Paradigma Sosiologi
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan
oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The
Structure of Scientific Revolution (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert
Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology (1970). Menurut Kuhn, paradigma
adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought
atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang
spesifik. Menurut Khun yang dikutip George Ritzer,
Paradigma adalah gambaran fundamental
dari pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan. Dia menentukan apa yang harus dipelajari,
pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut
harus diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan
jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus
dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia
memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode
serta instrument yang ada didalamnya.[1]
Pada karyanya itu, Kuhn mengemukakan bahwa perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear. Oleh sebab itu, perkembangan ilmu tidak benar jika dikatakan kumulatif. Penolakan Kuhn atas ketidak kumulatifan perkembangan ilmu didasarkan atas hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri. Khun menambahkan, perkembangan ilmu ternyata sangat berkaitan dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu atau dalam satu waktu.
Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Perbedaan paradigma ini menurut George Ritzer disebabkan tiga faktor utama. Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikirannya. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda, maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan masing-masing komunitas ilmuwan juga berbeda. Ketiga, metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan substansi ilmu berbeda antar komunitas ilmuwan lain.[2]
Pada karyanya itu, Kuhn mengemukakan bahwa perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear. Oleh sebab itu, perkembangan ilmu tidak benar jika dikatakan kumulatif. Penolakan Kuhn atas ketidak kumulatifan perkembangan ilmu didasarkan atas hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri. Khun menambahkan, perkembangan ilmu ternyata sangat berkaitan dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu atau dalam satu waktu.
Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Perbedaan paradigma ini menurut George Ritzer disebabkan tiga faktor utama. Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikirannya. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda, maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan masing-masing komunitas ilmuwan juga berbeda. Ketiga, metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan substansi ilmu berbeda antar komunitas ilmuwan lain.[2]
Adanya keragaman paradigma pada dasarnya
adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak
zaman Yunani. Misalnya, pengetahuan yang didasarkan pada filsafat idealisme
tentu berbeda dengan materialisme, empirisme tentu akan berbeda dengan
rasionalisme, dan seterusnya. Ini terjadi karena setiap aliran filsafat tentu
memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki
ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Namun dengan adanya perbedaan
paradigma tidaklah selalu bersifat negatif, justru positif. Sebab, dengan
adanya perbedaan paradigma membuat keragaman skema konseptual pengembangan
pengetahuan semakin kaya, dan keragaman produk pengetahuan yang
termanifestasikan dalam menguraikan pengetahuan ke dalam kerangka kerja teoritis,
tingkat metode dan teknik.
Dengan adanya relasi perbedaan paradigma
dengan keragaman konseptual dan teori yang dihasilkan, menandakan adanya
dinamika dan dialektika ilmu pengetahuan. Senada dengan hal ini, bagi Albert
Einstein ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang paling berguna dan
dimiliki manusia. Untuk itu, ilmu pengetahuan harus terus berkembang seiring
peradaban manusia.
Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi juga dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi. Namun menurut George Ritzer,[3] secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:
Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi juga dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi. Namun menurut George Ritzer,[3] secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:
1. Paradigma fakta sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran
Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895)
dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis
atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat
bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas pendapat ini
ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam
sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan
bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert
Spencer ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri
sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari
bidang filsafat.
Berangkat dari kritik Durkheim ini. Akhirnya Durkheim
membangun konsep fakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian
sosiologi dengan filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang
yang nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan
spekulatif yang dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial
dipahami melalui kegiatan penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran
manusia.
Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah
mengenai studi fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri
dari struktur sosial, dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai,
adat-istiadat, dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia.
Berarti struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan
tindakan individu menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para
teoritisi yang menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara
struktur sosial dengan individu, dan relasi institusi sosial dengan individu.
Dengan kata lain, pendorong tindakan individu pada analisis fakta sosial antara
struktur dan institusi sosial bersifat terpisah.
Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat
sesuatu dalam konteks yang nyata saja atau materi. Melainkan fakta sosial juga
berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim
membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu :
a. Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu
yang dapat dipahami, dilihat, dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini
adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk
bangunan, hukum dan peraturan.
b. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat
dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia
sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran
manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme, dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik.
Teori fungsionalisme struktural
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik.
Teori fungsionalisme struktural
Pemikiran teori fungsionalisme struktural lahir berkat
sumbangan pemikiran biologis yang dikonsepkan oleh Comte dan Herbert Spencer.
Di mana masyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis. Maksudnya,
masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung guna kebertahanan
hidup. Kemudian lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh Durkheim. Karena
pengaruh dari Comte dan Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan teori
sosiologinya dengan terminologi organisme.
Menurut Durkheim, masyarakat merupakan sebuah kesatuan
yang di mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang memiliki fungsinya
masing-masing, dan saling menyatu dalam keseimbangan. Untuk itu, teori ini
lebih menekankan social order dan mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak
dalam kondisi statis dan seimbang. Menurut George Ritzer, konsep-konsep utama
dari teori ini adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan
keseimbangan. Adapun tokoh-tokoh dalam teori ini antara lain, Durkheim, Talcott
Parsons, Robert K. Merton, dan Herbert J. Gans.
Adapun kelemahan dari teori ini yaitu bersifat
tertutup terhadap proses terjadinya perubahan sosial, karena terlalu menekankan
order dan kemapanan struktur sosial yang sudah formal. Kelemahan lainnya adalah
bahwa struktur fungsional mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada
orang atau hal lain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai
ancaman bagi masyarakat dan pemegang status quo.
Teori konflik
Teori konflik merupakan teori yang lahir sebagai
kritik atas teori fungsionalisme struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx.
Tokoh teori ini antara lain, Marx, George Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf
Dahrendorf. Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang
selalu ditandai dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori
fungsionalisme struktural memandang keteraturan terjadi karena masyarakat
terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka teori konflik memandang
itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa.
Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan
kekuasaan. Adapun kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan dalam
masyarakat dan terlalu menekankan perubahan dalam konteks konflik.
Kemudian untuk metode yang digunakan dalam paradigma
fakta sosial yaitu interviu-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode
interviu-kuesioner memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu
menyajikan informasi yang bersifat fakta sosial, atau informasi yang didapat
lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun begitu, bagi para penganut
fakta sosial metode interviu-kuesioner merupakan sesuatu metode yang cocok
dalam penelitian empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial yang menjadi
subject matter sosiologi.
2. Paradigma definisi sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Weber tentang tindakan
sosial (social action). Analisa Weber dengan Durkheim sangat terlihat jelas.
Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber
melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh
arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai
makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang
lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek
fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial.[4]
Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal.[5] Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.
Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal.[5] Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.
Teori aksi
Teori aksi atau teori bertindak pada awalnya dibangun
berdasarkan pemikiran Weber, Durkheim dan Pareto. Menurut Weber, individu
melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan
atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Di sini Weber melihat tindakan
sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan tindakan
sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan
tersebut.
Dengan konsep rasionalitas, Weber membagi beberapa
macam tindakan sosial. Semakin rasional tindakan sosial tersebut, maka semakin
mudah memahaminya. Adapun pembagian tindakan sosial itu terbagi menjadi empat
macam,[6] yaitu : Pertama tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan
yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan
menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Bila individu tersebut bertindak
rasional maka tindakannya pun dapat dipahami. Kedua rasionalitas yang
berorientasi nilai, yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan
mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan
nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya.
Tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama, sehingga
tindakannya masih dapat dipahami.
Ketiga tindakan afektif (affectual), yaitu tindakan
yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan individu yang melakukannya.
Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya,
biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Tindakan ini
sukar dipahami karena kurang rasional. Keempat tindakan tradisional, yaitu
tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging.
Tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi atau adat istiadat secara
turun-temurun. Tindakan ini pun sukar dipahami karena kurang rasional bahkan
tidak rasional.
Setelah Weber, teori aksi berkembang ketika sosiolog
Amerika Charles Horton Cooley membuktikan bahwa sesuatu yang mempunyai arti
penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah “kesadaran subyektif”. Cooley juga
membuktikan bahwa perasaan-perasaan individual, sentimen, dan ide-ide merupakan
faktor yang mendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya
terhadap orang lain.
Sedangkan Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan
istilah “action” (aksi atau tindakan) dimaksudkan untuk membedakan teori ini
dengan teori perilaku, yang menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau
tindakan yang dilakukan berulang-ulang). “Aksi” menunjukkan adanya suatu
aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu. Sedangkan
“perilaku” menunjukkan adanya penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon
terhadap stimulus (rangsangan) dari luar. Menurut Parsons, teori perilaku
mengabaikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia.
Sebaliknya, teori aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan
subyektivitas tindakan manusia.
Teori aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog mengembangkan teori ini, khususnya para sosiolog Amerika. Karya terkemukan yang menjadi rujukan dari teori aksi antara lain, Florian Znaniecki melalui karyanya “The Method of Sociology” (1934) dan “Social Actions” (1936), Robert Morrison MacIver melalui karyanya “Sociology: Its Structure and Changes” (1931), dan Talcott Parsons melalui karyanya “The Structure of Social Action” (1937). Sekitar tahun 1940-an teori aksi mencapai puncak perkembangannya.
Karya-karya di atas kemudian menjadi landasan Roscoe Hinkle untuk merumuskan asumsi dari teori aksi. Menurut Roscoe Hinkle, tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan.[7] Kelemahan dari teori ini, cenderung memfokuskan analisis pada level individu dan mengabaikan faktor kolektivisme.
Teori interaksionisme simbolik
Teori aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog mengembangkan teori ini, khususnya para sosiolog Amerika. Karya terkemukan yang menjadi rujukan dari teori aksi antara lain, Florian Znaniecki melalui karyanya “The Method of Sociology” (1934) dan “Social Actions” (1936), Robert Morrison MacIver melalui karyanya “Sociology: Its Structure and Changes” (1931), dan Talcott Parsons melalui karyanya “The Structure of Social Action” (1937). Sekitar tahun 1940-an teori aksi mencapai puncak perkembangannya.
Karya-karya di atas kemudian menjadi landasan Roscoe Hinkle untuk merumuskan asumsi dari teori aksi. Menurut Roscoe Hinkle, tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan.[7] Kelemahan dari teori ini, cenderung memfokuskan analisis pada level individu dan mengabaikan faktor kolektivisme.
Teori interaksionisme simbolik
Awal sejarah munculnya teori interaksionis simbolik
sebagai persfektif baru yang dilatarbelakangi atas kemandekan aplikasi teori
aksi. Landasan teori ini didasarkan pada analisis Weber. Teori interaksionis
simbolik memfokuskan pada pembahasan individu yang terkait pada hubungan antara
simbol dan interaksi yang terjadi (interaksi sosial mikro).
Awalnya teori ini dikembangkan di Universitas Michigan
oleh John Dewey dan Charles Horton Cooley. Kemudian John Dewey pindah mengajar
ke Universitas Chicago. Kepindahan John Dewey diikuti dengan mengembangkan
teori interaksionis simbolik. Ternyata teori interaksionis simbolik mendapat
apresiasi yang sangat baik. Sehingga Universitas Chicago dianggap sebagai
tempat yang pertama kali berkembangnya teori interaksionis simbolik. Maka teori
ini juga dikenal sebagai aliran Chicago.
Dari John Dewey, teori interaksionis simbolik kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh sosiolog Amerika seperti William
Isaac Thomas, George Herbert Mead, Herbert Blumer, Robert E. Park, William
James, Ernest Burgess, James Mark Baldwin, Manfred Kuhn dan Kimball Young.
Prinsip dasar dari teori ini yaitu,
(a) manusia pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir,
(b) kemampuan berpikir ini kemudian dibentuk melalui
interaksi sosial,
(c) individu dalam setiap interaksi dengan orang lain
mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan
berpikirnya,
(d) setiap individu dapat memodifikasi makna dan
simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir
mereka atas situasi yang ada,
(e) setiap individu dapat menentukan tindakan apa yang
dilakukan setelah individu tersebut menafsirkan situasi,
(f) dari interaksi ini kemudian individu tersebut
menciptakan kelompok dan masyarakat.[8] Adapun kelemahan dari teori ini adalah
mengabaikan pembahasan pada struktur sosial makro, seperti nilai-nilai, norma
sosial, hukum, serta institusi sosial dan terlalu fokus pada pembahasan interaksi
sosial mikro, yaitu hubungan antar pribadi.
Teori fenomenologi
Teori ini membahas mengenai bagaimana kehidupan
bermasyarakat itu terbentuk. Berangkat dari pandangan Weber, Alfred Schultz
sebagai seorang tokoh yang mengembangkan teori ini memandang bahwa tindakan
manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna
tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya
itu sebagai sesuatu yang penuh arti.[9]
Dengan kata lain, teori ini berpendapat bahwa manusia
atau individu bisa menciptakan dunia sosialnya sendiri dengan memberikan arti
kepada perbuatan-perbuatannya itu. Teori ini muncul sebagai reaksi atas
anggapan yang memandang bahwa manusia atau individu dibentuk oleh kekuatan-
kekuatan sosial yang mengitarinya. Untuk melakukan studi fenomenologis orang
harus tinggal dalam masyarakat yang bersangkutan agar ia bisa menangkap arti
fenomena sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.
Teori etnometodologi
Etnometodologi merupakan cabang dari fenomenologi.
Etnometodologi berusaha pengungkap realitas dunia kehidupan dari individu atau
masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai
sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi sememiliki kesamaan
dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi,
interaksionis simbolik dan teori Talcott Parsons.[10] Teori ini dikembangkan
oleh Harold Garfinkel seorang dosen sosiologi di Universitas California of Los
Angeles (UCLA). Teori ini mulai berkembang sekitar tahun 1950-an.
Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang
mengembangkan studi etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner,
Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Dari beberapa
pakar ini, Jack Douglas yang dinilai paling lengkap pembahasan
etnometodologinya.
Etnometodologi mempelajari dan berusaha menangkap arti
dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau
perkataan-perkataan yang mereka ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit.
Sementara Garfinkel menekankan, pokok masalah etnometodologi tidak lain adalah
pertukaran komunikasi yang di dalam penelitian etnometodologis disebut
proses-proses komunikasi menuju saling memahami di antara para pelaku
komunikasi.[11] Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti
atau makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas
sosiolog adalah menemukan bagaimana individu atau masyarakat mengonstruksi
kehidupan sosialnya dan mencoba menemukan bagaimana mereka memberi arti atau
makna kepada dunia sosialnya sendiri. Pada pengaplikasian teori etnometodogi,
Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan
eksperimen melalui simulasi.
Pada level metode penelitian. Metode penelitian empiris yang digunakan para penganut paradigma definisi sosial cenderung ke arah metode observasi. Sebab menurut penganut paradigma ini, dengan metode observasi akan didapatkan tindakan subyek yang wajar, dan tidak dibuat-buat atau spontan. Metode ini terdiri dari empat tipe teknik observasi yaitu, (a) participant observation, yaitu peneliti tidak memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang diamatinya atau bersifat tertutup, (b) participant as observer, di sini peneliti memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang ditelitinya atau bersifat terbuka, (c) observer as participant, yaitu penelitian yang dilakukan dalam waktu singkat sehingga menuntut peneliti untuk merencanakan penelitiannya secara sistematis dan teliti sebelum turun ke lapangan penelitian, dan (d) complete observer, yaitu posisi peneliti dalam mengamati subyek tidak berpartisipasi secara langsung dan dalam hal ini subyek tidak menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Variabel penelitian ini bisa bersifat ndividual atau kelompok.
Pada level metode penelitian. Metode penelitian empiris yang digunakan para penganut paradigma definisi sosial cenderung ke arah metode observasi. Sebab menurut penganut paradigma ini, dengan metode observasi akan didapatkan tindakan subyek yang wajar, dan tidak dibuat-buat atau spontan. Metode ini terdiri dari empat tipe teknik observasi yaitu, (a) participant observation, yaitu peneliti tidak memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang diamatinya atau bersifat tertutup, (b) participant as observer, di sini peneliti memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang ditelitinya atau bersifat terbuka, (c) observer as participant, yaitu penelitian yang dilakukan dalam waktu singkat sehingga menuntut peneliti untuk merencanakan penelitiannya secara sistematis dan teliti sebelum turun ke lapangan penelitian, dan (d) complete observer, yaitu posisi peneliti dalam mengamati subyek tidak berpartisipasi secara langsung dan dalam hal ini subyek tidak menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Variabel penelitian ini bisa bersifat ndividual atau kelompok.
3. Paradigma perilaku sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar
individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma ini
menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah
perilaku manusia atau individu yang tampak dan kemungkinan perulangannya.
Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan
lingkungan yang mempengaruhi ia dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia
atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti
norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu
kurang sekali memiliki kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika
Burrhus Frederic Skinner, salah satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut
George Ritzer, Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran
behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spektrum yang sangat luas.
Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam
pengembangan sosiologi behavior.
Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba
mengkritik apa yang menjadi obyek dari paradigma fakta sosial dan definisi
sosial. Obyek dari kedua paradigma ini seperti struktur dan institusi sosial
adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi dalam pemikiran
manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi Skinner,
obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang sebenarnya
yaitu sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa
obyek perilaku manusia adalah obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis.
Teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu teori behavioral sociology dan
teori pertukaran (exchange).
Teori behavioral sociology
Teori ini merupakan implementasi dari perpaduan obyek
kajian psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut George C. Homans, manusia
di dalam masyarakat tidak memiliki sifat selain yang diperolehnya dari, dan
mungkin juga dibentuknya sendiri, kaidah-kaidah tentang hakikat manusia secara
individu. Lebih lanjut Homans menambahkan, bahwa dalam fenomena sosial, susunan
penyebab-penyebabnya adalah kaidah yang sifatnya universal.[12]
Inti fokus analisis teori ini pada hubungan kausal
atas perilaku individu. Teori ini menekankan adanya hubungan historis antara
akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan individu dengan tingkah laku
yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu
apakah mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.
Teori pertukaran
Teori ini dikembangkan oleh George Homan. Di mana
teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa semua kontak di antara manusia
bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama.
Secara garis besar Homan menyusun lima proposisi dari teori ini yaitu,
1. Semakin sering individu melakukan suatu tindakan
tertentu yang dinilainya membawa keuntungan atau manfaat, maka semakin sering
individu tersebut akan melakukan tindakan yang sama.
2. Jika di masa lalu ada stimulus yang di mana
tindakan individu tersebut memperoleh ganjaran (positif), maka semakin besar
kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa.
3. Semakin tinggi apresiasi yang diberikan atas suatu
tindakan individu, maka akan semakin
sering individu melakukan tindakan tersebut.
4. Semakin sering seseorang menerima satu ganjaran
dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut.
Dalam hal ini unsur waktu memainkan peranan penting.
5. Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran
yang diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul perasaan emosi atau
kecewa dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang menerima
ganjaran yang lebih besar dari apa yang dia harapkan, maka dia akan merasa
senang dan lebih besar kemungkinan dia akan terus melakukan perilaku tersebut.
Sedangkan metode yang digunakan dalam paradigma
perilaku sosial menggunakan metode kuesioner, interviu dan observasi. Namun
praktiknya, para penganut paradigma ini biasa menggunakan metode eksperimen
untuk penelitiannya. Variabel pada penelitian ini lebih ke individual
4. Paradigma integratif sebuah sintesis
tiga paradigma
Seiring perkembangan analisis tiga paradigma itu
dengan berbagai macam perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi.
Menurut George Ritzer, perlu adanya paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari
ketiga paradigma ini. Sebab bagi George Ritzer, teramat sulit untuk memahami
fenomena sosial yang begitu kompleks. Melalui bukunya Anthony Giddens pun
menjelaskan perihal keterkaitan antar subject matter sosiologi. Menurut Anthony
Giddens, analisis mikro dan makro masing-masing tidak berdiri secara terpisah,
masing-masing justru membutuhkan, meskipun harus tetap dibedakan.[13]
Contoh nyata dari kelemahan pandangan analisis satu
posisi paradigma ini misalnya, analisis Marx sering dinilai memusatkan pada
struktur makro-obyektif–khususnya pada struktur ekonomi kapitalis. Tetapi
dengan menggunakan skema yang mempunyai berbagai tingkat analisis sosial
memungkinkan para ilmuwan sosial dapat melihat bahwa Marx mempunyai wawasan
yang kaya mengenai semua tingkat realitas sosial dan antar hubungan berbagai
realitas sosial itu. Begitu pula interaksionis simbolik umumnya dianggap
sebagai perspektif yang berurusan dengan mikro-subyektif dan mikro-obyektif, tetapi
tidak menutup kemungkinan ilmuwan sosial dapat mengetahui sesuatu yang makro.
Sama halnya dengan menganalisis pemikiran Levi Strauss, yang di mana masyarakat
dipadankan dengan bahasa. Justru melalui bahasa, kita akan terbantu untuk
mengetahui beberapa karakteristik kegiatan masyarakat secara keseluruhan.
Berangkat dari perdebatan paradigma ini. George Ritzer
berusaha mengetengahkan masalah ini dengan mengajukan konsep paradigma
integratif. Maksudnya adalah menggabungkan subject matter dari ketiga paradigma
ini, yang meliputi semua tingkatan realitas, baik tingkat makro-obyektif
seperti masyarakat, hukum, birokrasi, dan bahasa, tingkat makro-subyektif
seperti nilai, norma, dan budaya, tingkat mikro-obyektif seperti pola perilaku,
tindakan, dan interaksi, dan tingkat mikro-subyektif seperti persepsi, dan
keyakinan.
Ketiga paradigma ini memang berbeda subject
matter-nya, namun sesungguhnya saling memperkaya analisis. Meski masing-masing
ketiga paradigma yang ada itu menjelaskan satu tingkat realitas sosial
tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat. Namun
kelemahan pada paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman
analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak
sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk itu, dalam
menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian yang diajukan.
Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan pendekatan
integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.
Penerapan paradigma integratif ini dapat kita temukan
pada analisis Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman[14]. Melalui “The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Tafsir
Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan)” yang ditulisnya
pada tahun 1966. Peter L. Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa manusia dan
masyarakat merupakan produk yang dialektis (tesis Marx). Maka keduanya bukanlah
sesuatu realitas tunggal yang stagnan dan absolut. Untuk itu, realitas memiliki
dimensi subyektif dan obyektif (tesis Schutz).
Dualitas realitas ini menunjukkan bahwa manusia
merupakan instrumen dalam menciptakan ‘realitas yang obyektif’ (tesis Durkheim)
melalui proses eksternalisasi, sebagaimana dia memengaruhinya melalui proses
internalisasi yang mencerminkan ‘realitas yang subjektif’ (tesis Weber).
Analisis Peter L. Berger dan Thomas Luckman dilandasi dari berbagai penyatuan
paradigma yang ada pada sosiologi. Peter L. Berger dan Thomas Luckman bersandar
dengan berbagai pemikiran seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Schutz. Analisis
ini kemudian dikenal sebagai teori konstruksi sosial.
Tokoh selanjutnya yang menerapkan paradigma integratif
yaitu Anthony Giddens.[15] Karya Anthony Giddens “The Constitution of Society
(1984)” merupakan sumbangsih besar bagi penyelesaian perdebatan pada kajian
ilmu sosial. Awal lahirnya karya Anthony Giddens ini dilatarbelakangi perbedaan
pandangan subyek matter pada kajian ilmu sosial. Perbedaan ini melihat bahwa
struktur (makro) adalah yang lebih berperan dibandingkan dengan individu
(mikro), yang oleh Anthony Giddens disebut agen. Anthony Giddens berusaha
menjadi penengah dengan menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah agen ataupun
struktur, melainkan interaksi keduanya. Pemikiran Anthony Giddens ini kemudian
dikenal dengan nama teori strukturasi.
Peter L. Berger dan Thomas Luckman serta Anthony
Giddens merupakan sosiolog yang berusaha menjembatani ketegangan antara
subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme
dan determinisme. Keduanya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan
struktur. Kiranya inilah pandangan paradigma integratif yang dapat juga
dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan
perpaduan berbagai paradigma sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari
ilmuwan sosial tersebut.
Kiranya pemaparan singkat di atas mengenai berbagai
paradigma sosiologi dapat menjadi jembatan untuk masuk dalam pintu pengetahuan
sosiologi. Walaupun kategori paradigma sosiologi masih terus menjadi diskursus
ilmiah, namun disinilah letak keasyikan rimbah sosiologi.
Daftar Pustaka:
Daftar Pustaka:
[1] George Ritzer, Teori Sosiologi Modern,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), hal. 697
[2] Geoger Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 8.
[2] Geoger Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 8.
[3] Lebih lengkap lihat George Ritzer, Teori Sosiologi
Modern, Op.Cit., hal. 697.
[4] Geoger Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, Op.Cit., hal.38.
[5] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Lihat Geoger Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, Op.Cit., hal.40-41 dan Ambo Upe, Tradisi Aliran Dalam
Sosiologi, Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), hal.204-205.
[7] Lengkapnya lihat Geoger Ritzer, Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda, Op. Cit., hal.46.
[8] Lihat Geoger Ritzer, Teori Sosiologi Modern,
Op.Cit., hal. 392-393.
[9] Geoger Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda, Op.Cit., hal.59.
[10] Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer,
(Jakarta : Rajawali Pers, 1994).
[11] Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed),
Social Theory Today; Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial,
diterjemahkan oleh Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal.127.
[12] George C. Homans, “Behaviorisme dan Sesudahnya”,
dalam Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), Op.Cit., hal. 103.
[13] Anthony Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah
Baru, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.xii.
[14] Lihat Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman,
Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990).
[15] Lihat Anthony Giddens, Teori Strukturasi;
Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010).