecil,
karena beberapa ketentuannya hamper sama dengan haji misalnya tentang
syarat-syarat, rukun, atau larangan-larangannya. Apalagi perintah umrah
disejajarkan dengan perintah haji (Q.S Al Baqarah 2 : 196), tetapi pelaksanaan
umrah lebih sederhana dibandingkan dengan pelaksanaan haji.
Syarat Umroh :
1. Rukun Umroh
a. Ihram disertai dengan niat
b. Thawaf
c. Sa’I
d. Tahallul
e. Tertib
2. Wajib Umroh
a. Ihram dan Miqat
b. Menjauhkan diri dari segala larnagan
sebagaimana larangan haji.
Perihal miqat untuk umrah tentunya
tidak ada miqat zamani, artinya sepanjang tahun boleh mengerjakan ibadah umrah.
Sedangkan untuk miqat makani sama dengan haji.
BAB VII
JUAL BELI
1. PENGERTIAN JUAL BELI
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan
harta. Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain
dengan fasilitas dan kenikmatan.
DASAR HUKUM
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan
dalil akal. Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Alquran, 2:275)
KLASIFIKASI JUAL BELI
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan
sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan
Objeknya
Jual beli berdasarkan objek
dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Jual beli umum, yaitu
menukar uang dengan barang.
2) Jual beli as-Sharf (Money
Changer), yaitu penukaran uang dengan uang.
3) Jual beli muqayadhah
(barter), yaitu menukar barang dengan barang.
b. Berdasarkan Standardisasi
Harga
1) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di
mana penjual tidak memberitahukan
modal barang yang dijualnya.
2) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual
memberitahukan modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual
beli ini terbagi menjadi tiga jenis:
a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan
keuntungan yang diketahui.
b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di
bawah modal dan kerugian yang diketahui.
c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual
barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.
d) Cara Pembayaran
Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi
empat macam:
1) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara
langsung (jual beli kontan).
2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli
nasi’ah).
3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
4) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran
sama-sama tertunda.
SYARAT SAH JUAL BELI
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi
pengaruh yang tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu.
Syarat-syarat ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan
pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang
diperjualbelikan.
Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
§
Objek jual beli harus
suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu
pihak.
§
Mengetahui objek yang
diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terhindar faktor
‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.
§
Tidak memberikan
batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu
yang diketahui atau tidak diketahui.
Juzaf (Jual Beli Spekulatif)
Juzaf ialah menjual barang yang bisa ditakar, ditimbang
atau dihitung secara borongan tanpa ditakar, ditimbang atau dihitung terlebih
dahulu. Contoh hal ini adalah seseorang yang menjual setumpuk makanan, setumpuk
pakaian atau sebidang tanah tanpa mengetahui kepastian ukurannya.
Jual beli ini disyariatkan sebagaimana disebutkan dalam
hadits Ibnu Umar Ra. bahwa ia menceritakan, “Kami biasa membeli makanan dari
para kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah saw melarang kami
menjualnya sebelum kami memindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim).
Hadits ini mengindikasikan bahwa para sahabat sudah
terbiasa melakukan jual beli juzaf (spekulatif), sehingga hal itu menunjukkan
bahwa hal tersebut dibolehkan.
Namun demikian, agar jual beli juzaf ini diperbolehkan, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Para ulama Malikiyah menyebutkan persyaratan
tersebut sebagai berikut:
ü
Baik pembeli dan
penjual sama-sama tidak mengetahui ukuran barang dagangan. Kalau salah satunya
tahu, jual beli itu tidak sah.
ü
Jumlah barang dangangan
jangan banyak sekali sehingga sulit diprediksikan, atau sedikit sekali sehingga
mudah dihitung.
ü
Tanah tempat meletakkan
barang dagangan tersebut harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan
dalam spekulasi.
ü
Barang dagangan harus
tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi
akad.
Namun demikian, terdapat pengecualian,
tidak boleh menjual komoditi riba fadhl dengan jenis yang sama secara
spekulatif, seperti menjual satu tandum kurma dengan satu tandum kurma yang
lain. Hal ini dikarenakan kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhl,
“Ketidaktahuan akan kesamaan sama saja dengan mengetahui adanya perbedaan
(ketdaksamaanya).”
Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli. Larangan jual beli disebabkan karena dua
alasan, yaitu:
a. Berkaitan
dengan objek
1) Tidak
terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak
binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam
tulang dada induknya (madhamin).
2) Tidak
terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang
najis, haram dan sebagainya.
3) Tidak
terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual, seperti jual
beli fudhuly.
b. Berkaitan
dengan komitmen terhadap akad jual beli
1) jual
beli yang mengandung riba
2) Jual
beli yang mengandung kecurangan.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di
luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti
orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual
senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga
larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan
adzan shalat Jum’at.
Akan tetapi, kemungkinan yang paling banyak tersebar dalam
realitas kehidupan adalah sebagai berikut:
• Objek jual beli yang haram.
• Riba.
• Kecurangan, serta;
• Syarat-syarat yang menggiring kepada riba, kecurangan
atau kedua-duanya.
Jual Beli yang Bermasalah
a. Jual Beli yang Diharamkan
1) Menjual
tanggungan dengan tanggungan
Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan
tanggungan sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra.[9] Yaitu
menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.
Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan
jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran.
Ini adalah bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
2) Jual
beli disertai syarat
Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum
Islam. Malikiyah menganggap syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan
konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali atau menggunakannya.
Hambaliyah memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan
akad, seperti adanya bentuk usaha lain, seperti jual beli lain atau peminjaman,
dan persyaratan yang membuat jual beli menjadi bergantung, seperti ”Saya jual
ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak
termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan
perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.
3)
Dua perjanjian dalam
satu transaksi jual beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu
transaksi, namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut: Jual beli dengan dua harga; harga kontan
dan harga kredit yang lebih mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya
dengan ketentuan, sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya apakah
kontan atau kredit. Jual
beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran§ tertunda, lalu si
penjual membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.
4) Menjual
barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih ditawar orang
lain.
Mayoritas
ulama fiqih mengharamkan jual beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam
hadits shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan transaksi
penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita
yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapat ijin dari pelaku
transaksi atau peminang yang pertama.”
5) Orang
kota menjual barang orang dusun.’ Yang dimaksud dengan istilah ini adalah orang kota yang menjadi calo bagi
pedagang orang dusun.
[15] Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah orang kota
menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki,
dengan saling memberi keuntungan yang satu kepada yang lain.” (HR. Muslim)
6) Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah
telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun
(HR. Bukhari). Kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual
anjing apapun, baik dipelihara (untuk berburu) maupun tidak. Sedangkan,
Malikiyah membolehkan menjual anjing kelompok yang pertama dengan hadits:
”Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR.
An-Nasa’i).
7) Menjual alat-alat musik dan hiburan.
Mayoritas ulama mengharamkan semua alat-alat hiburan dan alat-alat musik yang
diharamkan.
Jual beli saat adzan Jum’at dikumandangkan. Allah swt
berfirman: ”Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (Alquran, 62:
9). Adzan yang dimaksud adalah adzan ketika khatib naik mimbar. Parameter
diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang yang melakukan transaksi adalah
orang yang wajib shalat Jum’at, mengetahui larangan tersebut dan tidak dalam
kondisi darurat. Jika keduanya tidak wajib shalat Jum’at, maka tidak apa-apa.
Namun jika salah satunya wajib, keduanya berdosa.
b. Jual Beli yang Diperdebatkan
b. Jual Beli yang Diperdebatkan
1. Jual
beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan lebih
banyak (riba). Mayoritas ulama mengharamkannya tanpa pengecualian, sedangkan
Imam as-Syafi’i membolehkannya jika tidak disepakati sebelumnya.
2. Jual
beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran,
ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan
barang. Menurut pendapat ulama tujuan dari jual beli ini adalah riba yang
berupa manfaat barang.
3. Jual
beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka (urbun)
kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan
ke dalam harganya. Jika tidak terjadi, urbun menjadi milik penjual. Mayoritas
ulama membolehkan jual beli seperti ini, jika diberi batasan menunggu secara
tegas.
4. Jual
beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara bertahap, selang
beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan
bisa jadi lebih menyenangkan bagi pembeli daripada jual beli dengan tawar
menawar.
BAB VIII
NIKAH
Kata
nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering
diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah
menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan
pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram
sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan
antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah
diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka
disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang
diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan
kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara
keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda
dengan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak dibina dengan
sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu,
keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali
pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga
antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat
menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa
kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari
kebinasaan hawa nafsunya.
Allah
SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut : ” Maka
kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja .” (An -
Nisa : 3).
Ayat
ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan
nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan
kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat
lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan
syarat - syarat tertentu.
2. HUKUM DAN DALILNYA
Pada
dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk
menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum
nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a. Sunnah, bagi orang yang
berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada
istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b. Wajib, bagi orang yang mampu
melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam
perzinaan.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
“Hai golongan pemuda, barang siapa
diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah menikah. Karena sesumgguhnya
nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama.) dan
memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia
berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).
c. Makruh, bagi orang yang
tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu memberikan belanja
kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
Firman Allah SWT :
“Hendaklah menahan diri orang - orang
yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan
sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33)
d. Haram, bagi orang yang ingin
menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum
haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada
istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e. Mubah, bagi orang - orang
yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang
mengharamkannya.
3. SYARAT DAN RUKUN MUNAKAHAT
Rukun nikah ada lima macam, yaitu :
a. Calon suami
Calon
suami harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1)
Beragama Islam
2)
Benar - benar pria
3)
Tidak dipaksa
4)
Bukan mahram calon istri
5)
Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
6)
Usia sekurang - kurangnya 19 Tahun
b. Calon istri
Calon
istri harus memiliki syarat - syarat sebagai berikut :
1)
Beragama Islam
2)
Benar - benar perempuan
3)
Tidak dipaksa,
4)
Halal bagi calon suami
5)
Bukan mahram calon suami
6)
Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
7)
Usia sekurang - kurangnya 16 Tahun
c. Wali
Wali
harus memenuhi syarat - syarat sebagi berikut :
1)
Beragama Islam
2)
Baligh (dewasa)
3)
Berakal Sehat
4)
Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5)
Adil (tidak fasik)
6)
Mempunyai hak untuk menjadi wali
7)
Laki - laki
d. Dua orang saksi
Dua
orang saksi harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1)
Islam
2)
Baligh (dewasa)
3)
Berakal Sehat
4) Tidak
sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil
(tidak fasik)
6)
Mengerti maksud akad nikah
7) Laki
- laki
Pernikahan
yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW. :
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali
dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad.)
e. Ijab dan Qabul
ZZ Allah dan kamu menghalalkan mereka
dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim).
4. HIKMAH DAN TUJUAN
1. Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan
perkawinan orang dapat memnuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan
tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.
Firman
Allah SWT :
“Dan diantara tanda - tanda kekuasaa-Nya
ialah dia menciptkan istri - istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya.” (Ar Rum/30:21)
2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan
maksiad.
Salah
satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam
rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat
penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya
akan menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat
megakibatkan dosa dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan
perkawinan akan terbuaka jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara
benar dan terhindar dari perbuatan - pebuatan maksiad.
3.Perkawinan
untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam
surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari
yang
satu, kemudian dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak
menjadi manusia yang banyak, terdiri dari laki - laki dan perempuan.
Memang
manusia bisa berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan
tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas
bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai - nilai
kemanusiaan.