PENDIDIKAN
ISLAM DALAM UU No. 4/1950 Jo No. 12/1954 (Pendidikan Islam belum Menjadi Bagian
Sistim Pendidikan Indonesia)
A. Pendahuluan
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak
masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari
kontak pribadi maupun kolektif antara muballigh (pendidik) dengan peserta
didiknya. Ketika umat Islam telah menjadi sebuah komunitas di sebuah
daerah, barulah umat Islam mendirikan masjid, surau, bale, kobong, dan yang
lainnya. dari tempat-tempat tersebut telah terjadi proses belajar mengajar
antara guru dan murid. Dalam teori pendidikan dikemukakan paling tidak ada tiga
hal yang ditransferkan dari si pendidik kepada si terdidik, yaitu transfer
ilmu, transfer nilai, dan transfer perbuatan (transfer of knowledge, transfer
of value, transfer of skill) di dalam proses pentransferan inilah
berlangsungnya pendidikan. Kajian-kajian histories menunjukkan bahwa sampai
abad ke-19, pendidikan Islam, dalam bentuk masjid dan pesantren, masih menjadi
lembaga pendidikan yang dominant bagi masyarakat Indonesia. Pergeseran mulai terjadi
pada masa penjajahan. Sekitar tahun 1865 masyarakat pribumi, khususnya di Jawa,
disediakan model pendidikan yang dirancang berdasarkan kebjakan pemerintah
Hindia Belanda. Kebijakan ini pada awalnya untuk mempersiapkan kalangan pribumi
menjadi pegawai gubernurmen (kantor-kantor pemerintah Hindia Belanda). Pola
pendidikan yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan ini sama
sekali bukan merupakan penyesuaian-penyesuaian terhadap sistim pendidikan Islam
pada masa itu, tetapi malah lebih menyerupai sekolah-sekolah zending yang
berkembang di wilayah Minahasa dan Maluku. Pemerintah Hindia Belanda mengambil
jalan aman (netral) dengan tidak dimasukkannya sistim pendidikan Islam dalam
sistim pendidikan mereka. Ini dikarenakan kekhawatiran pemerintah Hindia
Belanda kalau pendidikan Islam mampu memberikan motivasi tinggi terhadap
perlawanan dan perjuangan umat Islam dalam membela tanah airnya yang
direbut oleh pemerintahan kafir. Setelah Indonesia merdeka pendidikan
Islam mulai menemui titik terang –walaupun tidak seterang lampu 100 watt- untuk
bisa berkiprah dalam sistim pendidikan di Indonesia. Makalah ini akan
mengkaji tentang pendidikan Islam yang belum bersinar terang dalam sistim
pendidikan nasional di era kemerdekaan hingga dikeluarkannya UU no. 4/1950 jo
no. 12/1954. B. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan Islam menurut Zarkowi
Soejoeti terbagi dalam tiga pengertian yaitu: Pertama, “Pendidikan
Islam” adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong
oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejewantahkan nilai-nilai Islam,
baik yang tercermin dalam nama lembaganya, maupun dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan
diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis
pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai
pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam
ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagai ilmu
yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian
di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai
bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan. Dari
pengertian di atas ada dua aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam
yaitu aspek kognitif (keilmuan) dan aspek afektif (pelaksanaan).
Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Barlian Somad, bahwa ciri khas pendidikan Islam itu
ada dua macam :
- Tujuannya: Membentuk individu menjadi bercorak diri tertinggi menurut ukuran Allah;
- Isi pendidikannya: Ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam al-Qur’an yang pelaksanaannya dalam praktek hidup sehari-hari dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah Saw.
Penulis-penulis Indonesia kontemporer berusaha
menjelaskan definisi pendidikan Islam dengan melihat tiga kemungkinan hubungan
antara konsep “pendidikan” dan konsep “Islam”. Istilah pendidikan Islam
tersebut dapat dipahami sebagai:
- Pendidikan (Menurut) Islam,
- Pendidikan (Dalam) Islam,
- Pendidikan (Agama) Islam.
Dalam hubungan yang pertama pendidikan Islam bersifat
normative, sedang dalam yang kedua pendidikan Islam lebih bersifat
sosio-historis. Adapun dalam hubungan yang ketiga, pendidikan Islam lebih
bersifat proses-operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam.
Dalam kerangka akademik, pengertian yang pertama merupakan lahan Filsafat
Pendidikan Islam, dan pengertian yang ketiga merupakan kawasan Ilmu Pendidikan
islam Teoritis.
B. Pendidikan Islam dalam Sistim Pendidikan Nasional
Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu
dari tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk tercapainya cita-cita tersebut maka pemerintah dan rakyat Indonesia
berusaha membangun dan mengembangkan pendidikan semaksimal mungkin. Usaha-usaha
yang dilakukan dalam mengembangkan pendidikan adalah; pertama sekali membentuk
Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran tahun 1946 pada masa Menteri PP
dan K, Mr. Soewndi, panitia tersebut diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Panitia
bertugas untuk meninjau kembali dasar, isi, susunan, dan seluruh usaha
pendidikan/pengajaran. Sejak awal masa kemerdekaan tidak ada masalah yang
prinsipil tentang pendidikan Islam dalam pengertian eksistensial. Keberadaannya
di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang sudah berlangsung lama. Untuk
kepentingan ini pun pada tahun 1946 dibentuk Departemen Agama antara lain
mengurusi pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta, pengajaran umum
madrasah, dan penyelenggaraan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta Pendidikan
Islam Hakim Negeri (PIHN). Pembentukan Departemen Agama dengan beberapa tugas
itu pun sebetulnya sudah lebih dulu didirikan lembaga serupa pada masa
pemerintahan Jepang. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh
Departemen Agama tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama saja
-pesantren dan madrasah- tetapi juga menyangkut sekolah-sekolah umum.
Uapaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum, telah dimulai
sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(BPKNIP), di antara usul Badan tersebut kepada Kementrian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan, adalah termasuk masalah pengajaran agama, madrasah,
dan pesantren. Mengenai ini usul Badan Pekerja adalah sebagai berikut
pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup
mendapat perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan
golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya.
Tentang cara melakukan ini baiklah Kementrian mengadakan perundingan dengan
badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren pada hakekatnya adalah satu
alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat
berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan
bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari Pemerintah.
Usul badan pekerja itu baru dapat dilaksanakan pada masa Menteri PP dan K
dipegang oleh Mr Suwandi M dalam kurun waktu 2 Oktober 1946 – 27 Juni
1947. akhirnya ketentuan-ketentuan yang lebih tegas tentang pendidikan agama
dalam pendidikan nasional telah direkomendasikan oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), antara lain :
- Pelajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah
- Para guru dibayar oleh Pemerintah
- Pada sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV
- Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentuPara guru diangkat oleh departemen Agama
- Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum
- Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama
- Diadakan latihan bagi guru agama
- Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki
- Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan
Berdasarkan rekomendasi itu pendidikan Islam berarti
sangat terbatas pengajaran agama di sekolah-sekolah mulai kelas IV. Waktunya
pun seminggu sekali, dan tidak termasuk pelajaran bahasa Arab. Dalam
rekomendasi itu, pendidikan Islam dalam pengertian lembaga seperti pesantren
dan madrasah tidak mendapat perhatian khusus, kecuali kalimat nomor 9 :
kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki. Mengenai batas materi
pendidikan agama, diisyaratkan oleh pernyataan Ki Hajar dewantara –pimpinan
Taman Siswa dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pertama- yang memandang
pendidikan agama terutama hanya sebagai pendidikan budi pekerti, secara umum
dalam Islam. Usaha selanjutnya mengadakan kongres pendidikan di Solo tahun
1947. Pada tahun 1948 dibentuk panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok
Pendidikan dan Pengajaran. Panitia ini juga diketuai oleh Ki Hajar Dewantara.
Tahun 1949 diadakan Kongres Pendidikan kedua di Yogyakarta. Dengan selesainya
kongres pendidikan di Yogyakarta, maka bertambah banyaklah bahan-bahan masukan
guna menyusun Undang-Undang Pokok Pendidikan. Akhirnya pada tahun 1950 lahirlah
Undang-Undang No. 4 tahun 1950 dengan nama: Undang-Undang tentang Dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang disingkat menjadi UUPP. Undang-Undang
ini seluruhnya terdiri dari 17 bab dan 30 pasal. Di dalam UUPP tersebut dicantumkan
tujuan dan dasar-dasar pendidikan dan pengajaran. Setelah lahirnya UU tersebut
tidak serta merta terselesaikannya permasalahan pendidikan Islam yang sudah
mengakar pada tubuh umat Islam. Masalah pendidikan Islam muncul pada segi
lingkup sejauh mana pendidikan Islam dikembangkan. Apakah terbatas pada
pendidikan Islam dalam pengertian agama secara murni, atau pendidikan Islam
dalam pengertian system yang mengajarkan berbagai aspek kehidupan yang
berdasarkan agama. Hal ini menjadi serius karena akan sangat menentukan pola
dan system pendidikan nasional secara menyeluruh. Kalangan Islam berpendapat
bahwa pendidikan Islam harus dikembangkan di Indonesia sejauh mungkin,
sementara kalangan non-Islam membatasinya dalam lingkup pengajaran agama.
C. Berkenalan dengan UU No. 4 tahun 1950 Jo No. 12
tahun 1954
“Tak Kenal Maka Tak Sayang”, ungkapan ini sepertinya
akrab di telinga kita, sebagai gambaran bahwa banyak yang belum kenal dengan UU
ini. Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa Undang-Undang No. 4 tahun 1950
tidak lahir dengan begitu saja, tapi malalui proses panjang seperti halnya
pembentukan UU Sisdiknas tahun 2003 yang sulit untuk disahkan karena banyak
kepentingan, baik secara politik, social, budaya, ekonomi dan emosi (sentiment)
keagamaan turut ikut serta di dalamnya. Proses pembentukan Undang-Undang
tentang dasar Pendidikan dan Pengajaran yang kemudian disebut UUPP ini
memakan waktu sekitar 4 tahun lebih;
- Pertama, tahun 1946 pada masa menteri PP dan K, Mr Soewandi Mangoensarkoro, membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara.
- Kedua, tahun 1947 panitia mengadakan kongres pendidikan I di Solo.
- Ketiga, tahun 1948 dibentuk Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran, diketuai juga oleh Ki Hajar Dewantara.
- Keempat, tahun 1949 panitia mengadakan kongres pendidikan II di Yogyakarta.
Secara yurids, pendidikan di Indonesia telah bersemai
dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah (lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550), yang
pelaksanaannya ditegaskan dalam UU No. 12 tahun 1954, tentang Pernyataan
Berlakunya UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di
Sekolah unuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara tahun 1954 Nomor 38, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 550). Undang-Undang tersebut ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 2 April 1950 oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan S. Mangoensarkoro, kemudian
diundangkan pada tanggal 5 April 1950 oleh Menteri Kehakiman pada saat itu A.G.
Pringgodigdo. Selanjutnya Presiden Republik Indonesia menyatakan berlakunya
Undang-Undang No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia terdahulu tentang
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia dengan
mengeluarkan Undang-Undang No. 12 tahun 1954 di Jakarta pada tanggal 12 Maret
1954 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 1954 yang ditandatangani oleh
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Muhamad Yamin serta Menteri
Kehakiman Djody Gondokusumo. Berdasarkan dokumen resmi tersebut, kita dapat
mempelajari seluruh pemikiran sekaligus praktik pendidikan di Indonesia,
terutama sampai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin. Secara umum dapat
diberikan pandangan bahwa bunyi undang-undang tersebut sangat singkat. Total
hanya 17 bab dan 30 pasal, termasuk satu bab dan dua pasal penutup, dibanding
UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang mencapai 20
bab dan 59 pasal. Bisa kita lacak dari UUPP No. 4 tahun 1950 itu hanyalah
mengatur hal-hal pokok saja, seperti mengenai tujuan pendidikan dan pengajaran,
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran, bahasa pengantar, jenis pendidikan dan
pengajaran dan maksudnya, pendidikan jasmani, kewajiban belajar, pengelolaan
sekolah oleh Negara dan swasta, syarat-syarat menjadi guru, murid, pengajaran
agama di sekolah-sekolah negeri, pendidikan campuran dan terpisah (laki-laki
dan perempuan), libur sekolah dan hari sekolah, serta pengawasan dan
pemeliharaan pendidikan dan pengajaran. Dari sisi tersebut di atas, UU No. 4
tahun 1950 Jo UU No. 12 tahun 1954 ini simple tapi padat, tapi pada sisi lain
UU ini belum maksimal dalam merefleksikan keinginan umat Islam –yang mayoritas
jumlah penduduknya- dalam memasukkan pendidikan Islam. Sampai akhir decade
60-an pelaksanaan pendidikan secara nasional masih bertumpu pada Undang-Undang
No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954 “tentang dasar-dasarPendidikan dan
Pengajaran di Sekolah”. seperti dapay dipahami dari namanya, Undang-Undang
tersebut pada pengaturan pendidikan di sekolah. Dalam kenyataan tidak memberi
perhatian yang cukup pada pendidikan di sekolah. Dalam kenyataannya tidak
memberi perhatian yang cukup pada pendidikan di luar sekolah. Dalam pasal 2
ayat 1 ditegaskan sebagai berikut; “Undang-Undang ini tidak berlaku untuk
pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat”.
Mengenai Madrasah hanya diisyaratkan dalam pasal 10 ayat 2 sebagai berikut :
“Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama
dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Padahal pasal 3 dari
Undang-Undang tersebut menyebutkan : “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah
membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Dari rumusan
ini tidak tercermin adanya perhatian terhadap usaha pembinaan mental spiritual
dan keagamaan secara terus menerus melalui proses pendidikan. itulah sebabnya
pada pasal 20 ayat 1 dan 2 disebutkan : “Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan
pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti
pelajaran tersebut.” “Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah
negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama.” Dalam
penjelasannya bahkan dikemukakan bahwa mata pelajaran pendidikan agama bukan
merupakan factor penentu dalam kenaikan kelas anak didik. Untuk merealisasikan
ayat 2 di atas, maka dikeluarkanlah Peraturan Bersama Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama: No. 1432/Kab. Tanggal 20
januari 1951 (Pendidikan) No. K.I/651. Tanggal 20 Januari
1951 (Agama) Peraturan ini terdiri dari 11 pasal, yang intinya
adalah : Pendidikan agama diberikan di sekolah rendah dan sekolah lanjutan. Di
sekolah rendah pendidikan agama dimulai di kelas 4 sebanyak 2 jam dalam 1
minggu. Sedangkan di lingkungan istimewa pendidikan agama dapat dimulai pada kelas
satu dan lama belajarnya tidak boleh lebih dari 4 jam seminggu. Di sekolah
lanjutan tingkat pertama dan atas baik di sekolah-sekolah umum maupun
sekolah-sekolah van diberikan pendidikan agama 2 jam tiap-tiap minggu.
Pendidikan agama yang diberikan sesuai dengan agama murid dan jumlah murid yang
mengikuti pelajaran agama dalam satu kelas sekurang-kurangnya sepuluh orang
untuk agama tertentu. Selama berlangsung pendidikan agama, murid yang beragama
lain boleh meninggalkan kelas. Guru-guru agama diangkat oleh Menteri Agama dan
begitu juga pembiayaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama setelah
mendapat persetujuan dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Peraturan bersama yang dikluarkan tanggal 20 Januari 1951 ini sekaligus
berfungsi mencabut Penetapan Bersama Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan dan Menteri Agama tanggal 2 desember 1946. Sebagai bahan lanjutan
dari peraturan bersama ini, maka pada tanggal 16 Juli 1951 dikeluarkan lagi
peraturan bersama dengan nomor surat masing-masing : No. 17678/Kab. Tanggal
16 Juli 1951 (Pendidikan) No. K/I/1980 tanggal 16 Juli 1951
(Agama) Isi dari Peraturan Bersama ini adalah: Memperbaiki Peraturan
Bersama yang dikelaurkan tanggal 2 Januari 1951: No. 1432/Kab. Tanggal 20
Januari 1951 (Pendidikan) No. K.I/651. Tanggal 20 Januari 1951
(Agama) Pada prinsipnya kedua peraturan tersebut, yaitu peraturan
yang dikeluarkan tanggal 15 Januari 1951, dengan peraturan berikutnya tanggal
16 Juli 1951, adalah sama halnya terdapat perbaikan pada poin khusus tanpa ada
perubahan yang prinsipil. Peraturan Bersama tanggal 16 Juli 1951 diiringi
dengan keluarnya Instruksi Pelaksana Bersama, tanggal 14 Oktober 1951 dengan
nomor surat masing-masing: No. 36923/Kab. Tanggal 14 Oktober 1952
(Pendidikan) No. K/I/15773. Tanggal 14 Oktober 1952 (Agama)
Instruksi Bersama ini memuat sepuluh pasal meliputi hal yang berkenaan dengan :
Guru agama, persiapan pengajaran agama di SR dan SL, formulir, lingkungan
istimewa, pengawasan, tempat latihan beribadat, nilai pengajaran agama, kerja
sama dan pengajaran agama di sekolah partikulir. Di luar Undang-Undang itu,
kebijakan pemerintah khususnya yang menyangkut pendidikan agama agaknya tidak
statis. sejumlah ketetapan MPRS/MPR, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Pemerintah, dan Surat Keputusan Menteri dikeluarkan. Ketetapan itu memang tidak
mengubah status pendidikan agama sebagai mata pelajaran minor/pilihan, tetapi
memperluas jangkauannya sampai ke universitas. Perubahan seperti ini belum
banyak berarti, apalagi yang dalam pelaksanaannya dihadapkan pada situasi
politik NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis) yang memberikan peran langsung pada
komunis Indonesia dalam pemerintahan.
D. Penutup
Dari Uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut: Pada dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
kepada rakyat Indonesia untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaan yang
mendalam untuk menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan
pada sila pertama dari pancasila, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk menuju
kearah yang dicita-citakan itu yaitu membentuk manusia yang susila sesuai
dengan tujuan pendidikan bab 2 pasal 3 UU No. 4 tahun 1950 jo No. 12 tahun
1954, tentu harus melalui pendidikan agama yang memadai. Pendidikan agama yang
tercantum dalam dictum UU tersebut belum menjadi bagian dalam pendidikan
nasional, karena pendidikan agama hanya sebagai pelengkap bagi orang tua yang
menyetujui anaknya untuk belajar pendidikan agama, belum menjadi mata pelajaran
pokok di sekolah. Pendidikan madrasah dan pesantren belum mendapat tempat yang
semestinya dalam undang-undang ini, hanya tersirat saja, dan rekomendasi dari
BPKNIP memberikan harapan untuk peningkatan kualitas madrasah dan pesantren. UU
itu telah berlalu, UU itu telah menjadi sejarah, sejarah menjadi cermin, cermin
untuk ditatap sebagai pijakan menuju masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
- Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKiS, 2007
- Fajar,Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1999
- Haidar Daulay Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarat : Kencana, 2007
- Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003
- Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: tanpa penerbit, 1970
- Somad, Barlian, Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1981
- Steenbrink, Karel A, Pesantren Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994
- Sumardi, Muljanto, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975, Jakarta: LPIAK Balitbang Agama Depag, 1977
- Undang-Undang No. 4 tahun 1950 jo No. 12 tahun 1954
http://stitattaqwa.blogspot.com/2012/12/pendidikan-islam-dalam-uu-no-41950-jo.html