11 Juni 2012

Hukuman Bagi Orang Murtad


Hukuman Mati Bagi Orang Murtad


مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang mengganti agamanya maka  bunuhlah(HR al-Bukhari, an-Nasa’i, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad)
Imam al-Bukhari mengeluarkan hadis di atas dalam Kitâb Istitâbah al-Murtaddîn wa al-Mu‘ânidîn wa Qitâlihim.  Beliau meriwayatkan hadis ini dari Abu an-Nu‘man Muhammad ibn al-Fadhl, dari Hammad ibn Zaid, dari Ayyub dan dari Ikrimah yang berkata, “Orang-orang zindiq pernah dihadapkan kepada Ali. Lalu Ali membakar mereka. Hal itu sampai kepada Ibn Abbas, kemudian ia berkata, “Seandainya saya, saya tidak akan membakar mereka karena larangan Rasulullah saw: Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah. Namun, pasti saya akan membunuh mereka sesuai dengan sabda Rasulullah saw: Siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah.”
Imam Abu Dawud mengeluarkan hadis ini dalam Bab “Al-Hukm li Man Irtadda” dari Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, dari Ismail ibn Ibrahim, dari Ayyub dan dari Ikrimah.
Imam Ibn Majah mengeluarkannya dalam Bab “Al-Murtadd ‘an Dînihi” dari Muhammad ibn ash-Shabah, dari Sufyan ibn Uyainah, dari Ayyub, dari Ikrimah dan dari Ibn Abbas.
Imam at-Tirmidzi mengeluarkannya dalam Bab “Mâ Jâ’a fî al-Murtadd” dengan sanad dari Ahmad ibn Abdah adh-Dhabi al-Bashri, dari Abdul Wahab ats-Tsaqafi dari Ayyub dari Ikrimah. Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan-shahîh.”
Imam an-Nasai mengeluarkannya dari beberapa jalur: 1) dari Imran ibn Musa, dari Abd al-Warits; 2) dari Muhammad ibn Abdillah al-Mubarak, dari Abu Hisyam dan dari Wuhaib; 3) dari Mahmud ibn Ghaylan, dari Muhammad ibn Bakrin, dari Ibn Juraij, dari Ismail dan dari Ma’mar.  Ketiganya (Abd al-Warits, Wuhaib dan Ma’mar) dari Ayyub dari Ikrimah dari Ibn Abbas. Imam an-Nasa’i juga mengeluarkannya dari Musa ibn Abdirrahman, dari Muhammad ibn Busyr dari Said, dari Qatadah dan dari al-Hasan; juga dari al-Husain ibn Isa dan dari Muhammad ibn al-Mutsanna; keduanya dari Abd ash-Shamad dari Hisyam dari Qatadah dari Anas dari Ibn Abbas.
Imam Ahamd mengeluarkannya dalam Al-Musnad dari empat jalur, yaitu: dari Ismail, dari ‘Affan, dari Hamad ibn Zaid dan dari Wuhaib; ketiganya (Ismail, Hamad dan Wuhaib) dari Ayyub dari Ikrimah dari Ibn Abbas; juga dari Abd ash-Shamad, dari Hisyam ibn Abi Abdillah, dari Qatadah, dari Anas dan dari Ibn Abbas.
Abu Musa al-Asy’ari menuturkan, bahwa ia diutus oleh Rasulullah menjadi amil di Yaman, kemudian diikuti oleh Muadz ibn Jabal. Ketika Muadz tiba kepadanya, Abu Musa berkata, “Turunlah!” Ia lalu melemparkan penutup kepala kepada Muadz. Saat itu ada seorang laki-laki yang dibelenggu. Muadz bertanya, “Apa ini?” Abu Musa menjawab, “Laki-laki ini dulunya Yahudi, lalu masuk Islam, kemudian menjadi Yahudi lagi.” Muadz berkata:
لاَ أَجْلِسُ حَتَّى يُقْتَلَ قَضَاءُ اللهِ وَرَسُولِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَأَمَرَ بِهِ فَقُتِلَ
“Aku tidak akan duduk hingga laki-laki itu dibunuh.  (Ini) adalah ketetapan Allah dan Rasulullah.”  Muadz mengatakannya tiga kali. Kemudian Abu Musa memerintahkannya dan laki-laki itu pun dibunuh. (HR al-Bukhari dan Muslim). 
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa Muadz berkata:
قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَنَّ مَنْ رَجَعَ عَنْ دِيْنِهِ فَاقْتُلُوهُ أَوْ قَالَ مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Allah dan Rasul-Nya menetapkan bahwa siapa saja yang kembali dari agamanya maka bunuhlah,” atau Muadz berkata, “Siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah.” (HR Ahmad).

Makna Hadis
Makna baddala dînahu adalah mengganti agamanya dari Islam menjadi selain Islam, artinya murtad dari Islam.  Hadis-hadis di atas secara gamblang menyatakan, siapa saja yang mengganti agamanya, yaitu murtad dari Islam, maka hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati).  Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan, “Para ulama telah bersepakat atas wajibnya membunuh orang murtad.”
Sebelum dibunuh orang itu harus diminta bertobat lebih dulu. Orang itu diajak berdiskusi dan dibantah semua alasan, keraguan atau apapun yang membuatnya murtad. Ia diseru agar bertobat dan kembali pada Islam serta diberikan waktu yang dianggap cukup untuk merenung dan berpikir.  Jika ia tetap tidak mau kembali, baru dilaksanakan hukuman mati itu.
Hadis di atas dipertegas oleh banyak riwayat lain, di antaranya adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari di atas.  Kejadian itu terjadi pada masa Nabi saw., sementara tidak terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw. menolak atau menyalahkan apa yang dilakukan oleh Abu Musa dan Muadz tersebut.  Bahkan Jabir menuturkan:
أَنَّ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا: أُمُّ مَرْوَانَ، ارْتَدَّتْ عَنْ اْلإِسْلاَمِ، فَبَلَغَ أَمْرُهَا إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ أَنْ تُسْتَتَابَ، فَإِنْ تَابَتْ، وَإِلاَّ قُتِلَتْ
Seorang wanita, dipanggil Ummu Marwan, murtad dari Islam. Lalu perkaranya sampai kepada Nabi saw. Beliau kemudian memerintahkan agar ia diminta bertobat. Jika ia bertobat (maka diterima) dan jika tidak maka ia dibunuh. (HR ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).
Al-Baihaqi dan ad-Daruquthni meriwayatkan bahwa Abu Bakar telah meminta Ummu Qurfah yang murtad agar bertobat (kembali), tetapi ia menolak sehingga ia dihukum bunuh.  Abdurrazaq meriwayatkan bahwa Umar memutuskan terhadap sekelompok orang dari Irak yang murtad bahwa yang tidak mau bertobat dihukum bunuh.  Dalam hadis di atas jelas bahwa Ali ra., menghukum bunuh orang murtad. Semua hukuman bunuh bagi orang murtad itu dilaksanakan dan tidak ada seorang pun dari Sahabat yang mengingkarinya.  Hal itu menunjukkan para Sahabat telah berijmak bahwa siapa saja yang murtad dari Islam, jika tidak mau bertobat kembali pada Islam, dihukum mati. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb wa ahkam.[Yahya Abdurrahman]

Hukuman Bagi Orang yang berzina


HUKUM ORANG BERBUAT ZINA

Soal: Di daerah tempat saya tinggal, ada orang (Mukhson) yang pernah berbuat maksiyat perzinaan, namun waktu disidang di tingkat RT/RW, dia mengaku salah dan ingin bertobat dan sekarang ia rajin sekali ibadah di masjid. Namun ternyata perzinaan itu diulang lagi, konon menurut pengakuan korban beberapa kali. Orang itu tidak mengakui perbuatannya, sebelumnya pernah tanda tangan berjanji untuk tidak mengulanginya. Tapi sang korban (familinya sendiri yang sejak kecil dinafkahi si pelaku) bersaksi dan membeberkan bukti visum dokter. Saat ini orang tersebut dianggap cukup meresahkan warga walaupun aktif di masjid tapi oleh warga dikucilkan bahkan hampir diusir.


1) Bagaimana solusi Islami terhadap kasus ini?
2) Bagaimana menghukumi seorang pezina dizaman sekarang yang tidak ada Kholifah (Daulah Islam yang berwenang)?
3) Bagaimana kaifiyat menghakimi pezina dalam peradilan Islam?
4) Bagaimana bila saksi tidak ada atau kurang dari 4 orang, tapi ada pengakuan korban?
5) Bagaimana menurut Syariah, kalau warga masyarakat memberikan hukuman dengan mengucilkan (tidak ditanya/tidak dilibatkan di masyarakat) atau mengusirnya?
6) Bagaimana hukumnya kalau pelaku zina kemudian dinikahkan?

Jawab: 1. Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikatagorikan hukuman hudud. Yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah SWT, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Qs. an-Nuur [24]: 2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhson (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadits Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam.
2. Yang memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Jika sekarang tidak ada khalifah, yang dilakukan bukan menghukum pelaku perzinaan itu, namun harus berjuang menegakkan Daulah Khilafah terlebih dahulu.
3. Yang berhak memutuskan perkara-perkara pelanggaran hukum adalah qadhi (hakim) dalam mahkamah (pengadilan). Tentu saja, dalam memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama kali oleh qadhi adalah melakukan pembuktian: benarkah pelanggaran hukum itu benar-benar telah terjadi. Dalam Islam, ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yakni: (1) saksi, (2) sumpah, (3) pengakuan, dan (4) dokumen atau bukti tulisan. Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang dan pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat orang, didasarkan Qs. an-Nuur [24]: 4.
Sedangkan pengakuan pelaku, didasarkan beberapa hadits Nabi saw. Ma’iz bin al-Aslami, sahabat Rasulullah Saw dan seorang wanita dari al-Ghamidiyyah dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya mengaku telah berzina. Di samping kedua bukti tersebut, berdasarkan Qs. an-Nuur: 6-10, ada hukum khusus bagi suami yang menuduh isterinya berzina. Menurut ketetapan ayat tersebut seorang suami yang menuduh isterinya berzina sementara ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, ia dapat menggunakan sumpah sebagai buktinya. Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa dia termasuk orang-orang yang benar, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa lanat Allah SWT atas dirinya jika ia termasuk yang berdusta, maka ucapan sumpah itu dapat mengharuskan isterinya dijatuhi hukuman rajam. Namun demikian, jika isterinya juga berani bersumpah sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya termasuk orang-orang yang berdusta, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa bahwa lanat Allah SWT atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar, dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika ini terjadi, keduanya dipisahkan dari status suami isteri, dan tidak boleh menikah selamanya. Inilah yang dikenal dengan li’an.
4. Karena syaratnya harus ada empat orang saksi, seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman. Pengakuan dari salah satu pihak tidak dapat menyeret pihak lainnya untuk dihukum. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah diceritakan bahwa ada seorang budak laki-laki yang masih bujang mengaku telah berzina dengan tuannya perempuan. Kepada dia, Rasulullah menetapkan hukuman seratus camnukan dan diasingkan selama satu tahun. Namun demikian Rasulullah Saw tidak secara otomatis juga menghukum wanitanya. Rasulullah Saw memerintahkan Unais (salah seorang sahabat) untuk menemui wanita tersebut, jika ia mengaku ia baru diterapkan hukuman rajam (lihatBulugh al-Maram bab Hudud). Hasil visum dokter juga tidak dapat dijadikan sebagai bukti perbuatan zina. Hasil visum itu dapat dijadikan sebagai petunjuk saja.
5. Tuduhan perzinaan harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti di atas. Tidak boleh menuduh seseorang melakukan zina, tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi.
6. Berzina termasuk perbuatan kriminal yang harus dihukum. Jenis hukumannya hanya ada dua, yakni jilid dan rajam. Bagi pezina ghaoiru muhson yang dijatuhi hukuman jilid, bisa saja mereka dinikahkan setelah menjalani hukuman. Al-Qur’an dalam Qs. an-Nuur [24]: 3memberikan kebolehan bagi pezina untuk menikah dengan sesama pezina. Tentu saja, ini berbeda dengan pezina muhson yang dijatuhi hukuman rajam hingga mati, kesempatan untuk menikah bisa dikatakan hampir tidak ada. [Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)]

Dosakah orang yang melewati orang yang sedang sholat?



MELewatI Orang Yang SEDANG Sholat


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam telah menjelaskan dosa bagi orang yang lewat dihadapan orang yang sholat, Beliau bersabda:

“Seandainya seseorang yang lewat di hadapan orang yang sholat mengetahui (dosa) apa yang ditimpakan kepadanya, pasti dia berdiri selama empat puluh (hari) akan lebih baik ketimbang dia lewat di hadapan orang yang sedang sholat.”

Abu al Nadlr (salah satu perawi hadits ini) berkata: “Aku tidak mengetahui, apakah Rasulullah mengatakan empat puluh hari, empat puluh bulan ataukah empat puluh tahun.” ( HR. al Bukhari dalah shahihnya (I/584) nomor 510 dan Muslim dalam shahihnya (I/363) nomor 507).

Maksud hadits tersebut adalah seandainya mereka yang lewat di hadapan orang yang sholat mengetahui dosa apa yang akan diterima, pasti dia akan lebih memilih untuk berdiri selama empat puluh (hari) daripada harus menerima dosa tersebut. Didalam hadits ini sebenarnya terdapat larangan yang cukup serius dan ancaman yang pedih kepada pelakunya. (Syarh al Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim (IV/225) dan Fath al Bari (I/585)).

Yang diharamkan ketika seseorang lewat di depan orang yang sedang melakukan sholat yaitu pada jarak yang dekat. Jarak itu kira-kira seukuran kedua tangan (Jika dibentangkan kedepan). Karena pada radius tersebut biasanya sangat sibuk digunakan oleh orang yang sedang sholat (untuk Ruku’, sujud lan sebagainya).

Ketika seseorang lewat di hadapan orang yang sholat dan jaraknya cukup jauh, serta tidak menjumpai adanya tabir penghalang yang digunakan oleh orang yang sedang sholat, maka dia tidak mendapatkan dosa. Sebab jika tradisi yang berlaku menganggap suatu jarak tertentu adalah jauh, maka tidak bisa dikatakan orang yang melewati jarak tersebut dianggap lewat di hadapan orang yang sholat. Begitu juga lewat di belakang tabir pembatas yang digunakan orang yang sholat, dia tidak mendapatkan dosa. (Lihat komentar Syaikh Abdul Aziz ibn Bazz terhadap Fath al Baari (I/582)).

Ibn Hazm Rahimahullah berkata:

“Barangsiapa yang lewat di hadapan imam seukuran tiga dzira’/hasta, maka dia tidak mendapatkan dosa. Begitu juga dengan orang yang sedang sholat, tidak perlu menghalangi orang yang lewat seukuran jarak tersebut. Namun jika seseorang lewat di hadapannya seukuran tiga dzira’/hasta atau kurang, maka dia berosa. Kecuali jika tabir penghalang yang dibuat oleh orang yang sholat memang kurang dari tiga dzira’/hasta, maka tidak mengapa lewat di depan dan belakangnya.” (al Muhalla (I/261)).

Seharusnya orang yang hendak sholat mencari atau membuat tabir penghalang dihadapannya dan tidak berdiri terlalu jauh dengan tabir tersebut, yaitu tidak lebih dari tiga dzira’/hasta, dan kita juga diperintahkan untuk menghalangi orang yang akan lewat di hadapan kita ketika sedang sholat, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam:

“Janganlah kamu shalat kecuali menghadap sutrah dan jangan biarkan seorang pun lewat di hadapanmu. Jika ada yang ngotot ingin lewat, perangilah ia. Karena sesungguhnya ada setan bersamanya. ” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 800)

Dan Allah Ta’aala tidak membebankan kepada kita kecuali hal yang mempu kita kerjakan, karena pada waktu duduk, mungkin kita kesulitan untuk menghalangi orang yang lewat dihadapan kita. Jadi kita menghalangi orang yang akan lewat sewaktu sholat menurut dengan kemampuan kita saja (Ahkaam al Satrah hal. 54-55 dan Fataawaa Muhammad Rasyid Ridha (I/320)). Wallahu a’lam.

Maraji: Buku “Koreksi Total Ritual Shalat” karya Abu Ubaidah Mansyur bin Hasan bin Mahmud bin Salman, penerbit Pustaka Azzam.

My New Style

My New Style

My Family

My Family
Miyya Kak Cintha and Family

Prambanan In Action

Prambanan In Action

Kakak Miya

Kakak Miya

PKN STAIMUS 2013

PKN STAIMUS 2013
Mahasiswa PKN dan Peserta Lomba TPQ

PKN 2013 STAIMUS

PKN 2013 STAIMUS


Entri Populer