KATA
PENGANTAR
BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
Segalapuji
bagi Allah Tuhan sekalian alan, yang telah melimpahkan Rahmat, Taufiq dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan diktat-diktat Sejarah
Peradilan Islam ini. Salam dan Sholawat senoga tetap terlimpahkan pada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Diktat
ini merupakan bahan kuliah Sejarah Peradilan Islam, diberikan pada semester III
Fakultas Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Mamba’ul Ulum Surakarta.Isinya
sedapat mungkin telah kami sesuaikan dengan syllabus dan kurikulum yang
diterbitkan oleh Direktoreat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta,
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.Penulis
nemyadari bahwa dalam penyusunan diktat ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
saran dan kritik yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan.
Akhirnya
semoga dikta ini bermanfaat.
Surakarta,
5 Oktober 1992
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Pentingnya Peradilan Bagi
Masyarakat
B.
Peradilan Zaman Persia, Romawi,
Mesirkuno
C.
Peradilan Bangsa Arab Sebelum
Islam
BAB II : PERADILAN PADA ZAMAN ROSULULLAH SAW.
A.
Jabatan Rosul dan Qodli/Mufti
B.
Kedudukan Qodli, Proses
Pemeriksaan Perkara
Serta Pelaksanaan Putusan Hakim
BAB III : PERADILAN PADA MASA KHULAFAUR ROSYIDIN
A.
Peradilan Masa Abu Bakar Ash
Shidiq
B.
Peradilan Masa Umar bin
Khoththob
C.
Peradilan Masa Utsman dan Ali
BAB IV : PERADILAN ZAMAN BANI UMAYAH
A.
Pengaruh Perluasan Kekuasaan
pada Perkembangan Peradilan
B.
Kedudukan Peradilan dan Hakim
BABB V : PERADILAN ISLAM ZAMAN
DAULAT ABBASIYAH
A.
Perkembangan Hukum Islam dan
Pengaruhnya pada Peradilan Islam
B.
Persoalan Madzab dalam Peradilan
BAB
VI : PENGARUH PERKEMBANGAN ISLAM TERHADAP
PERADILAN
DI MESIR
BAB VII :PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA
A.
Lahirnya Peradilan Islam di
Indonesia
B.
Peradilan Agama Zaman Penjajahan
C.
Peradilan Agama Setelah
Proklamasi
D.
Hak dan Wewenang Peradilan Agama
di Indonesia
BAB VIII : PROSPEK PERADILAN
AGAMA DI INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENTINGNYA PERADILAN BAGI KEPENTINGAN
MASYARAKAT.
Peradilan
ternyata telah dikenal sejak zaman purba dan peradilan merupakan suatu
kebutuhan bagi suatu masyarakat atau Negara. Tiada suatu negarapun /
pemerintahan berdiri tanpa adanya peradilan. Dengan peradilan silang sengketa
dapat diselesaikan, dengan peradilan pula orang kecil lebih enak tidur, karena
dengan peradilan dapat menjamin hak seseorang dan menjamin dan menjamin tidak
adanyan saling aniaya sesamanya. Peradilan adalah mempunyai tugas suci, karena
dengan peradilan dapat menghalangi seseorang berbuat dlolim serta mewujudkan
ketertiban umum, melindungi jiwa, harta dan kehormatan.
Kalau kita
bisa membuat undang-undang dan peraturan-peraturan , tetapi jika tidak ada
BAdan peradilan sebagai pelaksana untuk melaksanakannya, maka hasilnya tidak
akan menjamin kehidupan menjadi tenteram. Karena itu masyarakat Negara dan juga
dunia menyadari pentingnya peradilan, maka disamping adanya peraturan
perundangan juga mendirikan peradilan. Hal ini terbukti sejak zaman sebelum
Islam seperti di Persi, Romawi dan Mesirpun sudah pernah memiliki peradilan
meski dalam bentuknya yang sederhana.
B.
PERADILAN ZAMAN PERSIA, ROMAWI DAN MESIR KUNO.
Kekuasaan Persia, Romawi dan Mesir kuno telah
memiliki Lembaga yang terrorganisir dengan memiliki peraturan perundangan atau
program – program yang dilaksanakan oleh para qodli, dan sejarah timur dekat
mengisahkan kepada kita tentang adanya syari’at Hamurabi yang meletakkan dasar
peradilan yang mendekati keadilan, dan Assiria yang dating sesudah Hamurabi
demikian juga Daulat Israel dan bangsa Arab sebelum Islam, yang berpendapat
bahwa alat-alat bukti adalah:
a)
Saksi
b)
Sumpah
c)
Tertangkap basah
Sejarah
bangsa – bangsa Arab juga menceritakan kepada kita tentang teknis mengambil
putusan dan alat pembuktian yang asing sampai pada abad ke XII Masehi.
Bagaimanapun bentuknya, tetapi sejarah peradilan telah dimulai sejak masa yang
telah lampau.
Adapun yang istimewa yang menjadi
perhatian bangsa – bangsa ini tentang peradilan ada dua macam yaitu:
1.
Kemampuan seorang qodli serta kemampuanya
dankebaikan akhlaknya, mak tidaklah mungkin seseorang itu akan diangkat sebagai
qodli, apabila ia tidak mempunyai kemampuan bidang ini, oleh sebab itu di
perhatikan pula tentang kecerdasan dan keluasan ilmunya, demikian pula tentang
sikap ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya dan keluhuran budinya.
2.
Bahwa kehidupan dan pekerjaan qodli haruslah
selalu dalam keadaan yang dapat menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan
tugasnya yang suci, maka semakin tinggi kemajuan kemajuan bangsa akan semakin
besar pula jaminan – jaminan tersebut dapat diperoleh seorang qodli.
C.
PERADILAN BAGI BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM.
Bangsa Arab
sebelum Islam telah memiliki qodli – qodli untuk menyelesaikan segala sengketa
mereka, hanya saja bangsa Arab sebelum Islam tidak memiliki Sulthoh Tasyri’iyah
(badan legislatif). Oleh karena itu mereka mempunyai undang – undang
tertulis yang dapat dipakai sebagai pegangan para qodli.
Mereka dalam
memutuskan hukum – hukum berpegangan kepada dasar – dasar sebagai berikut:
1.
Tradisi adat – istiadat mereka yang turun –
menurun.
2.
Pendapat kepala kepala suku.
3.
Pendapat orang arif yang dikenal debagai
orang yang jitu pendapatnya.
4.
Firasat atau tanda tanda.
Serta kecerdasan ahli hukum
mereka menyebabkan mereka mendahulukan memutusakan hukum dengan firasat dan
tanda – tanda daripada alat bukti lainnya seperti saksi atau pengakuan. Adat
kebiasaan itu diambil dari pengalaman atau kepercayaan bangsa bangsa yang
berdiam di sekitar mereka seperti bangsa Romawi, Persia dan lain lain, atau
dari orang yang bersama sama mereka yaitu orang Yahudi dan Nasrani.
Peradilan
bangsa Arab jahiliyah dibagi menjadi tiga jenis peradilan yaitu:
1.
Hukumah (Qadlo)
Badan
ini dipegang oleh Banu Sakam yaitu suatu kabilah diantara golongan Quraisy.
Orang – orang Quraisy dan lain – lainya dating ke Mekah mengadukan perkaranya
kepada Banu Sakam. Diantaranya mereka yang memegang peradilan dimasa jahiliyah
ialah Hasyim Ibnu Abdu Manaf, Abu Lahab dan Ahtsam Ibn Syaif.
2.
Ihtikam
Yaitu
menyerahkan perkara kepada tukang – tukang tenung. Tukang tenung ini dianggap
mempunyai hubungan dengan makhluk halus dan mengetahui rahasia dengan
perantaraan firasat dan karinah – karinah dari suara dan gerak – gerik orang
yang berbicara, juga meraka memutuskan perkara dengan qur’ah yang kemudian
dibenarkan oleh Islam. Mereka juga menggunakan saksi.
3.
Dewan Madlolim
Dewan
ini mungkin mereka tiru dari bangsa Persia, sesudah timbul pertentangan antara
Ash bin Ma’il seorang laki – laki dari penduduk Zabid, suatu daerah di tanah
Yaman. Ash memberi suatu benda dengan cara kredit, kemudian mereka menunda –
nunda pembayaranya, maka orang zabid menjadi tidak sabar, maka dia meneriakkan
denagn suara nyaring bahwa Ash telah menganiayanya. Hal ini dilakukan di dekat
Ka’bah dihadapan tokoh – tokoh Quraisy. Krena itu oarang – orang Quraisy
berkumpul di rumah Abdullah Ibn Jad’an. Disana mereka bersumpah untuk menolong orang yang teraniaya,
sumpah sumpah inilah yang disebut hilful fudlul. Pada waktu itu belum ada gedung
pengadilan, maka mereka memutuskan perkara kadang – kadang di bawah pohon, di
dalam kemah – kemah atau ditempat – tempat lain yanfg khusus unutk peradilan
tersebut. Diantara Pengadilan yang terkenal di Mekah adalah Darun Nadwah, yaitu
gedung pengadilan yang dibangun oleh Qshai bin Kaab, pintunya menghadap masjid
Ka’bah. Di tempat inilah para kholifah dan amir – amir singgah diwaktu
mengerjakn haji di permulaan Islam. Pada pertengahan Abad ke II Hijiriyah
bangunan ini doyong, maka kholifah Mu’tadlid al Abbasy (281 H) memerintahkan
agar gedung tersebut dihancurkan sama sekali dan dihubungkan dengan Masjidil
Haram.
BAB II
PERADILAN PADA ZAMAN ROSULULLAH
A.
JABATAN ROSUL DAN QODLI/MUFTI.
Setelah
Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rosul,
maka secara resmi Islam disebarkan di seluruh penjuru dunia, disamping perintah
menyampaikan risalah, maka Allah juga memerintahkan agar menyelesaikan segala
sengketa yang timbul, sesuai dengan firman-Nya:
xsù y7În/uur
w
cqãYÏB÷sã
4Ó®Lym
x8qßJÅj3ysã
$yJÏù
tyfx©
óOßgoY÷t/
§NèO
w
(#rßÅgs
þÎû
öNÎhÅ¡àÿRr&
%[`tym
$£JÏiB
|MøÒs%
(#qßJÏk=|¡çur
$VJÎ=ó¡n@
ÇÏÎÈ
Artinya
: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (Q.S. : An Nisa Ayat
65)
Dalam
ayat lain Allah juga berfirman serta membimbingnya agar memutuskan hukum dengan
apa yang Ia turunkan:
Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
Artinya:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan” (Q.S
Al Maidah Ayat 48)
Kemudian
firman-Nya lagi :
!$¯RÎ) !$uZø9tRr&
y7øs9Î)
|=»tGÅ3ø9$#
Èd,ysø9$$Î/
zNä3óstGÏ9
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
!$oÿÏ3
y71ur&
ª!$#
4
wur
`ä3s?
tûüÏZͬ!$yù=Ïj9
$VJÅÁyz
ÇÊÉÎÈ
Artinya
: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (Q.S An Nisa Ayat
105)
Dengan
demikian maka kita dapat menetapkan bahwa hakim pertama dalam Islam ialah
Rosulullah sendiri. Disamping sebagai hakim Rosulullah juga bertindak sebagai
mubaligh yang menyampaikan risalah Islam. Para Muslimin di masa Rosulullah
belum mempunyai hakim tertentu, karena Nabi belum menunjuk seseorang bertugas
khusus menjadi hakim hanya urusan peradilan di daerah – daerah diserahkan
kepada penguasa yang dikirim kedaerah itu.
Tugas lain yang diemban Rosulullah elain tugas diatas adalah
sebagai mufti yang memberi fatwa kepada orang – ornag yang memerlukan . maka
beliau dalam hal ini mempunyai tiga tugas yaitu:
1.
Sebagai
Mubaligh.
2.
Sebagai
Mufti.
3.
Sebagai
Musyarri’.
Jadi
tugas – tugaas peradilan di zaman Rosulullah dirangkap dengan tugas – tugas
ynag lain seperti Kepala Pemerintahan dan sebagai panglima perang dll.
B.
KEDUDUKAN
QODLI DAN PROSES PEMERIKSAAN PERKARA SERTA PELAKSAAN KEPUTUSAN HAKIM.
Rosulullah
memutuskan perkara berpedoman pada wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Para
penggugat dan tergugat hadir dihadapan Nabi, lalu beliaumendengarkan keterangan
para pihak yang berperkara. Sedang alat – alat bukti yang Nabi gunakan adalah:
1.
Bayyinah.
2.
Sumpah.
3.
Saksi.
4.
Bukti
tertulis.
5.
Firasat.
6.
Qur’ah
atau undian, dll.
Tentang
Bayyinah Nabi bersabda :
البينة ءلى المدّ عى واليمين على من
انكر
Artinya : “Keterangan itu diminta dari
penggugat, sedang sumpah diminta dari tergugat”. (H.R. : Bukhori Muslim)
Maksutnya
ialah bahwa penggugat dituntut dapat membuktikan atas gugatannya, dan Nabi selanjutnya
bersabda lagi:
امرت ا ن ا حكم با لظا هر و الله يتو
لىّ على السراءر
Artinya : “Aku diperintahkan
memutuskan hukum dengan berdasarkan kepada dlohirnya perkara, sedang Allah
mengetahui segala yang rahaia” (H.R. : Bukhori Muslim).
Berbagi keputusan yang telah diputuskan
Nabi membuktikan bahwa Nabi tidak pernah memihak kepada salah satu pihak, hal
ini diperkuat dengan pesan beliau terhadap Ali sbb:
اذا جلس بين يد يك الخصما ن فل تقض
حتّى تسمع كلا م الا خركماسمعت من الأ وّل فا نةّ احر ى ا ن يتيبنّ لك القضا
Artinya : “ Apabila duduk dihadapanmu
dua pihak yang berperkara, mak janganlah tergesa – gesa memutuskan hukum,
sebelum kamu mendengar pembicaraan kedua belah pihak, karena hal itu lebih
patut bagimu dalam mengambil putusan”.
Perkembangan selanjutnya Rosulullah
mengijinkan sebagian shahabat diijinkan untuk bertindak sebagai hakim. Hal ini
disebabkan karena sudah meluasnya daerah Islam, sehingga unutk memenuhi
kebutuhan mereka dan demi efisiensi tenaga dan waktu maka diangkatlah beberapa
hakim. Sebelum ditugaskan hakim – hakim tersebut dilatih terlebih dahulu
dihadapan beliau.
Pengangkatan – pengangkatan hakim oleh
beliau tersebut kemudian hari menunjukan bahwa kekuasaan legislatif dan
kekuasaan eksekutif dengan demikian terpisah dan tidak lagi menumpuk pada
beliau seperti pada masa permulaan Islam. Pada masa Rosul masih hidup shahabat
yang diutus atau diangkat oleh Rosul adalah:
1.
Ali
bin Abi Tholib.
2.
Umar
bin Khotob.
3.
Mu’adz
bin Jabal.
4.
Attab
bin Asid.
Kemudian pada waktu Ali menjabat sebagai Qodli di Yaman,
ternyata bila putusannya ada yang menyanggah maka menyampaikan putusannya pada
Rosulullah. Hal ini membuktikan bahwa peninjauan kembali atas banding terhadap
suatu putusan diperbolehkan, dan bahkan berkembang pada masa pemerintahan Bani
Abbas, diman kasasipun telah di bentuk yaitu dengan dibentuknya “Qodli Qudloh”.
Adapun dasar pengambilan atau sumber hukum untuk memutuskan
perkara pada masa Rosulullah adalah didasarkan pada Al Qur’an. Perkembangan
selanjutnya setelah Islam meluas lagi dan hakim banyak yang diangkat oleh
beliau maka Rosulullah mengijinkan sebagai dasr hukum digunakanya:
1.
Al
Qur’an.
2.
Al
Hadits.
3.
Ar
Ro’yu (ijtihad akal) atau Qiyas.
Hal
ini dapat kita simpulkan dari hadits shahabat Muadz bin Jabal sewaktu diutus
sebagai Qodli di Yaman :
“Bahwa
Rosulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Tanya Rosulullah padanya:
Bagaimana kamu memutus perkara? Saya akan memutus perkara denagn ketentauan
yang terdapat dalam ketentauan Kitabullah, jawabnya. Jika tidak terdapat dalam
Kitabullah, bagaimana. Dengan sunah
Rosulullah. Jika dalam sunah Rosul tidak ada? Tanya Nabi lebih lanjut. Aku
berijtihad dengan pendapatku sendiri, jawabnya. Lalu Rosulullah bersyukur
segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rosul”. (H.R. Turmudzi)
Selanjutnya Rosulullah mngijinkan para
shahabat menggunakan dasar hukum atas qiyas, sehingga sehingga dasar hukum
selanjutnya meliputi :
1.
Al
Qur’an.
2.
Al
Hadits.
3.
Ar
Ro’yu (Ijtihad).
4.
Al
Qiyas.
Selanjutnya mengenai pengangkatan – pengangkatan Qodli oleh
Rosul apakah sudah dianggap mapan? Sebenarnya kalau kita mau menyimak semua
pekerjaan atau semua tugas yang diberikan kepada para petugas itu sudah bisa
dikatakan mapan untuk ukuran saat itu. Masalahnya kita kemukakan disinai secara
gamblang telah jelas, kalu proses administrasi misalnya dizaman modern ini
harus didukung oleh tiga komponen yaitu :
1.
Man
yaitu oarang – orangnay dalam hal ini
Qodli.
2.
Money
yaitu uang atau keuangan bagi para penyelenggara peradilan
3.
Material
yaitu barabng atau alat – alat atau sarana yang melangkapi kedua unsur diatas.
Man atu orang yang menyelenggarakan peradilan yaitu qodli
telah ada dan diangkat oleh Rosul sendiri. Jadi syarat pertama telah dipenuhi.
Malah orng – orang yang menjadi qodli saat itu betul – betul orang pilihan
serat mempunyai dedikasi tinggi terhadap kemajuan negara serta agamanya.
Money atau uang bagi para
penyelenggara peradilan ini penting dan dimana Rosul hal ini juga telah ada
dengan dibuktikan oleh shahabat Attab bin Asid yang menjadi hakim di kota Mekah
, beliau dalan hal ini berkata sebagai berikut : “ Rosulullah telah memberikan
kepadaku uang setiap hari dua dirham, selanjutnya Attab berkata: maka perut
yang tidak bisa kenyang dengan dua dirham adalah perut perut yang tidak kenyang
– kenyangnya”.
Kemudian syarat ketiga yaitu material,
dalam hal ini juga telah dipenuhi dalam bentuk syarat atau peralatan berupa
kitab suci Al Qur’an maupun Hadits, meskipun pada saat itu belum sempurna
dibukukukan, disamping itu gedung atau kemah tempat untuk memutuskan perkara
sudah ada meskipun dalam bentuk yang sangat sedrhana.
Jadi kalau ada orang yang sinis
terhadap perkembangan atua dasar peradilan dimasa Rosulullah, sebenarnya tidak
beralasan sama sekali. Sebab ternyata setelah kita gali, semua telah memenuhi
sauatu administrasi modern seperti zaman sekarang ini.
Selain itu Islam adalah agam dan
kekuasaan denagn berbagai organisasinya, yang antara lain adalak Al Qodlo atau
peradilan. Sedang proses pembentukan hukum Islam telah menggariskan pedoamn
bagi jalanya peradilan dan meletakkan dasar-dasar prinsip, sebelum berakhirnya
wahyu. Adapun tidak berperanya dalam memerinci bidang dan tampilnya ulam
mujtahidin dikalangan kaum muslimin yang kemidian melangkah lebih jauh mengenai
masalah ini, adalah semata – mata faktor waktu dan lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan dan pergaulan serta organisasi kekusaan. Kemudian qodlo berfungsi
menerapkan hukum – hukum menurut peristiwa yang terjadi, yang kesemuanya itu
telah ditetapkan hukumnya oleh syari’at, baik secara detail seperti hukuman (had)
pencurian dan perzinaan dan ada kalanya dalam bentuk qoidah – qoidah umum
seperti hukum – hukum yang bermaksud melindungi kebiasaan atau kemaslakhatan
umum (masyarakat).
BAB III
PERADILAN
PADA MASA KHULAFA’UR ROSYIDIN
A.
PERADILAN PADA MASA ABU BAKAR ASH SHIDIQ.
Pada masa Abu Bakar menjadi kholifah rupanya tidak ada
perubahan yang menyolok baik mengenai struktur maupun yang lainnya. Seperti
kita maklumi bahwa pada masa Abu Bakar ini disibukkan dengan peperangan
terhadap kaum murtad, para pembangkang membayar zakat, kaum munafiqin dan
timbulnya Nabi palsu yang dipelopori oleh Musailaman Al Kazab. Disamping
kekuasaan Islam juga belum meluas.
Menurut riwayat Abu Bakar pernah menyerahkan urusan
peradilan kepada Umar Bin Khoththob. Itulah sebabnya banyak para ulama yang
berasumsi bahwa jarangnya perkara yang menjadi persengketaan yang tidak wajar.
Sebab kita sama mafhum bahwa Umar adalah orang yang sangat keras dan disegani.
Selanjutnya catatan ahli sejarah hukum Islam menenrangkan, bahwa Abu Bakar dalam
menghadapi suatu perkara yang diajukkan kepadanya dan harus diputuskan oleh
beliau, maka beliau mencari hukum dari kitabulloh Al Quran. Maka jika yang
dicari ada dalam Al Quran, maka beliau memutuskan perkara menurut Al Quran
tersebut. Tetapi apabila beliau tidak menjumpainya, maka beliau mencari dari
Hadits Rasul yang shohih. Kemudian jika menjumpai Hadits yang sesuai dengan hal
tersebut, maka diputuskanlah dengan ketentuan sunah tersebut. Selanjutnya jika
dalam Al Quran dan Hadits tidak ada, maka jalan yang ditempuh Abu Bakar adalah
mengumpulkan para shahabat, kemudian beliau bertanya barang ada diantara
shahabat yang mengetahui Hadits untuk diterapkan pada perkara yang sedang
dihadapi itu. Biasanya para shahabat dengan senang hati menceritakan pengalamannya
masing-masing dan apabila ada yang cocok untuk diterapkan, maka baru Abu Bakar
memutuskannya. Jalan terakhir yang dilakukan Abu Bakar jika para shahabat tidak
didapati, adalah mengumpulkan para pemimpin atau ulama untuk memusyawarahkan
hukum apa yang akan diterapkan terhadap kasus yang sedang dihadapinya. Jika
semuanya sependapat maka beliaupun memutuskan hukum bedasar kesepakatan itu,
dan hal ini yang lebih populer dengan istilah Ijma’.
Disini tampak bahwa ternyata Abu Bakar tidak sepenuhnya
mengikuti jejak Nabi yang diberikan kepada Muadz bin Jabal.
B.
PERADILAN ISLAM DIMASA UMAR BIN KHOTHTHOB R.A.
Di masa pemerintahan Umar Bin Khoththob daerah Islam sudah
meluas, ingat Kholid bin Walid jika perang dimana-mana selalu mendapatkan
kemenangan, maka luas daerah atau wilayah kekuasaan Umar Bin Khoththob sebagai
kholifah pada waktu itu menjadi luas sekali.
Perluasan daerah tersebut membawa pengaruh sampingan yang
tidak sedikit kepada jalannya roda pemerintahan pada waktu itu. Pergaulan
bangsa Arab demikian luasnya, juga dibidang perdagangan dan lain sebagainya.
Sebagai akibatnya timbullah masalah-masalah baru dalam
bidang peradilan, dimana banyak peristiwa hukum yang tidak didapati
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadits. Dengan demikian tugas peradilan sudah
semakin komplek.
Maka untuk mengurusi tugas-tugas yang komplek dan luas
tersebut, Kholifah Umar mengangkat hakim-hakim untuk beberapa wilayah yang
menjadi kekuasaannya. Mereka itu diberi gelar hakim. Sebagai contoh mereka yang
di angkat sebagai qodli semasa Kholifah Umar bin Khoththob adalah sebagai
berikut. :
1.
Abu Darda’ untuk hakim di Madinah
2.
Syurech untuk wilayah Basrah
3.
Abu Musa Al Asy’ary untuk daerah Kufah
4.
Utsman bin Qois bin Abil ‘Ash untuk daerah
Mesir
5.
Di daerah Syam ditunjuk hakim sendiri.
Menurut sejarah Umarlah yang secara jelas memisahkan antara
kekuasaan exekutif dengan kekuasaan yudikatif. Meskipun para masa Abu Bakar,
Umat sendiri pernah diangkat menjadi hakim. Tetapi meskipun demikian Umar bin
Khotoththob tidak digelari sebagai hakim. Inilah mungkin sebabnya mengapa tidak
Abu Banar yang dijuluki sebagai perintis pemisahan kekuasaan antara yudikatif
dan exekutif.
Menurut Ath Thobari : Abu Musa Al Asy’ary pernah menjadi
hakim untuk Bashro saja pada waktu pemerintahan Umar Bin Khoththob, sedang
pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syurech. Abu Musa Al Asry’ari semasa
pemerintahan Utsman Bin Affan baru diangkat menjadi hakim di Kufah. Ada riwayat
yang mengatakan bahwa Umar pernah
berkata kepada salah seorang Qodli demikian : “ Jangan dibawa kepadaku kasus
persengketaan yang bernilai satu atau dua dinar”. Dan setelah urusan peradilan
ini merupakan bagian dari kekuasaan umum, maka diantara wewenang penguasa
adalah menentukan wewenang hakim didalam menangani perkara-perkara yang ada
sangkut pautnya dengan peradilan. Maka tidak semua qodli dapat memutuskan
perkara yang diluar wewenang dan kekuasaannya. Para qodli yang diangkat Umar
bin Khoththob hanya diberi wewenang untuk memutus perkara-perkara yang bersifat
perdata saja, sedang yang sifatnya umum/pidana dan qishosh dipegang oleh para
penguasa sendiri, baik oleh kholifah yang berada di pusat atau yang berada di
daerah hak dan wewenang penguasa daerah.
Kholifah Umar bin Khoththob adalah terkenal sebagai Kholifah
yang berhasil meletakkan dasar-dasar bagi para dilan. Dasar-dasar itu terkenal
dengan Risalahnya Qodlo yang berisi pokok-pokok penyelesaian perkara-perkara
dimuka sidang, yang ternyata disambut dan diterima di kalangan ulama serta
dihimpunlah daripadanya pokok-pokok hukum.
Adapun isi dari Risalah Qodlo tersebut adalah ssebagai
berikut :
ا مّا بعد فا نّ القضاء فر يضة مكمة وسنّة متبعة
Amma ba’du. Sesungguhnya memutuskan perkara
adalah fardu yang dikokohkan dan sunnah yang harus diikuti.
فا فهم ا ذا اد لي اليك فا
نّه لا ينفع تكلّم بحقّ لا نفا د له
Lalu fahamilah apabila diajukan kepadamu (suatu
perkara), dan putuslah apabila telah jelas (kedudukannya), karena sebenarnya
tidaklah ada artinya bicara soal keadilan tanpa ada pelaksanaannya.
ا س بين الناّ
س فى مجلسك و فى و جهك و قضا ئك حتّى لا يطمع شر يف فى حيفك و لا ييأ س ضعيف من عد
لك
Sama ratakanlah manusia (pihak-pihak yang
berperkara) dalam majlismu, dalam pandanganmu dan dalam keputusanmu, sehingga
orang yang berpangkat tidak akan mengharapkan penyelewengan, dan orang yang
lemah tidak sampai putus asa mendambakan keadilanmu.
ا لبينة على الد عى وا ليمين على ملى
من انكر
Bukti itu wajib bagi penggugat (penuduh),
sedang sumpah itu wajib atas pihak yang menolak (gugatan/tuduhan).
وا لصلح جا ئز
بين ا لمسلمين الا صلحا احرا ما او حرّ م حلا لا
Dan boleh mengadakan perdamaian diantara
kamu/kaum muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.
ومن انّعى حقّا
غا ئبا ا و بينة فا ضر ب له ا مد ا ينتهى اليه فا ن بينة ا عطيته بحقّه
وا ن أ عجزه ذ
لك ا سحلت عليه ا قضية فا ن ذ لك ا بلغ فى العذ ر و ا جلى العمى
Dan barang siapa yang mendakwakan suatu hak
yang tidak ada ditemaptnya, atau seatu bukti, maka nerilah tempo kepadanya
sampai ia dapat membuktikan dakwaannya, kemudian kalau ia dapat membuktikannya,
maka berikanlah haknya itu tetapi kalau ia tidak mampu membuktikannya, maka ia
berhak dikalahkannya, karena yang demikian itu lebih mantap bagi keuzurannya
dan lebih menapakkan barang yang tersembunyi.
ولا
يمنعنّك قضاء قضيت فيه ا ليوم فرا جعت فيه
رأ يك فهد يت فيه لر شد ك ا ن ترا جع فيه القّ قد يم لا يبط له شيئ ومرا
جعة الحقّ خير من ا لتّما ني فى البا طل
Dan janganlah sekali-kali menghalang-halangi
kepadamu suatu keputusan yang telah engkau jatuhkan hari ini, kemudian engkau
tinjau kembali, lalu engkau memperoleh petunjuk agar engkau kembali kepada
kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu (harus) didahulukan, tidak dapat
dibatalkan oleh siapapun/apapun, sedang kembali kepada kebenaran itu lebih baik
daripada terus bergelimang di dalam kebatilan.
وا لسلمو ن عد
و ك بعضهم على بعض الا مجرّ با عليه شها د ة ز و ر ا و معلو د ا فى حدّ ا و ظنيبا
فى و لأ ا و قرابة فا نّ الله تعا لى تو لّى من العباد السرا ئر و ستر عليهم الحد
و د الاّ با لبينا ت والا يما ن .
Orang-orang Islam itu (dianggap) adil sebagian
mereka terhadap sebagian yang lain, kecuali orang yang pernah memberikan
kesaksian palsu atau orang yang pernah dijatuhi hukuman, atau orang yang
diragukan tentang asal-usulnya, karena sesungguhnya Alloh yang mengetahui rahasia-rahasia
manusia dan menghindarkan hukuman atas mereka, kecuali dengan adanya
bukti-bukti atau sumpah-sumpah.
ثمّ ا لفهم
افهم فيما اد لى اليك ممّا ليس فى آن ولا سنةّ ثمّ قا يس الا مور عند ذ لك واعر ف
الا مثا ل ثمّ اعد فيما تر ى الى احدّها الى الله وا شبهها با لحقّ
Kemudian fahamilah dengan sungguh-sungguh tentang perkara
yang diajukan kepadamu, yang tidak terdapat (ketentuan hukumnya) didalam Al
Quran dan tidak terdapat pula di dalam Sunnah Nabi SAW, kemudian bandingkanlah
perkara-perkara itu, dan perhatikanlah (perkara) yang serupa (hukumnya dengan
perkara-perkara itu), kemudian pegangilah mana (hukum) yang menurut pendapatmu
lebih diridhoi Alloh dan lebih mendekati kebenaran.
Hindarkanlah dirimu dari marah, pikiran yang kacau (goyah),
rasa jemu, menyakiti orang yang berpekara, dan bersikap keras dalam menghadapi
mereka, karena memutus perkara ditempat yang benar adalah termasuk pekerjaan
yang dipahalai Alloh dan membawa nama baik, maka barang siapa memurnikan
niatnya demi mencapai kebenaran, walaupun merugikan diri sendiri, maka Alloh
akan memberinya kecukupan, dan barang siapa berlagak (memiliki keahlian) yang
tidak ada pada dirinya, maka pasti Alloh akan membuka rahasia kejelasannya itu,
karena sesungguhnya Alloh tidak akan menerima (amal) dari hamba Nya kecuali
(amal) yang didasari dengan ikhlas, lalu bagaimanakah persangkaanmu tentang
pahala dari Alloh, baik yang akan segera diberikan maupun yang berada didalam
perbendaharaan Rahmat-Nya.
Demikianlah Kholifah Umar memberikan dasar-dasar tentang
acara di Pengadilan Agama, yang isinya padat sekali mencakup banyak
permasalahan yang mendapat perhatian bagi para petugas Peradilan Agama,
terutama pada hakim agama. Selanjutnya kesibukan kholifah semakin bertumpuk,
maka pengangakatan hakim itu tidak lagi menjadi tugas kholifah, tetapi pada
akhirnya wewenang itu dilimpahkan kepada para pembantunya termasuk
gubernur-gubernur yang berada di daerah-daerah. Adapun pedoman para penguasa
dalam mengangkat hakim adalah harus orang yang mempunyai syarat-syarat sebagai
berikut :
a.
Pandai/Banyak ilmu
b.
Taqwa kepada Alloh
c.
Wara’
d.
Adil
e.
Cerdas
Kedudukan hakim pada masa itu betul-betul netral berdiri
sendiri, setiap keputusannya dipatuhi oleh masyarakat, dan kholifah sama sekali
tidak turut campur dalam menentukan hukum, sehingga hakim pada waktu itu
betul-betul berwibawa.
C.
PERADILAN DIMASA UTSMAN BIN AFFAN DAN ALI BIN
ABI THOLIB.
Semenjak peradilan dimasa Rosululloh sampai pada zaman Umar
bin Khoththob di dalam melaksanakan peradilan di dalam masjid. Jadi masjid pada
waktu itu berfungsi sebagai pusat ibadah, pusat pemerintahan dan juga peradilan
dilaksanakan didalamnya.
Perkembangan selanjutnya pada masa Utsman mulai dibangun
gedung peradilan yang khusus, tempat sidang memutuskan perkara. Perkembangan
peradilan semasa dua kholifah ini tidak banyak berubah selain pembangunan
gedung peradilan oleh Utsman bin Affan.
Kemudian pada masa Kholifah Ali bin Abi Tholib berkuasa,
sebagaimana Umar pernah memberikan petunjuk kepada para gubernur maupun para
hakim, untuk memberikan bimbingan tentang memilih calon hakim hendaknya orang
yang yang dipandang utama oleh kholifah.
a.
Jangan memilih orang yang berpandangan atau
berpenghidupan sempit.
b.
Jangan orang yang tidak punya wibawa.
c.
Jangan orang yang loba terhadap harta dunia.
d.
Disamping punya ilmu yang luas, otak yang
cerdas dan mempunyai daya kerja yang sempurna.
Adapun teknis para qodli dalam memutuskan suatu perkara atau
memberi fatwa adalah sebagaimana ditempuh oleh Abu Bakar Ash Shiddiq, mereka
menncari ketentuannya di dalam Kitabulloh, kemudian kalau mereka tidak
menemukannya, mereka mencarinya dalam sunnah Rosul, lalu kalau mereka tidak
mendapatkannya dalam sunnah, maka mereka menanyakan orang-orang, apakah
diantara mereka ada yang mengetahui hukum perkara seperti dalam sunnah, apabila
ditemukan mereka berpegangan seperti dalam sunnah, apabila ditemukan mereka
berpegangan dengan sunnah tersebut setelah memperoleh penguat dengan
saksi-saksi dan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana
yang dilakukan Ali bin Abi Tholib. Dan kalau mereka tidak menemukan hukum
masalah yang mereka hadapi itu dengan cara demikian, maka mereka berijtihad
dengan berijtihad bersama (jama’i) apabila masalahnya menyangkut hal yang
khusus atau menyangkut urusan perorangan.
Pada waktu itu para qodli belum mempunyai sekretaris atau
catatan yang menghimpun hukum-hukum produk qodlo’nya, karena qodlilah yang
melaksankan sendiri segala keputusan
yang dikeluarkannya.
BAB IV
PERADILAN
ISLAM ZAMAN BANI UMAYAH
A.
PENGARUH PERLUASAN KEKUASAAN PADA PERKEMBANGAN
PERADILAN.
Pada akhir pemerintahan Ali bin Abi Tholib terjadilah kekacauan,
fitnah merajalela, termasuk juga didalamnya terjadi pemalsuan hadits-hadits
Nabi untuk membantu golongannya sendiri. Kemelut ini terjadi antara golongan
Ali dan Muawiyah yang berakhir dengan kemenangan di pihak Muawiyah dan beliau
akhirnya naik tahta sebagai kholifah atau penguasa.
Pada masa itu kita maklumi bersama bahwa wilayah kekuasaan
Islam sudah sedemikian luasnya ke timur sampai India dan ke barat sampai ke
Mesir. Dengan adanya perluasan daerah tersebut sudah barang tentu menyebabkan
semakin banyak dan kompleknya tugas peradilan. Disamping daerahnya yang sangat
luas juga permasalahan yang timbul dalam peradilan juga semakin banyak dan
beraneka ragam, sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing.
Maka dari itu untuk mengatasi hal tersebut pemerintahan Bani
Umayah banyak mengangkat para hakim untuk di tempatkan pada daerah-daerah yang
telah ditaklukkannya. Pada masa awal pemerintahan Bani Umayah, juga masih ada
tradisi sebagimana zaman khulafa’ur Rosyidin yang membatasi tugas seorang hakim
hanya bidang saja. Kekuasaan yang merupakan hukum publik ternyata masih
dipegang kholifah sendiri. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, karena masalah
yang timbul sudah demikian komplek ada pengecualian terhadap hakim-hakim
tertentu untuk memutus perkara mengenai hukum pidana.
Disamping itu kekuasaan lembaga peradilan telah dibagi
menjadi tiga bagian yaitu :
1.
Jawatan Pengadilan yang dikemdalikan oleh
kepalanya yang dinamakan “Qodli”.
Para qodli menyelesaikan
perkara yang bersangkut-paut dengan hutang-piutang dan hukum perdata lainnya.
2.
Jawatan Pengadilan yang dikemdalikan oleh
kepalanya yang bernama “Muhtasib”.
Para Muhtasib menyelesaikan
perkara yang berpautan dengan umum dan urusan-urusan pidana atau jinayat.
3.
Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh
Kepala Negara atau orang yang diserahi tugas yang dinamakan “Wali Madlolim”.
Wali Madlolim menyelesaikan
persengketaan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengadilan pertama dan kedua.
B.
KEDUDUKAN PERADILAN DAN HAKIM.
Menurut Prof. Dr. M. Hasby Ash Shiddik bahwa peradilan pada
masa Umayah itu mempunyai dua ciri yang spesifik yaitu:
a.
Hakim dalam memutuskan perkaranya berdasarkan
kepada hasil ijtihad sendiri. Disamping sebagai landasan pokoknya yaitu atas
dasar Al Quran dan Al Hadits.
b.
Peradilan pada masa itu masih dan tidak
dipengaruhi dari unsur yang datangnya dari penguasa maupun dari golongan
madzab, karen madzab pada saat itu belum laku. Jadi pada saat itu otonomi hakim
betul-betul terjamin. Putusan hakim berlaku pada setiap lapisan masyarakat dari
rakyat kecil sampai penguasa. Kholifah selalu mengawasi tingkah laku para
hakimnya dan tidak segan-segan bagi mereka yang menyeleweng.
Umar Bin Abdul Aziz selaku seorang kholifah dari kalangan
Mu’awiyah pernah mengatakan bahwa hakim yang baik ialah apabila terkumpul lima
syarat sebagai berikut :
1.
Mengatahui Yurisprodensi
2.
Bersih dari tamak
3.
Dapat menahan amarah
4.
Meneladani pemimpin agama yang terkenal
5.
Selalu merundingkan segala sesuatunya dengan
orang yang ahlibdalam bidangnya.
Adanya mengenai prodesur pengangkatan dan pemberhentian
seorang hakim adalah :
1.
Oleh kholifah sendiri, atau
2.
Oleh Gubernur atas perintah atau petunjuk
kholifah
3.
Oleh Gubernur atas inisiatifnya sendiri.
Pada masa Bani Umayah ada satu peristiwa yang membawa hakim
terhadap kemajuan peradilan Islam. Pada suatu kali ada perkara tentang
pembagian pusaka atau harta warisan dan telah diputuskan perkaranya. Tetapi
dikemudian hari terdapat perbedaan pendapat di antara mereka. Kemudian mereka
tanyakan lagi bagaimana putusan hakim terdahulu. Tetapi karena tidak dibukukan
maka terpaksa diadakan sidang kembali, dan sejak itulah diadakan pembukuan
setiap perkara yang masuk. Sehingga dengan demikian hakim dikemudian hari bisa
melihat yurisprodensi terhadap keputusan yang telah diambil oleh hakim-hakim
terdahulu.
Peristiwa itu terjadi pada masa Dinasti Umayyah berkuasa dan
berlokasi di Mesir. Dan sejak itulah terjadi penulisan atau pembukuan terhadap
perkara yang masuk dan diputus.
Diantara para qodli yang termashur pada masa Daulah Bani
Umayyah ialah :
1.
Syuraih, wafat pada tahun 78 H = 686 M.
2.
‘amir bin Abdillah Ibn Syurahbil Asy Sya’bi,
qodli Kufah dan Basroh, wafat tahun 103 H = 721 M.
3.
Abu Wasil Ilyas Ibn Muawiyah, qodli di Basroh
wafat tahun 122 H = 740 M.
BAB V
PERADILAN
ISLAM ZAMAN DAULAT BANI UMAYAH
A.
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA PADA
PERADILAN ISLAM.
Pada zaman Abbasiyah ini situasi dan kondisi masyarakatnya
sudah berubah dan berada jauh jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Terutama jika kita bandingkan dengan keadaan umat Islam zaman Rosul. Pada zaman
Rosul masyarakat masih sangat taat terhadap atauran agama dan takut sekali
untuk melanggar suatu larangan baik yang datangnya dari Al Qur’an maupun yang
datangnya dari Nabi sendiri.
Keadaan yang serba tenang ini pecah dengan adanya
pembangkang pembayar zakat dan adanya orang-orang yang mengaku sebagai Nabi.
Pada masa Umar bin Khiththob keadaan menjadi tenang kembali karena masyarakat
tahu kalau Umar adalah orang yang jujur dan sangat taat melaksankan syari’at
Islam. Pada masa ini peradilan maju tetapi juga bersih berkat bimbingan yang
diberikan para penguasa. Demikian pula peradilan pada masa Utsman bin Affan
situasinya tenang, karena seperti kita ketahui begitu besar perhatian Kholifah
Utsman dalam membina dalam peradilan.
Sedang pada zaman Ali bin Abi Tholib juga tidak banyak
perubahan baik dalam struktur maupun cara-cara memutuskan perkara. Demikian
pula pada masa Bani Umayyah berkuasa peradilan Islam masih murni, ruh ijtihad
masih berkembang dengan baik sehingga hakim masih berdiri sendiri, memunyai hak
otonom yang tidak dicampuri oleh kekuasaan penguasa. Juga pada masa tersebut
diatas belum banyak perkara-perkara yang diajukan kepada qodli dan belum banyak
macam ragamnya.
Ketika kendali kholifah dipegang oleh Bani Abbasiyyah, mulailah
timbul keadaan-keadaan yang meluaskan lingkaran peradilan, karena selain
wilayah Islam semakin luas juga karena pengaruh perubahan masyarakat yang
banyak membawa pengaruh terhadap kondisi peradilan yang ada. Pada masa itu pula
dalam bidang perkembangan hukum Islam mengalami zaman keemasan yang ditandai
dengan :
-
Dibukukannya sunnah Rosul atau Hadits
-
Dituliskannya fatwa-fatwa dari para mufti
-
Tafsir Al Quran dibahas secara luas dan
mendalam
-
Lahirnya atau munculnya para Imam Mujtahidin
-
Lahirnya risalah-risalah ilmu Ushul Fiqh.
Adanya perembangan hukum Islam tersebut banyak sekali
membawa pengaruh dalam perkembangan Peradilan Islam, antara lain dalam segenap
kitab-kitab fiqh selalu dibicarakan dalam bab kasus menganai urusa qodlo’
(peradilan) dan kedudukan hakim (qodli).
Diantara masalah-maslah yang mereka bicarakan yang
menyangkut masalah peradilan adalah sebagai berikut :
a.
Hukum membentuk Lembaga Peradilan Dan
pengangkatan qodli (hakim).
b.
Hukum mewilayahi Peradilan (hak menjabat
jabatan qodli).
c.
Hukum berusaha supaya dijadikan qodli dan
mengendalikan kehakiman.
d.
Menentukan keahlian para qodli.
e.
Menetapkan sifat-sifat qodli.
f.
Pekerjaan-pekerjaan qodli (kewajiban qodli)
dalam persidangan.
g.
Pegangan qodli dalam menetapkan hukum.
h.
Masalah yang berkaitan dengan masalah kehakiman
atau qodli.
B.
PERSOALAN MADZAB DALAM PENYELENGGARAAN
PERADILAN.
Seperti telah kita jelaskan dimuka bahwa pada masa Bani
Abbasiyah hukum Islam mengalami perkembangan yang begitu pesat, hal ini
ditandai dengan lahir dan berkembangnya madzab yang empat. Dengan adanya
perubahan tersebut juga membawa perubahan dalam bidang peradilan yaitu :
1.
Lemahnya ruh ijtihad hakim dalam menetapkan
hukum, hal ini disebabkan pada waktu itu telah berkembang madzab yang empat.
Sehingga hakim pada waktu itu
memutuskan perkaranya berdasarkan kepada pendapat madzab yang dianut oleh para
penguasa atau disesuaikan dengan madzab yang dianut oleh masyarakat setempat.
Hal ini dapat dikemukakan
misalnya :
a.
Di Irak hakim memutuskan perkaranya berdarkan
madzab Hambali, sesuai dengan madzab penguasa.
b.
Di Syam dan Maghribi memutuskan perkaranya
berdasarkan Madzab Maliki.
c.
Di Mesir memutuskan perkaranya berdasarkan
Madzab Syafi’i.
Kemudian apabila yang berperkara tidak sesuai dengan madzab
hakim, maka perkara itu akan diserahkan kepada hakim lai yang sesuai dengan
madzab yang berperkara tersebut. Madzab yang empat inilah yang mewarnai putusan
pada masa itu.
2.
Para hakim memutuskan perkaranya dibawah
pengaruh para penguasa atau pemerintahan.
Banyak kholifah yang selalu
mencampuri urusan peradilan, akibatnya disamping putusan peradilan tidak murni
juga hakim jelas tidak murni juga hakim jelas tidak murni dalam menerima hak
otonom peradilan. Karena itulah Imam Abu Hanifah sebagai Imam Madzab yang
sangat berpengaruh pada saat itu tidak mau diangkat menjadi hakim, dan tidak
hanya Abu Hanifah yang menolak jabatan hakim tetapi para Fuqoha’ juga
banyak yang menolak jabatan tersebut.
3.
Yang ketiga adalah perubahan positif sifatnya
yaitu dengan didirikannya atau lahirnya Lembaga Kehakiman yang tertinggi yang
bernama “Qodlil Qudloh” atau Mahkamah Agung.
Yang untuk pertama kali menjadi qodli qudloh ialah Abu Yusuf
pada masa Kholifah Harun Ar Rosyid. Qodlil qudloh adalah merupakan pengadilan,
tertinggi atau semacam Mahkamah Agung pada masa sekarang ini yang mempunyai
tugas-tugas sebagai berikut :
a.
Mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim di
daerah-daerah.
b.
Membimbing dan mengawasi gerak-gerik dan
tingkah laku para hakim.
c.
Memeriksa kembali putusan yang telah diberikan
oleh hakim-hakim daerah.
Disamping perubahan-perubahan besar sebagaimana di kemukakan
dimuka pada waktu itu tempat memutuskan perkara dan waktunya telah ditetapkan
secara definitif sehingga bila terjadi penyimpangan maka keputusan dianggap
tidak syah.
Perkembangan lain yaitu bahwa hak dan wewenang pengadilan
menjadi tambah luas sekali, tidak hanya soal-soal perdata, tetapi juga
menangani :
a.
Urusan Wakaf
b.
Urusan Kepolisian
c.
Masalah penganiayaan
d.
Qishosh
e.
Hibah
f.
Pembuatan Mata Uang
g.
Mengurus Baitul Mal.
Didalam Muqoddimah Ibnu Khadun selanjutnya dikatakan bahwa
perkembangan selanjutnya hak dan wewenang Pengadilan Islam meliputi, selain
perkara sengketa, juga :
a.
Memelihara hak-hak umum
b.
Memperhatikan anak-anak yang minder yaarig
c.
Memperhatikan anak yatim, orang-orang gila,
orang failit dan sebagainya.
d.
Mengurus harta wasiat
e.
Wakaf
f.
Menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai
wali.
g.
Memperhatikan masalah lalu-lintas dan
pembangunan.
h.
Memeriksa keadaan saksi dll.
Perkengangan selanjutnya mengenai peradilan pada masa
Abbasiyah sangat menyedihkan, dikarenakan hak-hal tersebut di bawah ini :
a.
Keadaan pemerintahan yang sudah rusak
b.
Karena pengangkatan hakim sudah harus membayar
sejumlah uang kepada negara
c.
Wilayah kekuasaan Abbasiyah semakin surut.
d.
Hak dan wewenang pengadilan juga semakin surut.
BAB VI
PENGARUH
PERKEMBANGAN ISLAM TERHADAP PERADILAN DI MESIR
Mesir telah dibawa oleh Daulat Utsmaniyah kepada keadaan
keterbukaan di bidang hukum, dan hal ini membawa juga kepada hal pengangkatan
hakim-hakim, dan kekuasaan peradilan, disamping membiarkan kekuasaan praktis
lainnya berada pada wewenang raja mereka. Dan setelah Daulat Utsmaniyah
meluaskan lebih jauh penafsiran mereka tentang makna tasamuh (toleransi) agama
terhadap golongan dzimmi yang melampui apa yang telah digariskan para fuqoha’
sejauh tunduk mereka terhadap peradilan di dalam Daulat Utsmaniyah, maka Daulat
Utsmaniyah telahbmemperkenankan berdirinya peradilan untuk golongan-golongan
agama-agama di luar Islam, juga ada peradilan Qunshuliy.
Pada tahun 19876 Mesir telah mencapai kesempurnaan di bidang
kekuasaan peradilan dan wewenang, memiliki jumlah peradilan yang sangat banyak,
dan undang-undang yang wajib diterapkan bukanya fiqh Islam secara
keseluruhannya, sehingga pada masa pemerintahan Raja Taufiq, di Mesir ada lima
peradilan yang hukum-hukumnya dari berbagai sumber yang berbeda-beda, yaitu :
1.
Peradilan Syar’i, dan inilah peradilan yang
tertua, dan sumber hukumnya dari fiqh Islam.
2.
Peradilan Campuran, yang didirikan pada tahun
1875 dan sumber hukumnya adalah undang-undang asing.
3.
Peradilan Ahli (Adat), didirikan tahun 1883,
dan sumber hukumnya adalah undang-undang Perancis.
4.
Peradilan Milliy (Peradilan Agama-agama di Luar
Islam) sumber hukumnya adalah agama-agama golonan-golongan di Luar Islam.
5.
Peradilan Qunshuliy yang mengadili menurut
undang-undang negara masing-masing.
Demikianlah, banyaknya arah peradilan di Mesir baik macamnya
maupun kepribadiannya. Kemudian setelah itu timbullah perkembangan baru, dimana
negara berusaha melepaskan keadaan yang semrawut di bidang peradilan ini, maka
kembalilah kekuasaan peradilan seperti keadaan sebelumnya, dan dihapuslah
peradilan Qunshuliy dan Peradilan Campuran, kemudian melangkah kearah unifikasi
peradilan sehingga dihapus pula peradilan Milliy dan Mahkamah-Mahkamah
Syar’iyah, dengan keluarnya Undang-Undang No. 462 Tahun 1955 yang berlaku sejak
bulan Januari Tahun 1956 dan kasus-kasus yang dihadapinya dibawa kepada
Peradilan Ahli atau Adat yang sekarang dinamakan Peradilan Adiy.
Dan disusunlah hukum keluarga untuk kaum muslimin dan
undang-undang yang wajib diterapkan adalah undang-undang yang diambil dari fiqh
Islami, dan undang-undang itulah yang pertama kali diterapkan dalam Mahkamah
Syar’iyah, dengan diadakan pembetulan disebahagiannya, yaitu yang berkaitan
dengan hukum acara, sebagaimana dibentuk bagian-bagian, juga yang menyangkut
hukum keluarga bagi golongan ghoiru muslim.
Demikianlah sekilas perkembangan di Mesir, sehingga sebagian
aturan-aturan hukumnya pernah diambilkan dari negara-negara bukan Islam, dan
bahkan keadaan ini menjalar kepada pengambilan sumber-sumber hukum dalam
putusan-putusan hakim, dan keadaan itu walaupun telah jauh dari Islam tetapi
kemudian timbullah perkembangan baru yang mendekati fiqh Islam kembali.
Adapun sebab-sebab yang membawa jauhnya perundang-undangan
dari fiqh Islam adalah jumudnya atau kolotnya ulama-ulamanya dan tidak adanya
usaha pengembangan fiqh dengan baik serta ketakutan mereka dalam melangkah
lebih jauh kepada pandangan hukum-hukumnya yang disesuaikan dengan kemaslahatan
manusia, agar mereka dapat mengamalkan hukum-hukum fiqh tersebut, demikian juga
halnya keadaan sekarang ini sebab-sebab yang membawa kepada Fiqh Islam adalah
bebasnya pandangan Ulama-ulamanya dan penyelaman masalah-masalahnya serta
penyelesaian terhadap apa yang terjadi dan apa yang dihadapi.
BAB
VII
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A.
LAHIRNYA PERADILAN ISLAM DI INDONESIA.
Islam masuk ke indonesia pada Abad ke VII Masehi yaitu dalam
tahun 674-675 telah ada utusan Raja Ara, yang oleh ornag tiongkok disebut Ta
Cheh, datang ketanah Jawa, mengunjungi Kerajaan Kalingga yang pada waktu itu
pemerintahanya Hindu, dan rajanya seorang wanita yang bernama Ratu Sima. Pada
waktu itu saudagar–saudagar Islam sudah sering keluar masuk di wilayah
Nusantara. Hal ini tidak saja berlaku di Jawa tetapi juga di Sumatra, Maluku dan
Sulawesi, karena tempat–tempat pusat perdagangan rempah–rempah yang menarik
bagi orang–orang Arab, Persia maupun bangsa bangsa yang datang kemudian seperti
Portugal dan Belanda.
Islam disebarkan melalui saudagar–saudagar tersebut,
sehingga ternyata pusat–pusat pengembangan Islam itu berada di kota–kota
pesisir pantai. Pada saat ada utusan utusan Raja Arab yang bernama Ta Cheh atau
Muawiyah, ternyata di Jawa Timur dan tempat tempat pusat perdagangan rempah-
rempah, sudah ada umat Islam secara berkelompok–kelompok. Karena mendirikan
peradilan itu merupakan kewajiban kemasyarakatan atau fardlu kifayah, maka kita
mempunyai asumsi bahwa peradilan Islam di Indonesia sudah ada semenjak adanya
koloni–koloni Islam dan masyarakat Islam dimana mereka berdiam, meskipun dalam
bentuk yang sangat sederhana.
Selanjutnya karena pemerintah Islam belum ada yang dapat
mengangkat hakim, maka mestinya mereka bertahkim kepada sesamanya dan dalam
bentuk berthakim inilah yang dinamakan peradilan dalam bentuk yang sangat
sederhana. Jadi berdasarkan kenyataan sejarah sebagaimana diuraikan diatas,
maka peradilan Islam di Indonesia sudah berdiri sejak abad ke VII Masehi.
Kemudian kalau kita kaitkan dengan perkembangan umat Islam
selanjutnya, karena peradilan Islam itu juga pertumbuhan aparat dari suatu
pemerintahan Islam, meka pertumbuhan selanjutnya seiring dengan pertumbuhan
Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam itu sendiri baik di Sumatra, Jawa,
Sulawesi, Kalimantan dll.
Menurut Prof. R.M. Adnan, mengatakan bahwa Sunan Kalijaga
merupakan hakim yang suci, yang diasosiasikan dengan bahasa Arab : Qodli Zaka.
Hal sama dengan ini terdapat pula di Sumatera yang meliputi Aceh, Minangkabau
dan daerah-daerah lainn yang terkenal dengan julukan daerah Islam yang kokoh
kuat.
Di Minangkabau misalnya kita kenal peribahasa yang merupakan
sebagian sumber hukum adat yang berbunyi : Adat berdsendi syara’
Syara’
bersendi Kitabulloh
Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan keagamaan itu sampai
dalam kehidupan kemasyarakatan yang luas sekali. Dan menunjukkan kepada kita
bahwa hukum yang dipakai oleh adat mereka sudah memakai hukum Islam. Sehingga
dalam struktur pemerintah di Aceh kita kenal sebagai berikut :
Penghulu = Pimpinan Tertinggi
Manti = Urusan Pemerintah Umum
Dubalang = Urusan Pertahanan Keamanan
Imeum =
Agama.
Sedang di Minangkabau kita kenal
:
Penghulu Andika = Pimpinan Umum
Manti = Pembantu dalam Urusan Umum
Dubalang =Pembantu Bidang Pertahanan Keamanan
Maliem = Urusan Keagamaan
Di kedua daerah tersebut tugas-tugas yang diberikan kepada
Imeum dan Maliem hampir sama yaitu selain urusan-urusan agama Islam yang
bersifat umum, penekanannya adalah menangani pernikahan, cerai, rujuk dan soal
waris.
Selanjutnya didaerah Sulawesi Selatan jabatan penghulu
dinamakan dengan Imam, dan Jabatan Imam terdiri dari Imam Besar yang
berkedudukan di pusat kerajaan dan mengatasi seluruh Imam-Imam di distrik atau
Imam di daerah-daerah. Semua Imam ini merupakan pegawai dari lembaga keqodlian
yang tugas dan fungsinya sebagai hakim yang menyelesaikan segala sengketa di
bidang keagamaan.
Adapun Qodli di daerah Sulawesi Selatan ini mempunyai tiga
sebutan yang dibedakan dalam peranan dan fungsinya yaitu:
1.
Qodli, karena ia berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara yang menyangkut masalah keagamaan.
2.
Penghulu Syara’, karena beliau mengapai
pegawai syara’ seperti Imam, Khotib, Bilal dan lain-lain.
3.
Datunna Syara’ E, karena beliau selalu
mendampingi Raja dalam pemerintahan sehari-hari yang bertugas mengurus dan
mengatur hal-hal yang menyangkut keagamaan.
Dalam upacara keagamaan di istana-istana, qodli duduk
disebelah kanan Raja, dan bertindak sebagai tuan rumah. Dalam pemeriksaan
perkara-perkara yang besar maka Raja turut mendampingi qodli dalam
menyelesaikan perkara-perkara tersebut.
Untuk melangkah lebih lanjut, maka perlu kiranya dijelaskan
ala kadarnya tentang peristilahan Penghulu ini. Menurut bahasa penghulu berarti
orang yang dituakan atau orang yang diangkat sebagai pejabat yang mendahului
dalam suatu hal guna kepentingan orang banyak. Sedang menurut istilah ada
sedikit perbedaan pemerintah tentang arti penghulu tersebut, untuk satu daerah
dengan daerah lainnya, misalnya antara di Jawa Madura dengan di Sumatera. Arti
penghulu di Jawa dan Madura adalah orang yang mengepalai urusan keagamaan dalam
lingkungan kerajaan. Beliau merupakan tenaga yang mempunyai banyak urusan
antara lain :
1.
Imam di Masjid
2.
Kepala Pegawai Pencatat Nikah
3.
Sebagai Wali Hakim
4.
Penasehat para Pejabat Pemerintah
5.
Penasehat pada Landraat/Penghulu Negeri
6.
Ketua Pengadilan Agama
Di Sumatera Selatan pengertian Penghulu dengan disertai
Penghulu Syara’ dapat dibedakan :
1.
Penghulu Syara’ dapat memeriksa dan
memutuskan masalah nikah, talak, rujuk dan cerai, mal wari dan lain-lain. Juga
mengurusi harta yang diakibatkan adanya perceraian. Sedang penghulu pada
Pengadilan Agama tidak demikian.
2.
Penghulu Syara’ adalah penduduk setempat,
sedang penghulu pada Pengadilan Agama dapat dijabat oleh orang-orang luar.
3.
Penghulu Syara’ lebih baik keadaan dan
kedudukannya karena ada anggaran pemerintah setempat, sedang penghulu pada
Pengadilan Agama tidak demikian.
Kemudian kalau kita tinjau arti penghulu di Sumatera berarti
pemimpin tertinggi atau Kepala Adat. Sedang yang mirip dengan penghulu di Jawa
dan Madura maupun Sulawesi Selatan dinamakan Imeum di Aceh dan Maliem di
Sumatera Barat. Jadi dengan demikian jelaslah kepada kita bahwa Peradilan Agama
ada di Indonesia sejak masuknya Islam di Indonesia. Sebab jabatan yang serupa
dengan hakim Agama, baik itu penghulu, penghulu Syara’ maupun Imeum, Imam dan Maliem
sudah ada dan mendampingi pemerintah sejak zaman sebelum Belanda datang di
Indonesia.
B.
PERADILAN AGAMA ZAMAN PENJAJAHAN.
Pada masa komeni tidak terdapat adanya politik hukum yang
sadar dan tertentu terhadap hukum adat termasuk didalamnya hukum Islam. Sebelum
kita lanjutkan pembahasan ini perlu kiranya dijelaskan mengapa di sini kita
sedang membicarakan peradilan, tiba-tiba dicampur dengan hukum adat.
Dalam pembahasan ini memang tidak bisa kita pisahkan dengan
kuhum adat, karena hal-hal sebagai berikut :
1.
Menurut kenyataan bahwa peraturan peradilan
Agama jadi satu dengan Peradilan Adat yakni dengan Stbl. 1938 No. 529 yang
meliputi daeah :
a.
Kalimantan yang tidak diatur oleh Stbl. 1937
No. 638 dan 639.
b.
Riau, Sumatera Timur, seluruh Sulawesi dan
beberapa Kabupaten di wilayah Propinsi Sunda Kecil.
2.
Peraturan Swa Praja pasal 12 Stbl. 1932 No.
80 yang mengatur peradilan Agama di Sumatera diluar yang diatur oleh peraturan
tersebut diatas.
Itulah
sebabnya maka pada waktu Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1950 menghapus
adanya peradilan Swa Praja maka Landasan berpijak Peradilan Agama menjadi
goyang dan akhirnya menghasilkan PP No. 45/1957 meskipun pada pasal 2 UU No.
1/1950 dikecualikan mengena Peradilan Agama.
3.
Hukum Agama baru diakui kalau sudah menjadi
hukum Adat.
4.
Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregelling
(IS) mengisyaratkan bahwa hukum Islam hidup campur dengan hukum Adat.
5.
Hal ini juga didukung oleh teori Receptio in
Compexu yang mengatakan bahwa intinya hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia
adalah hukum Islam.
Bertitik tolak dri itulah maka pembahasan tentang
perkembangan hukum Islam kadang terkait dengan hukum Adat dan keduanya tak
terpisahkan. Tetapi dengan sifat politik Hukum Belanda pada waktu itu
pembahasan tentang perkembangan Peradilan Agama bisa dipisahkan dari hukum
adat, terutama setelah Belanda melepaskan dari hukum politik unifikasi Hukum
Sipil/Perdatanya tahun 1929.
Pada pasal 134 ayat (2) IS, pemerintah kolonial memberikan
isyarat bagi berdirinya Raad Agama. Dalam pasal ini dikatakan :
“ akan tetapi sekedar tidak diatur lain lagi
dengan ordonansi, maka perkara hukum sipil orang Islam dengan orang Islam harus
diperiksa oleh hakim agama kalau dikehendaki oleh hukum adatnya.”
Sebagian hukum Islam yang menjadi landasan material bangsa
Indonesia adalah menjadi keyakinan hidup yang tidak bisa ditekan dan dibendung
oleh pemerintah kolonial. Maka penerapan hukum Islam bagi penganut Islam di
Indonesia, membuka mata penjajah untuk membuka matanya dan memberikan aturannya
secara formal dalam perundangan-undangan yang lebih kongkrit. Dalam hal ini
adanya indikator bahwa kesadaran hukum masyarakat ketika itu tidaklah terlalu
terpengaruh dengan ada tidaknya peraturan formal itu.
Sebagai tindak lanjut dari pasal 134 ayat (2) IS tersebut
diatas, maka pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Instruksi dengan Stbl. 1820
No. 22 yang ditujukan kepada Bupati yang antara lain isinya : Bahwa
perselisihan mengenai pembagian waris dikalangan rakyat hendaknya diserahkan
kepada Alim Ulama Islam. Pada instruksi ini tidak dengan pasti dan terperinci
yang menjadi wewenang peradilan tersebut.
Kemudian tahun 1825 tetapi kusus di Palembang, Peradilan
Agama diberi wewenang yang cukup luas yaitu diberi kekuasaan untuk mengadili
perkara-perkara perkawinan, perceraian, pembagian harta akibat perceraian
terhadap anak, perkara pusaka dan wasiat, perwalian dan lain-lain. (Peraturan
Tanggal 25 Maret 1825).
Sedangkan di Jakarta wewenang tentang sengketa keagamaan,
perkawinan dan pusaka juga ditetapkan pada majelis-majelis distrik sesuai yang
diatur dalam Ketetapan Komisaris Jendral tanggal 12-2-1 828 No. 17. Keadaan ini terus berkembang hingga perhatian
Belanda terhadap peradilan Agama kian jadi besar, sehingga pada tahun 1830
keluarlah keputusan Gubernur Jendral dan Lembaga Peradilan tercinta ini
ditempatkan dibawah Landrad dan hanya pengadilan kolonial inilah yang berkuasa
memerintahkan pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dalam bentuk executoir
verklaring. Hingga disini sesungguhnya meskipun wujudnya ada tetapi secara
yuridis formal, adanya lembaga Peradilan agama ini belum diakui dalam sejarah
perundang-undangan dinegari ini. Setidak-tidaknya demikian kenyataannya.
Baik Stnl. 1820, aturan tanggal 25 Maret 1828 No. 17, jelas
tidak menentukan tentang landasan berpijak berdirinya Peradilan Agama secara
kongkrit. Sebab semuanya hanya membolehkan berlakunya hukum Islam bagi orang
Indonesia, tetapi tidak dengan sarananya.
Oleh sebab itu perkembangan selanjutnya dengan keluarnya
Stbl. 1882 No. 152 inilah yang dapat dikatakan sebagai landasan formal
berdirinya peradilan Agama di Indonesia. Dalam Stbl. Ini Peradilan Agama
dinamakan Priesterraad, yang artinya sama dengan majlis Padri. Nama ini jelas
tidak tepat sebab dalam Islam tidak mengenal adanya lembaga Kepadrian. Tetapi
kita dapat memaklumi bahwa yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah orang
ahli agama Islam.
Stbl Ini berisi sebanyak 7 pasal sebagaimana tersebut
dibawah ini
1.
Disamping tiap-tiap Langraad diadakan
Peradilan Agama, yang mempunyai daerah hukum sama.
2.
Pengadilan Agama terdiri dari penghulu yang
diperbantukan pada Landraad sebagai ketua dan sedikit-dikitnya 3 orang dan
sebanyak-banyaknya 8 orang.
3.
Keputusan harus diambil paling sedikit oleh 3
orang anggota termasuk ketua, dalam pertimbangan suara maka suara ketua yang
menentukan.
4.
Keputusan harus dimuat dalam surat yang
mengandung konsiderans serta ditandatangani oleh anggota yang hadir, begitu
pula biaya yang dibebankan kepada yang berperkara harus dicatat.
5.
Kepada fihak-fihak yang berperkara harus
diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani ketua.
6.
Keputusan-keputusan harus dicatat dalam satu
register yang dalam tiap-tiap bulan harus dilaporkan kepada Kepala Daerah
setempat untuk mendapat penyaksian dari padanya.
7.
Keputusan-keputusan yang melampui batas
kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan 2, 3 dan 4 diatas tidak dapat
dinyatakan berlaku.
Dari gambaran yang tertuang dalam Stbl. 1882 No. 152 dengan
7 pasalnya, dapat kita bayangkan kekecewaan yang timbul disaat itu dengan
alasan tersebut dibawah :
1.
Anggota-anggota Pengadilan Agama tidak
mendapat gaji tetap, sehingga banyak yang diangkat dari pegawai Masjid yang
menurut saja, sedang yang lebih banyak pengetahuannya dari dia jarang yang mau.
2.
Diantara Pengadilan Agama sering ada yang
memungut ongkos perkara 5 s/d 10 persen dari harga waris yang diperkarakan
bahkan kadang-kadang lebih.
3.
Tidak adanya Pengadilan banding dan
satu-satunya harus memohon kepada gubernur-gubernur untuk meninjau sesuatu
putusan dan inipun jarang dikabulkan.
4.
Timbulnya proses peradilan kembar karena
keputusan Pengadilan Agama harus memintakan executoir verklaring dari Landraad,
akibatnya ongkos perkara mahal terutama dalam perkara waris.
Untuk melenyapkan keganjilan-keganjilan tersebut diatas,
maka pada tahun 1922 Pemerintahan kolonial Belanda membentuk suatu panitia yang
diketuai oleh Mr. B. Terhaar Bzn, sedang salah seorang anggotanya ilah KH.
Bagus Hadikusumo, Mr. AG. Prinngodigdo. Panitia ini berkewajiban memberi
pertimbangan tentang perubahan-perubahan apa yang perlu diadakan pada
Pengadilan Agma di Jawa dan Madura.
Berdasarkan saran-saran dari panitia tersebut, maka
keluarlah ordonansi tanggal 13 Januari 1931 yang termuat dalam Stbl. 1931 No.
53. Ordonansi ini pada dasarnya memang dapat mengatasi kekecewaan yang termuat
dalam poin 1, 2 dan 3 diatas, kalau saja dinyatakan berlaku. Tetapi Stbl. Ini
tidak pernah berlaku sebab terbentur soal beaya.
Selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda mengluarkan lagi suatu
Stbl. 1937 No. 116 yang dikeluarkan pada tanggal 19-2-1937 dan mulai berlaku
tanggal 1 April 1937. Isinya hanya mengubah Stbl. 1882 No. 142 pada pasal 2. a.
2. B dan 7. 1 untuk Pengadilan Agama Tingkat Pertama.
Ternyata diluar dugaan pemerintah kolonial Belanda waktu
itu, bahwa dengan keluarnya Stbl. 1937 No. 116 ini ternyata menimbulkan reaksi
keras dari umat Islam Indonesia. Karena dengan Stbl. Tersebut, umat Islam di
batasi dalam melaksankan sebagian syari’atnya, terutama mengenai waris yang
tidak lagi menjadi wewenang Pengadilan Agama. Padahal masalah waris ini sudah
ratusan tahun ditangani oleh Pengadilan Agama, dan ternyata hukum waris
dimasukkan kedalam hukum warsi adat.
Protes tersebut dipelopori oleh PPDP (Perhimpunan Penghulu
dan Pegawainya) dalam konggresnya di Solo yang menelorkan keputusan agar stbl.
Tersebut dicabut dengan alasan sebagai berikut :
1.
Bahwa hukum adat tidak tetap dan dapat
berubah menurut waktu dan tempat, sedang hukum Islam adalah tetap berdasarkan
Al Quran dan Al Hadits.
2.
Bahwa orang Islam yang menerima keputusan
hukum adat dalam masalah warisan, dapat dianggap sebagai orang yang semata-mata
mengingkari agamanya.
3.
Bagi Pengadilan Agama mencabutan perkara
waris itu tidak membawa perbaikan walaupun akan diberikan ganti rugi sebesar
75% dari pengahsilan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
4.
Kedudukan penghulu dan Pengadilan Agama,
diluar pengadilan dianggap sebagai kepala agama sehingga Stbl 1937 No. 116
tidak terlepas dari persoalan agama.
5.
Pembagian waris menurut hukum faroidl telah
berlaku beratus-ratus tahun di Indonesia untuk orang yang beragama Islam. Hal
ini karena semata-mata termasuk hukum Syara’, jikalau diubah dan diganti dengan
hukum adat ini berarti merubah hukum agamanya.
Kemudian pada tahun yang sama yaitu tanggal 4 November 1937
keluar pula stbl. No. 610/937 yang isinya selain mengubah stbl. 1882 No. 152
pada pasal 7 sehingga menjadi pasal 7. B s/d 7. M, tentang pembentukan Mahkamah
Islam Tinggi (MIT) yang berkedudukan di Jakarta.
Apa yang telah kita bicarakan dimuka adalah mengenai
peraturan Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Sedang untuk luar Jawa dan Madura
kita temukan stbl 1937 No. 638 dan 639 yang mengatur Peradilan Agama di wilayah
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dengan nama Kerapatan Qodli untuk
Pengadilan Agama tingkat Pertama dan Kerapatan Qodli Besar untuk Pengadilan
Tingkat Banding.
Kemudian Pengadilan Agama yang diatur selain itu stbl 1937
No. 116 dan 610, stbl. 1937 No. 638 dan 639 maka aturannya masih berserakan pada
peraturan seperti di bawah ini :
-
Pasal 12 Peraturan Swapraja stbl. 1938 No.
529
-
Pasal 12 Peraturan Swapraja stbl. 1932 No.
80.
Karena Pengadilan Agama bercampur dengan Pengadilan Swapraja
dan Pengadilan Adat, pengaturannya maka Pengadilan Agama yang tidak diatur oleh
peraturan Formal. Peradilan Agama, maka Peradilan Agama bebas mengatur sendiri
tentang rumah tangganya sesuai dengan kebutuhan. Oleh sebab itulah di Sulawesi
Selatan/Goa, dimana kerajaan-kerajaan Islam pernah berjaya maka status
penghulu-syara’ disana lebih berharga dari hakim Pengadilan Agama.
Penghulu syara’ dapat memutuskan perkara-perkara yang
sifatnya pelik dan besar, biasanya berdampingan dengan Raja. Begitu besar
pengaruh Penghulu syara’ disana sehingga tidak sembarangan orang bisa memegangnya
kecuali penduduk asli daerah asalnya.
C.
PERADILAN AGAMA PADA ZAMAN JEPANG.
Selama pendudukan selama 3 ½ tahun di Indonesia, Peradilan
Agama tidak mengalami perubahan, kecuali namanya saja yang diganti disesuaikan
dengan nama atau bahasa Jepang seperti untuk pengadilan agama dirubah menjadi
Sooryoo hooin dan untuk mehkamah Islam Tinggi diganti menjadi Kaikayo Hooin.
Seperti halnya pada zaman Belanda, maka Peradilan Agama
tetap bernaung dibawah Departemen Kehakiman. Tidak dialaminya perubahan-perubahan
peradilan di masa Jepang, bukan berarti Jepang setuju terhadap susunan dan
kekuasaan yang telah di atur oleh Belanda, tetapi karena kesibukannya
menghadapi peperangan dimana-mana sehingga selama pemerintahannya di Indonesia
tidak sempat untuk mengaturnya.
Dapatlah dikatakan bahwa Jepang membawa pendirian untuk
mengadakan keseragaman dalam peradilan. Untuk semau golongan penduduk kecuali
untuk bangsa Jepang sendiri. Jadi Jepang mau mengadakan penghapusan terhadap
pasal-131 yang membagi penduduk Indonesia kepada beberapa kelompok atau
golongan.
Selanjutnya landasan Peradilan Agama yang diatur dengan
stbl.1973 No. 116 dan 610 utnuk pulau Jawa dan Madura masih tetap
diperintahkan. Hanya ada kemajuan sedikit bahwa tunjangan pemerintah ditambah.
Disamping itu di tipe Karesidenan ( shu ) dibentuk shu muka ( urusan agama ) dimana urusan
kepenghuluan, kemasjidan dan pendidikan agam diserahkan kepada jawatan itu yang
dahulu semata-mata diserahkan kepada kebijaksanaan bupati setempat.
D.
PERADILAN AGAMA SETELAH PROKLAMASI
KEMERDEKAAN.
Sejak proklamasi kemerdekaan republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1945 sampai terbentuknya departemen agama mulai tanggal 3 januari 1946,
berdasarkan peraturan pemerintah No. 1/SD. Peraturan-peraturan yang
menanyangkut bidang peradilan agama tidak mengalami perubahan yakni masih tetap
berdasarkan peraturan zaman koloni Belanda dahulu yaitu:
1.
Untuk pulau Jawa dan Madura diatur oleh :
a.
Stbl. 1882 No. 152
b.
Stbl. 1937 No. 116
c.
Stbl. 1937 No. 610
2.
Untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Timur :
a.
Stbl. 1937 No. 638
b.
Stbl. 1937 No. 639
3.
Untuk selain wilayah yang diatur diatas,
diatur:
a.
Pasal 12 peraturan swapraja 1938 No. 529
meliputi wilayah :
a.1. Kalimantan yang tidak diatur oleh Stbl.
1937 No. 638 dan 639
a.2. Riau, Sumatra Timur, seluruh Sulawesi
dan beberapa Kabupaten/Propinsi di Sunda Kecil.
b.
Peraturan swapraja pasal pasal 12 Stbl. 1932
No. 80, untuk wilayah selainnya.
Kemudian ketikan undang-undang darurat No. 1/1951 yang
menghapuskan adanya peradilan swapraja dan peradilan adat yakni diatur oleh Stbl.
1932 No. 80 dan Stbl. 1938 No. 529, maka pemrintah republik Indonesia memandang
perlu untuk memuat landasan hukum yang disampaikan oleh pasal 1 ayat (4) UU No.
1/1951 itu tersendiri sbb :
Selanjutnya peradilan agama tersebut diatas dalam ayat 2 sub
ayat a dan b, akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Kemudian pemrintah mengajukan suatu rancangan peraturan
pemerintah untuk landasan pengadilan agama/mahkamah sya’iyah didaerah Aceh, dan
ternyata dengan mudah mendapat persetujuan/pengesahan dari kabinet dan
keluarlah peraturan pemerintah No. 29 tahun 1957.
Kiranya kabinet memandang dengan dikeluarkannya PP No. 29
th. 1957 tersebut tidak memberikan jalan keluar secara tuntas untuk
daerah-daerah lainnya, maka dengan mencabut seluruh wilayah yang tidak diatur
oleh :
a.
Stbl. 1882 No. 152
b.
Stbl. 1937 No. 116 dan 610
c.
Stbl. 1937 No. 638 dan 639
Sebagai tindak lanjut dari PP. No. 45/1957 itu, maka menteri
agama mengeluarkan penetapan sebagai peraturan pelaksanaan dari PP tersebut
dengan ketetepan menteri agama No. 58/1957, yang isinya tentang pembentukan pengadilan agama/mahkamah
syar’iyah sebanyak 54 buah dan 4 buah pengadilan agama propinsi/mahkamah
syari’ah propinsi yang mewilayahi pengadilan agama/mahkamah syar’iyah tersebut,
masing-masing pengadilan agama propinsi di Kutaraja Medan, Padang, dan
Palembang. Serta menyusul pembentukan pengadilan agama di bagian Indonesia
Timur seperti di Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Maluku dll, serta menyesuaikan
adanya kabupaten-kabupaten baru.
Untuk pengadilan agama tingkat banding di Jawa dan Madura,
maka berdasarkan surat keputusan menteri agama No. 71/1976 tanggal 16 desember
1976, dibuka pula cabang-cabang mahkamah Islam tinggi di Bandung dan Surabaya,
yang masing-masing cabang mahkamah Islam tinggi itu dipimpin oleh wakil ketua,
sedang ketua mahkamah Islam tinggi berkedudukan di Solo.
Ketiga dasar pembentukan/pengaturan Peradilan Agama dimuka
setelah Orde Baru ini diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.
14/1970, dimana pada pasal 10 ayat (1) nya mengatakan sebagai berikut :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam
lingkungan :
a.
Peradilan Umum
b.
Peradilan Agama
c.
Peradilan Militer
d.
Peradilan Tata Usaha Negara
Selanjutnya juga dengan keluarnya peraturan mahkamah agung
No. 1/1977, juga mengatur tentang peradilan agama dalam hal ini kasasi bagi
putusan pengadilan agama perlu kiranya dijelaskan disini bahwa Pengadilan
Agama, sampai keluarnya Peraturan Mahkamah Agung itu, nama/istilahnya masih
belum seragam, yaitu :
a.
1. Pengadilan
Agama untuk pengadilan tingkat pertama
di
Jawa dan Madura. (Stbl. 1937 No. 116)
2. Mahkamah
Islam Tinggi (MTI) untuk pengadilan
Agama
tingkat bandingnya. (Stbl. 1937 No. 610)
b.
1. Keratapan
Qodli Besar untuk pengadilan tingkat pertama ( Stbl. 1937 No. 638)
2. Kerapatan
Qodli Besar untuk pengadilan agama
tingkat
banding ( Stbl. 1937 No. 639)
c.
1. Pengadilan
Agama? Mahkamah syar’iyah untuk
pengadilan
tingkat pertama (PP No. 45/1997)
2. Pengadilan
Agama Propinsi/Mahkamah Syar’iyah Propinsi untuk tingkat bandingnya. (PP No.
45/1957)
Penamaan istilah yang berbeda-beda ini menjadi seragam
setelah keluarnya surat keputusan menteri agama No. 6 Tahun 1980 yaitu :
1.
Pengadilan Agama untuk pengadilan agama
tingkat pertama.
2.
Pengadilan tinggi agama untuk pengadilan
agama tingkat banding.
Walaupun dalam masalah sebutan nama sudah sama, tetapi
karena keaneka ragaman peraturan yang mengatur lingkungan peradilan agama maka
juga membawa dampak ketidak seragaman pula mengenai kewenangan yurisdiksi. Maka
untuk mengatasi hal tersebut dikeluarkan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama, yang akan kita bahas dalam bab tersendiri.
E.
HAK DAN WEWENANG PERADILAN ISLAM DI
INDONESIA.
1.
Sebelum Penjajahan Belanda.
Mengenai hak dan wewenang Peradilan Agama ini keadaannya
bervariasi. Pada asasnya yang mempunyai corak umum yaitu pada masa sebelum
Belanda menguasai Indonesia secara keseluruhan. Seperti pada bab yang lalu
telah di kemukakan bahwa karena beberapa sinyalemen ilmiah, maka dapatlah
disimpulkan bahwa hak dan wewenang Peradilan Agama masih secara utuh. Karena
pada waktu kerajaan – kerajaan di Indonesia sudah berubah menjadi kesultanan,
berarti Sultan – Sultan melaksanakan Syari’at Islam secra keseluruhan.
Dari hasil penelitian yurisprodensi Peradilan Agama
menyatakan bahwa :
a.
Kemungkinan besar bahwa hokum yang menjadi
wewenang hakim sebelum Belanda menguasai Indonesia termasuk pula hokum Jinayat
( Pidana Islam)
b.
Seorang Sarjana Belanda yang bernama J. Van
Der Vino mengatakan bahwa hukum Belanda akan janggal pada suatu negeri yang
mempunyai penduduk berjuta – juta manusia bukan beragama Nasrani dan yang
mempunyai berbagai Agama dan adat – istiadat sedang kan penduduknya yang
beragama Isalam sangat besar kesetiannya pada sendi – sendi Agama.
c.
Raffles mengatakan bahwa hukum waris asalnya
dari Islam.
d.
Van den Bosch mengatakan bahwa hukum waris
itu berasal dari Islam.
e.
Adanya Kommondium Maghorer, Pada Peradilan
Tinggi di semarang, ternyata isinya adalah hukum pidana Islam.
f.
Adanya hukum Rapang pada Kerajaan Islam Bone,
Goa dan Makasar, menurut Syarif Saleh Dieng Paesa, itu tidak lain hokum rajam
yang di perbuat.
g.
Van Den Berg dan Salomon Keyzer juga
mengatakan dalam teorinya Receptio in Complexu ( meresap secara keseluruhan)
yakni hokum yang berlaku bagi bangsa Indonesia ialah hokum agamanya masing –
masing jika tidak dibuktikan kebalikannya.
h.
Adanya sumpah pocong di Jawa adalah satu
manifase dari pernah adanya pelaksanaan hokum jinayat di Jawa.
i.
Adanya pembagian waris segendong sepikul
antara laki – laki dan perempuan menunjukan adanya pengaruh/pernah berlakunya hokum
waris Islam di Jawa.
Dengan kenyataan – kenyataan diatas dapat kita ambil
kesimpulan bahwa karena pengadilan agama sudah berkembang di Indonesia jauh
sebelum datangnya Belanda ke Indonesia maka hak dan wewenang pengadilan Agama
pada waktu itu masih utuh baik jinayat, muamalat ataupun munakahat, waris dan
wakaf atau dengan kata lain baik hokum pidana maupun hokum perdata.
Adapun mengapa Belanda tidak memperbincangkan mengenai hokum
pidana pada waktu permulaan penataan Peradilan Agama, masalahnya pada waktu itu
Belanda mencegatnya dengan adnaya unifikasi hokum pidana yang tertampung dalam
KUHP 1848, mulai berlaku 1 Januari 1848. Sedangkan untuk merencanakan unifikasi
hokum privatnya banyak ditentang oleh sarjan hokum adat seperti Prof. Mr. C.
van Vollenven. Dalam usaha unifikasi hokum privat ini sampai enam kali gagal
terus. Akhirnya Belanda membenarkan berlakunya hokum privat ini berlaku sendiri
– sendiri . itupun setelah adanya pemecahan antara hokum privat adat denagn
privat Islam yang tercantum dalam pasal 134 ayat (2) IS itu.
2.
Di Jawa dan Madura Pra UU No.1 Tahun 1974.
Bahwa sesuai denagn proses perkembangan peradilan itu
sendiri Agama Mengalami pasang Surut sesuai dengan sejarahnya.
Berpangkal tolak dari pasal 134 IS, maka langkah pemerintah
Kolonial Belanda waktu itu, maka dikeluarkanlah Intruksi dalam Stbl 1820 No. 22
yang ditujukan kepada para Bupati untuk mnyerahkan pembagian waris di kalangan
rakyat Indonesia kepada para Alim Ulama. Selanjutnya denagn Stbl. 1935 No. 58
dengan tegas dinyatakan tentang wewenang pengadilan Agama untuk Jawa dan Madura
sebagai berikut :
a.
Jika diantara orang Jawa dan Madura terjadi
perselisihan tentang perkawinan atau pembagian harta benda dan sebagainya yang
harus diputus menurut hokum Syara’ Islam. Tetapi Stbl ini tidak pernah berlaku
karena untuk pelaksaanya perlu baya yang banyak. Disamping itu dalam peraturan
–peraturan tersebut ternyata masih terlalu global, tidak secara terperinci,
sehingga kadang – kadang para petugas melampaui batas – batas kekuasaannya.
b.
Baru kemudian setelah keluarnya Stbl. 1882
No. 152 yang telah dirubah dan diperbaharui denagn Stbl 1937 No. 116, maka
wewenang Pengadilan Agama tampak jelas sebagaimana yang tertuang pada pasal 2
yaitu:
1).
Perselisihan Suami Isteri yang beragama Islam.
2).
Perkara – Perkara tentang :
v Nikah.
v Talak.
v Rujuk.
v Perceraian
antara orang Islam yang memerlukan Hukum Agama Islam.
3).
Menyelenggarakan perceraian.
4). Menyatakan bahwa syarat untuk jatunya
talak digantungkan telah ada.
5). Perkara maskawin atau mahar.
6). Perkara – perkara tentang kehidupan
isteri yang wajib diadakan oleh suami.
3.
Di Kalimantan Selatan dan Timur Pra UU No.
1/1974.
Untuk wilayah Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur, yang diatur oleh Stbl. 1937 No. 638 dan 639, ternyata sama
dengan hak / wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
4.
Wewenang Peradilan Agama yang Diatur PP No.
45/1957 – Pra UU No. 1/1974.
Seperti yang diatur oleh pasal 4 ayat 1 maka
hak dan wewenang Peradilan Agama meliputi :
a.
Nikah
b.
Talak
c.
Rujuk
d.
Fasakh
e.
Nafakah
f.
Maskawin/Mahar
g.
Maskan ( tempat tinggal)
h.
Mut’ah
i.
Waris
j.
Wakaf
k.
Hibah
l.
Shodaqoh
m.
Baitul mal
n.
Mengesahkan bahwa syarat ta’lik talak telah
berlaku
Dengan demikian hak dan wwewenang pengadilan Agama enurut PP
No. 45/1957 ternyata mengalami perkembangan yang menyolok, debanding dengan
produk yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dahulu. Tetapi saying
bahwa pada pasal 4 ayat (2) menyatakan “… perkara - perkara yang menurut hokum
yang hidup di putus menurut Hukum Agama Islam…”. Maka kekuasaan Pngadilan Agama
itu ada kemungkinan lebih sempit lagi daripada kekuasaan Pengadilan di Jawa dan
Madura serta Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Sebab itu berarti bahwa
perkara – perkara yang termasuk pasal 4 ayat (2) tersebut boleh diperiksa dan
diputus oleh pengadilan Agama, apabila pekara itu dalam daerah yang
bersangkutan menurut hokum yang berlaku /hidup seharusnya diperiksa dan diputus
menurut Hukum Islam.
Jadi kalau adaperkara soal waris misalnya, maka harus
diadakan penelitian lebih dahulu kedalam masyarakat yang bersangkutan, apakah
perkara itu lazimnya dalam keadaan normal/tidak ada sengketa meraka membaginya
menurut hokum Islam, maka Pengadilan Agama baru boleh memeriksa dan memutusnya.
Tetapi sebaliknya bila ternyata menurut kenyataan yang ada tidak demikian
halnya, maka Pengadilan Agama tidak berhak memeriksa apalagi memutusnya.
Situasi yang demikian itu kemungkinan adanya saling berebut perkara antara
Pengadilan Agama di satu pihak dengan Pengadilan Negeri di pihak lain.
Jika sebelum memeriksa perkara tidak diadakan penelitian
terlebih dahulu, maka hasil pemeriksaan tersebut besar kemungkinannya akan di
batalkan oleh Pengadilan Negeri bila ternyata dianggap menjadi wewenangnya.
Karena dalam ha ini Pengadilan Negeri yang berhak atau berkuasa memberikan pengukuhan
atas Pengadilan Agama tersebut. ( Pasal 4 ayat (3,4 dan 5) PP No. 451957)
Kiranya hal itu yang menjadi salah satu alas an Mahkamah
Agung mengeluarkan Surat keputusan tanggal 29 September 1950, No.
109.K/SIP/1960, yang menegaskan bahwa perkara waris secara tegas dimasukkan
kedalam hak wewenang Pengadilan Negeri.
5.
Hak dan Wewenang Pengadilan Agama menurut UU
No.1/1974.
Setelah kita lihat pasal demi pasal UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, maupun Peraturan Pemerintah No. 9/1975 dan Peraturan
Menteri Agama No. 3/1975 disamping yang kita dapati dalam yurisprudensi,
Keputusan Pengadilan Agama, maka hak dan wewenang Pengadilan Agama di sekuruh
Indonesia adalah sebagai berikut :
a.
Izin kawin
b.
Dispensasi kawin
c.
Izin Poligami
d.
Pencegahan Perkawinan
e.
Pengesahan Perkawinan
f.
Pengesahan Nikah
g.
Pemecatan Wali
h.
Penggantian Wali
i.
Pencabutan kekuasaan Orang Tua
j.
Penyaksian Talak
k.
Rujuk
l.
Soal Ta’lik Talak
m.
Fasid Nikah
n.
Fasakh
o.
Syiqoq
p.
Maskan
q.
Nafkah Istri
r.
Kiswah
s.
Munt’ah
t.
Hadlomah
u.
Wakaf
v.
Hibah
w.
Shodaqoh
x.
Memberi Fatwa
y.
Ru’yatul Hilal
z.
Pengukuhan Sumpah Pegawai Negeri.
Jadi jelaslah bahwa Tugas Pengadilan Agama setelah zaman
kemerdekaan terutama setelah lahirnya Orde BAru makin berkembang sedemikian
rupa, maka volume tugas Pengadilan Agama juga makin padat.
6.
Hak dan Wewenang Pengadilan Agama Menurut uu
No. 7/ 1979.
Menurut Undang – Undang No. 7/1979 ternyata hak dan wewenang
Pengadilan agama mengalami perkembangan sebagaiman dijelaskan pada pasal 49
bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara – perkara antar orang – ornag Islam di bidang :
a.
Perkawinan
b.
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan Hukum Islam
c.
Wakaf dan Shodaqoh
7.
Hak dan Wewenang Pengadilan Tinggi Agama.
Hak dan Wewenang Pengadilan Tinggi Agama sama dengan hak dan
wewenang Pengadilan Agama Tngkat Pertama, baik pada masa penjajahan Belanda,
Jepang atau seyelah kemerdekaan maupun sampai sekarang ini. Tetapiu ada satu
hak ynag tidak dipunyai oleh Pengadilan Agama
Tingkat Pertama yaitu hak untuk memutus perkara jika Pengadilan Agama yang
satu denagn yang Pengadilan Agama yang lain terjadi perselisihan baik
perselisihan baik perselisihan yang bersifat positif ( positif Yurisprudictie
Gesheel) artinya kedua Pengadialan itu sama – sama merasa berhak untuk
memeriksa dan memutuskannya, ataupun yang bersifat negative ( negative yurisprudictie
gesheel) yakni perselisihan antara Pengadilan Agama yang keduanya merasa tidak
berhak untuk menanganinya. Dalam hal ini yang berhak memutuskannya adalah
Pengadilan Tinggi Agama yang mewilayahinya.
Dengan demikian tugas dan wewenang Pengadilan Tinggi Agama
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Mengadili perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
2.
Mengadili di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daeah hukumnya.
BAB VIII
PROSPEK PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Untuk mengetahui prospek Peradilan Agama di Indonesia, kita
memerlukan data – data dalam istilah Garis – Garis besar Haluan Negara adalah
modal dasar. Adapun modal dasar yang dipunyai oleh Peradilan adalah sebagai
berikut :
1.
Manusia Indonesia seutuhnya.
2.
Perundang – undangan maupun perturan yang
mendukungnya.
Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa dari penduduk
Indonesia yang jumlahnya sekitar 180 juta jiwa, hamper 80% lebih beragama
Islam. Dari jumlah tersebut ternyata dalam penggunaan atau pelaksanaan
Peradilan Agama tidak banyak perbedaan. Sebab pada umumnya umat Islam Indonesia
dalam hal pernikahan, talak , rujuk, dan cerai ternyata dilaksanakan menurut
hukum Islam. Jadi dalam hal ini Peradilan Agama didukung oleh sebagian besar
penduduk Indonesia kususnya yang beragama Islam dan jumlah umat Islam yang
mendukung tersebut potensial sekali, oleh sebab itu Peradilan Agama di
Indonesia kalu kita tijau dari segi pandukungnya meyakinkan sekali, untuk
berkembang dengan baik pada masa – masa akan datang.
Kemudian kalua kita tijaiu dari segi perundang – undangan
yang ada terutama setelah kemerdekaan dan kebijaksanaan pemerintah yang ada,
akan meyakinkan sekali. Untuk lebih jelasnya marilah kita tijau secara mendalam
:
v Landasan
Ideologi : Pancasila
v Landasan
Konstitusional : UUD 1945
Seperti yang dikatakan oleh Presiden Suharta bahwa kita
memang harus berangkat dari pangkalan Pancasila dan Undang UNdang Dasar 1945
dan kita bertekad untuk mewujudkan masyarakat Pancasila dengan menggunakan
kompas pedoaman yang ditujukan oleh Undang – Undang Dasra 1945.
Didalam Pancasila, Peradilan Agama dengan sila pertamanya
serta kaitannya dengan siala – sila yang lain yang merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan dijamin ada nya. Sedangkan pada landasan konstiusional Undang-
Undang Dasar 1945 kita temukan pada pasal 29, logikanya karena Peradilan Agama
merupakan kegiatan pelaksanaan Agama, terutama Islam maka UUD 1945 juga
menjamin keberadaanya Peradilan Agama.
Kemudian kalau kita lihat Undang – Undang No. 14 tahun 1970
pada pasal 10 ayat (1) mengatakan bahwa :
1.
Peradilan dilakukan demi keadialan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Peradilan
dalam lingkungan :
a.
Peradilan Umum
b.
Peradilan Agama
c.
Peradilan Militer
d.
Peradilan Tata Usaha Negara.
Dari sini kita dapat memahami betapa
kokohnya kedudukan Peradilan Agama yang bsecara yuridis formal diletakkan
sejajar denagna Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Maka sebagai konsekwensi logis pembinaan Peradilan Agama secara formal
bukan saja hanya menjadi tanggung jawab Departemen Agama, tetapi menjadi tugas
secara nasional.
Hal, ini terlihat pada pola pembinaan Hukum Nasional yang
secara inflisit Peradilan Agama termasuk didalamnya seperti tercantum dalam
GBHN sesuai denagn ketetapan MPR No. II/MPR/1988, pada bidang hukum menjelaskan
:
1.
Pembangunan dan pembinaan hukum dalam
Negara Hukum Indonesia didasarkan atas
Pancasila dan UUD 1945
2.
Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan
agar dapat :
a.
Memantapkan dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan dan hasil – hasilnya.
b.
Menciptakan kondisi yang lebih mantap,
sehingga anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban
hukum.
c.
Lebih member dukungan dan pengarahan kepada
upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata.
d.
Menumbuhkan dan mengembangkan disiplin
nasional dan rasa tanggung jawab social pada setiap anggota masyarakat.
3.
Dalam pembangunan dan pembinaan hukum ini
dilanjutkan usaha – usaha untuk :
a.
Meningkatkan upaya pembaharuan hukum secara
terarah dan terpadu antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang – bidang hukum
serta penyusunan perundang – undangan baru.
b.
Memantapkan kedudukan dan peranan badan –
badan penegak hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing – masing.
c.
Memantapkan sikap dan perilaku par apenegak
hukum serta kemampuannya dalam rangka peningkatan citra dan wibawa serta aparat
penegak hukum.
d.
Menungkatkan prasarana dan sarana yang
diperlukan untuk menunjang pembangunan bidang hukum.
Dari apa yang telah diuraikan diatas maka kita dapat
menyimpulkan bahwa prospek pembangunan dan pembinaan Peradialan Agama baik
ditijau dari pembangunan dan pembinaan hukum agama, maka keberadaan dan
pengembangannya di Indonesia cerah adanya. Apalagi setelah keluarnya Undang –
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Karena dengan lahirnya Undang
– Undang tersebut berarti Peradilan Agama sudah memiliki landasan kedudukan dan
kekuasaan yang sangat besar bagi keberadaan Peradilan Agama antara lain :
1.
Mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan
Agama sebagai kekuasaan Kehakiman. Dengan undang – undang tersebut kedudukan
dan fungsi Peradilan Agama bergandengan dalam suatu kesederajatan yang sama
dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Masing – masing Peradilan tersebut mempunyai kewenangan mangadili perkara
tertentu, tanpa adanya campur tanagn dari Peradilan yang lain.
2.
Menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama.
Sebelum lahirnya UU tersebut peraturan yang mengatur Peradilan Agama beranrka
macam, yang mengakibatkan ketidak seragaman pula dalam kewenangan
yurisdiksinya.
3.
Memurnikan fungsi Peradilan Agama.
Peraturan
perundangan sebelum UU tersebut menggambarkan bahwa Peradilan Agama seolah –
olah tidak lebih dari peradilan semu dan lumpuh, dan bahkan dapat dianggap
lebih rendah dari Pengadilan Negeri, karena Keputusa Pengadilan Agama harus
dikukuhakan oleh Pengadilan Negeri ( Executoir Verkliring).
Dengan demikian, dengan lahirnya Undang – Undang No. 7 Tahun
1989 tersebut prospek masa depan Peradilan Agama snagt cerah dan dapat benar –
benar sejajar dengan peradilan – peradilan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al Quran dan Terjemahnya,
Mahkota, Surabaya, 1990.
Hasby Ash Shiddieqy, Prof.Dr. TM., Sejarah
Peradilan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Hasby Ash Shiddieqy, Prof.Dr. TM., Hukum
Acara Peradilan Islam, Al Ma’arif, Jakarta, 1970.
Notosusanto, Prof., SH., Peradilan Agama
Islam di Jawa dan Madura, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1963.
Salam Madkur, Al Qodlo’ fil Islam
(Peradilan Dalam Islam), Bina Ilmu, Surabaya, 1980.
Athiyah Musthofa Masrofah, Al Qodlo’ fil
Islam, Syirkatul Syarkil Ausath, 1966.
Dadang Soedarsono, Drs., Sejarah Peradilan
Islam, IAIN Wali Songo, Semarang, 1986.
Undnag – Undang Republik Indonesia No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan, CV. Eko Jaya, Jakarta, 1989.
Yahya Harahap, S.H., M Kedudukan,
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, 1989.
Bahan Penataran, Bp-7 Pusat, Jakarta, 1991