Panduan Praktis Pengurusan Jenazah [2]
A. TATA CARA MENYOLATKAN JENAZAH :
1.
Sholat atas jenazah muslim hukumnya fardhu kifayah[1].
2.
Ketika yang akan menyolati jenazah ada 2 (dua) orang atau lebih maka wajib
dilaksanakan secara berjama’ah berdasarkan pada praktek sholat jenazah yang
dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
3.
Berusaha memperbanyak jumlah orang yang sholat, terutama orang-orang yang
shalih dan bertauhid dengan benar[2].
4.
Membagi shaff menjadi 3 (tiga) shaff atau lebih[3].
5.
Imam berdiri pada posisi di depan para makmum laki-laki dan makmum
perempuan berdiri di belakang makmum laki-laki.
6.
Kalau yang menyolatkan hanya 2 (dua orang) maka makmumnya berada tepat di
belakang imam. Adapun kalau bertiga dengan satu orang wanita maka wanita berada
tepat di belakang makmum laki-laki[4].
7.
Imam kemudian memerintahkan para makmum untuk merapatkan dan meluruskan
shaff[5]
8.
Yang paling berhak mengimami sholat adalah penguasa muslim setempat atau
yang mewakilinya. Kalau tidak ada maka dari kalangan keluarga terdekatnya yang
paling banyak hapalan Al Qur’an dan paling paham akan hukum sholat jenazah.
Kalau tidak ada maka dari kalangan kaum muslimin yang datang ke tempat tersebut
dan dipilih yang paling banyak hapalan Al Qur’an dan paling paham akan hukum
sholat jenazah.
9.
Sholat dilaksanakan di tanah lapang yang biasa dipakai untuk melaksanakan
sholat ied karena inilah yang paling sering dilaksanakan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Boleh juga sesekali di masjid[6].
10. Imam berdiri pada posisi tepat di bagian kepala untuk
jenazah laki-laki[7] sedang kalau jenazah perempuan imam berdiri pada posisi
tengah/ pinggangnya[8].
11.
Imam dengan diikuti oleh makmum bertakbir sebanyak 4 (empat) kali takbir
dan inilah yang paling sering dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam[9], boleh juga sesekali lima, enam, tujuh atau sembilan kali
takbir[10].
12. Disunnahkan mengangkat tangan pada takbir yang pertama
dengan kesepakatan para ulama berdasarkan praktek Rasulullah akan hal ini[11]. Adapun untuk takbir yang kedua, ketiga dan keempat tidak ada
satu riwayatpun yang menyatakan bahwa beliau mengangkat kedua tangan. Kecuali
diriwayatkan bahwa Ibnu Umar selalu mengangkat kedua tangannya pada semua
takbir[12].
13. Pada takbir yang pertama membaca Al Fatihah setelah
sebelumnya membaca ta’awwudz kemudian dilanjutkan membaca dengan memilih
surah pendek dari Al Qur’an tetapi tanpa didahului bacaan iftitah[13].
14. Pada takbir yang kedua membaca sholawat[14].
15. Pada takbir yang ketiga membaca do’a untuk mayit
dengan memilih satu di antara sekitar tujuh do’a untuk mayit yang ma’tsur[15].
16. Pada takbir yang keempat diam sebentar kemudian salam
sekali, boleh juga dua kali dengan suara yang pelan baik imam maupun makmum[16].
17. Sholat jenazah tidak boleh dilaksanakan pada tiga
waktu; ketika terbit fajar sampai terbit matahari, ketika matahari tepat di
atas kepala sampai tergelincir dan ketika matahari hampir tenggelam (menguning)
sampai tenggelam. (HR. Muslim dari Uqbah bin ‘Amir).
CATATAN :
1.
Bagi makmum yang terluput beberapa takbir bersama imam hendaklah dia
menyempurnakan takbir yang kurang setelah imam sholat selama jenazah belum
diangkat, adapaun kalau langsung diangkat maka hendaknya yang masbuq tadi
langsung salam setelah salamnya imam[17].
2.
Bagi yang tidak sempat mengikuti sholat jenazah bersama imam dibolehkan
baginya untuk menyalatkannya di makamnya. Caranya dia berdiri menghadap makam
dan kiblat sekaligus dan bertakbir empat kali sebagaimana sholat jenazah
biasanya[18].
3.
Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk sholat ghaib atas meninggalnya saudara
mereka di negeri lain dan diyakini belum/ tidak disholatkan[19].
4.
Kalau jenazahnya banyak maka disusun berjejer satu persatu dari depan imam
ke arah kiblat dan yang didekatkan k earah imam adalah yang paling banyak
hapalan Al Qur’annya. Kalau ada mayit laki-laki dan perempuan maka yang lebih
dekat ke imam adalah mayit laki-laki kemudian kearah kiblat mayit perempuan.
Posisi pinggang jenazah perempuan tepat searah bagian kepala mayit laki-laki
sehingga memudahkan imam dalam mengambil posisinya ketika menyalatkan[20].
5.
Jenazah anak kecil yang belum baligh[21] atau bayi yang keguguran sesudah beusia empat bulan atau
lebih disunnahkan untuk disholatkan sebagaimana boleh juga tidak[22].
6.
Orang yang syahid boleh disholatkan sebagaimana boleh juga tidak, hal ini
sebagaimana praktek Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang seringnya
tidak menyalatkan dan terkadang juga menyalatkan[23].
7.
Orang kafir tidak boleh dimandikan, dikafankan, disholatkan dan dido’akan[24].
8.
Pada Asalnya disyariatkan untuk mensholati semua orang yang meninggal dari
kalangan kaum muslimin. Tetapi ada
beberapa pengecualian dimana para ulama/ tokoh masyarakat setempat dianjurkan
untuk tidak menyalatkan beberapa ketegori orang yang meninggal di kalangan kaum
muslimin, namun tetap diwajibkan atas yang lain, minimal para keluarganya. Hal
ini dimaksudkan sebagai pelajaran terhadap kaum muslimin sebagaimana Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam telah mencontohkannya kepada kita untuk tidak
mensholati:
-
Orang yang meninggal dengan sebab bunuh diri[25].
-
Orang yang meninggal dalam keadaan punya hutang[26].
-
Orang yang suka meninggalkan sholat.
-
Juga orang-orang yang dikenal selama hidupnya suka melakukan maksiat dan
dosa-dosa besar[27].
B. MENGANTAR JENAZAH
1.
Mengantar jenazah termasuk kewajiban seorang muslim atas saudaranya sesama
muslim yang telah meninggal dunia[28].
2.
Jenazah diantar ke pemakaman untuk dikuburkan dengan tandu yang diangkat/
dipikul oleh 4 (empat) orang[29] dan tidak boleh memakai ambulan/ mobil jenazah[30].
3.
Tugas mengangkat jenazah tidak boleh diserahkan para wanita dengan kesepakatan
para ulama[31]. Sebagaimana tidak disyariatkan bagi para wanita untuk
mengiringi jenazah ke kuburnya[32].
4.
Disunnahkan yang mengangkat tandu jenazah dan yang mengiringinya untuk
berjalan dengan agak cepat tanpa berlebihan[33].
5.
Bagi pengiring yang berjalan kaki hendaknya berjalan di belakang tandu
jenazah, boleh juga di samping atau di depannya dengan tetap berusaha dekat
tandu jenazah[34]. Tidak boleh mengiringi jenazah dengan kendaraan kalaupun
terpaksa maka sunnahnya berjalan di belakang tandu jenazah dan tidak boleh di
depannya[35].
6.
Tidak dibolehkan bagi pengiring untuk berzikir secara keras dengan lafadz
apapun bahkan yang sunnah adalah diam dan khusu’ mengingat kematian[36].
7.
Diharamkan untuk mengiringi jenazah dengan nyala api atau lampu, sirene
atau yang semisalnya[37]
8.
Disunnahkan bagi yang lewat atas mereka iring-iringan jenazah untuk berdiri[38].
9.
Ketika akan memasuki area pemakaman disunnahkan untuk melepas alas kaki
kecuali kalau banyak duri atau yang semisalnya[39].
C. MENGUBURKAN JENAZAH
1.
Wajib menguburkan orang yang meninggal di kalangan kaum muslimin[40].
2.
Jenazah seorang muslim tidak boleh dikuburkan bersama jenazah non muslim
sebagaimana tidak boleh dikuburkan kecuali di kuburan khusus kaum muslimin.
3.
Orang yang syahid dikuburkan di tempat di mana mereka meninggal[41].
4.
Disunnahkan seorang muslim dikuburkan di pemakaman khusus kaum muslimin di
kampungnya/ kotanya dengan tidak dimakamkan diluar kota[42].
5.
Diwajibkan untuk mendalamkan, meluaskan dan membaguskan kubur[43].
6.
Disunnahkan untuk membuat lahad/ اللحد , yaitu bagian arah kiblat di
dalam kuburan digali untuk meletakkan jenazah nantinya.
7.
Boleh juga As Syaq/ الشق. Yaitu bagian tengah di dalam
kuburan digali lagi sedikit untuk meletakkan jenazah[44].
8.
Para pengiring tidak diperbolehkan sesuai sunnah untuk duduk/ jongkok
sebelum jenazah diletakkan di liang lahad kuburnya[45].
9.
Yang bertugas untuk menurunkan jenazah ke liang lahadnya adalah para
laki-laki dan tidak diperbolehkan bagi wanita sebagaimana praktek Rasulullah
shallallahu alihi wa sallam dan dengan kesepakatan para ulama.
10. Yang menurunkan jenazah ke liang lahadnya adalah
laki-laki yang tidak berjima’ dengan isterinya pada malam harinya[46].
11.
Diutamakan kalau jenazah perempuan yang menurunkannya adalah suaminya atau
kerabat terdekatnya[47]. Begitu juga pada semua jenazah yang paling berhak atasnya
adalah keluarga terdekatnya. Kalau tidak ada maka dipilih orang yang kita
anggap shaleh[48].
12. Jenazah kemudian diletakkan di lahadnya dengan posisi
menghadap kiblat dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan berada di bagian
bawahnya.
14. Disunnahkan untuk memasukkan jenazah ke kuburnya dari
arah bagian kakinya kalau tidak bisa boleh dari arah kepalanya[50].
15. Ikatan kain kafan mayit kemudian disunnahkan untuk
dilepas[51].
16. Bagian belakang mayit kalau dibutuhkan bisa diganjal
dengan gumpalan tanah atau yang semisalnya supaya tetap dalam keadaan menghadap
kiblat.
17. Mayit kemudian ditutup dengan balok bata, papan atau
yang semisalnya.
18. Orang yang menurunkan mayit ke liang lahadnya kemudian
naik keatas.
19. Para pengantar kemudian membuat 3 (tiga) kepalan tanah
kemudian dilemparkan ke arah bagian kepala mayit[52].
20.
Kubur untuk selanjutnya ditutup/ diratakan dan ditinggikan setinggi satu
jengkal dan tidak boleh lebih[53].
21. Disunnahkan meletakkan sesuatu semisal batu, tonggak
kayu atau yang semisalnya di atas kubur di bagian kepala[54].
22.
Pengantar kemudian masing-masing berdo’a untuk mayit agar bisa menjawab
pertanyaan malaikat dan diampuni serta dirahmati Allah Ta’ala dengan cara
mengangkat kedua tangan sebahu dan menghadap kiblat[55].
23.
Disunnahkan sesekali bagi orang yang dianggap berilmu dari kalangan
pengantar untuk memberikan taushiah singkat mengenai pentingnya mengingat mati[56].
24.
Terakhir, para pengantar kemudian pulang kerumahnya masing-masing.
Beberapa bid’ah-bid’ah dalam prosesi penguburan mayit
adalah :
1.
Dikumandangkannya azan atau qamat ketika mayit akan/ sudah diletakkan di
liang lahad.
2.
Meletakkan jenazah di liang lahadnya dengan peti jenazah.
3.
Dibacakannya talqin oleh salah seorang pengantar yang dianggap pemuka agama
untuk jenazah ketika telah selesainya proses penguburan dengan tujuan jenazah
bisa menjawab pertanyaan malaikat.
4.
Dibacakannya Yasin atau surah Al Quran yang lain setelah jenazah dikuburkan
baik secara sendiri-sendiri apalagi berjama’ah.
5.
Yang mengantar jenazah memakai pakaian yang berwarna hitam-hitam
6.
Meletakkan pelepah kurma/ pelepah kelapa terlebih lagi karangan bunga.
7.
Membangun/ menyemen kuburan.
8.
Menulis batu nisan.
9.
Memberikan lampu beberapa hari di kuburan.
10. Meminta beberapa orang untuk membaca Al Quran di
kuburan selama beberapa hari/ malam dengan tujuan supaya yang di dalam kubur
diampuni dan tidak disiksa.
11.
Adanya acara sambutan-sambutan/ sepatah-dua patah kata dari pihak tertentu
semisal pejabat pemerintahan, petinggi perusahaan atau pemimpin organisasi
keagamaan.
12. Dll.
[1]. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan imam Malik :”Shalatilah jenazah saudara kalian”. Juga
berdasarkan praktek Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat
beliau.
[2] . Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :”Tidak ada
jenazah yang disholatkan oleh 40 (empat puluh) orang kecuali akan diberi
syafa’at/diampuni oleh Allah”. HR. Muslim.
[3] . Dalilnya adalah hadits yang berbunyi :”Tidak ada seorang
muslim yang meninggal kemudian disholatkan oleh tiga shaf (atau lebih) kecuali
pasti akan diampuni oleh Allah”. HR. Abu Daud dari Marsad bin Abdillah Al
Yazany..
[4] . HR. Hakim dan Al Baihaqi dari jalan Abi Thalhah radhiyallahu
anhu.
[5] . Sebagaimana pada pelaksanaan sholat fardhu biasanya (Syaikh
Al Albani, Ahkam Al Janaiz).
[6] . HR. Muslim dari jalan Aisyah radhiyallahu anha.
[7] . HR. Abu Daud, At Turmudzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang
shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani di dalam Ahkam Al Janaiz
hal. 138
[8] . HR. Bukhari dan Muslim secara muttafaq alaihi dari jalan
Samurah bin Jundub radhiyallhu anhu.
[9] . Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi
Hurairah radhiyallahu anhu tentang sholat ghaibnya Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersama shahabatnya untuk Najasyi .Begitu juga hadits riwayat
Muslim dan An Nasai dari jalan Ibnu Abbas tentang sholatnya Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam di kuburan (mayit yang sudah dimakamkan), begitu
juga hadits-hadits lain yang banyak.
[10] . Lima takbir berdasarkan hadits riwayat Muslim : 957 dari
jalan Abdurrahman bin Abi Ya’la, tujuh kali berdasarkan hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh At Tahawy dalam kitabnya Syarh
Ma’ani Al Atsaar : 1/503
[11] . HR. Ad Daruqutni dan Al Baihaqi. Sembilan kali sebagaimana
hadits Abdullah bin Zubair tentang sholat jenazah yang dilakukan
Rasulullah shallallahu alihi wa sallam atas Hamzah radhiyallhu anhu. Untuk
lebih jelasnya lihat Shahih Fiqh As Sunnah, Abu Malik Kamal Sayid Salim
: I/ 653-654.
[12] . Praktek atau perkataan seorang shahabat yang sifatnya mauquf
bisa dijadikan sebagai hujah selama tidak ada shahabat lain yang
mengingkarinya.
[13]. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari
Thalhah bin Abdillah. Mayoritas para ulama berpendapat tidak disunnahkannya membaca
ta’awwudz karena tidak adanya dalil tentang hal ini dan karena sholat jenazah
dimaksudkan seringkas mungkin (Syarhul Mumti’, kitabul Janaiz oleh
Syaikh Al Utsaimin dan Ahkam Al janaiz oleh Syaikh Al Albani
rahimahumallah).
[14] . Berdasarkan hadits riwayat Umamah radhiyallahu anhu
dikeluarkan oleh imam Asy Syafi’i dalam kitabnya Al Umm : 1/270 dan Al
Baihaqi : 4/39 dengan sanad yang shahih sebagaimana diterangkan Al Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah.
[15] . Diantaranya do’a yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari
shahabat Auf bin Malik :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْـجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
“Ya Allah ampunilah ia dan berikan rahmat kepadanya, serta sejahterakanlah ia dan maafkanlah. Muliakanlah tempat kedatangannya dan luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah ia dengan air, salju, dan embum. Bersihkanlah ia dari dosa-dosa sebagaimana Engkau membersihkan kain yang putih dari kotoran. Gantilah baginya dengan rumah yang lebih baik dari rumahnya, dengan keluarga yang lebih baik dari keluarganya, dengan pasangan yang lebih baik dari pasangannya. Masukkanlah ia ke dalam jannah dan lindungilah ia dari adzab kubur dan adzab neraka”. Adapun kalau mayitnya perempuan maka dhamir/ kata gantinya diganti, begitu juga kalau jama’ (Syarhul mumti’ dan Ahkam Al Janaiz).
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْـجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
“Ya Allah ampunilah ia dan berikan rahmat kepadanya, serta sejahterakanlah ia dan maafkanlah. Muliakanlah tempat kedatangannya dan luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah ia dengan air, salju, dan embum. Bersihkanlah ia dari dosa-dosa sebagaimana Engkau membersihkan kain yang putih dari kotoran. Gantilah baginya dengan rumah yang lebih baik dari rumahnya, dengan keluarga yang lebih baik dari keluarganya, dengan pasangan yang lebih baik dari pasangannya. Masukkanlah ia ke dalam jannah dan lindungilah ia dari adzab kubur dan adzab neraka”. Adapun kalau mayitnya perempuan maka dhamir/ kata gantinya diganti, begitu juga kalau jama’ (Syarhul mumti’ dan Ahkam Al Janaiz).
[16] . Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat Umamah
radhiyallahu anhu. Tetapi jikalau imam ingin mengeraskan suara salamnya
untuk diketahui para makmumnya terlebih dalam keadaan banyaknya yang ikut
sholat maka tidak mengapa sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar
radhiyallahu anhu.
[17] . Syarh Al Mumti’, jilid ke-5 kitab Al Janaiz dan Sholat
Al Janazah Syaikh Abdullah Al Jibrin.
[18] . HR. Bukhari dan Muslim secara muttafaq alaihi. Kecuali
syaikh Al Albani beliau menyatakan bahwa hal ini khusus bagi penguasa muslim
atau imam setempat yang tidak sempat menyalati jenazah tersebut sebagaimana
asbabul wurud hadits dalam masalah ini. Wallahu a’lam.
[19] . Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan Abi Hurairah
radhiyallahu anhu. Pendapat diatas sebagaimana yang dipilih oleh imam Ibnu
Taimiyyah, Syaikh Al Albani, Syaikh Al Utsaimin dan Syaikh Abdullah Al Jibrin.
[20] . Ahkam Al Janaiz, Syaikh Al Albani Rahimahullah.
[21] . Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim,
Ahmad dan An Nasai dari jalan Aisyah radhiyallahu anha.
[22] . Dalilnya adalah ketika anak Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam yang bernama Ibrahim yang ketika itu berusia 18 bulan meninggal,
beliau cuma memandikan, mengafankan dan memakamkannya.
[23] . Pendapat inilah yang kuat insya Allah karena
mengkompromikan semua hadits yang diriwayatkan dalam masalah ini. Pendapai
inilah yang dipilih oleh Ibnu Qayyim, Ibnu Hazm dan salah satu pendapat dari
imam Ahmad. Untuk lebih jelasnya lihat Shahih Fiqh As Sunnah :
I/637-638.
[24] . QS. At Taubah : 84 juga At Taubah : 113.
[25] . HR. Muslim
[26] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Abi Hurairah Radhiyallahu
anhu.
[27] . Hal inilah yang rajih yang dipegang oleh imam Ahmad dan
imam Malik rahimahumullah. Juga dipilih oleh syaikh Al Utsaimin, syaikh Al
Albani dan syaikh Al Jibrin.
[28] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Abu Sa’id Al Khaudri
radhiyallahu anhu.
[29] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Abi Hurairah radhiyallahu
anhu.
[30] . Kecuali kalau memang dalam kondisi yang mendesak seperti
misalkan dikuburkan ditempat yang jauh.
[31]. Karena inilah yang telah diamalkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam beserta para shahabatnya sampai saat sekarang ini.
Juga karena akan menimbulkan fitnah dan karena sifat wanita yang umumnya lemah
secara fisik dibandingkan laki-laki. Shahih Fiqh As Sunnah: I/634.
[32] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Ummu Athiyyah
radhiyallahu anha.
[33] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Abi Hurairah radhiyallahu
anhu.
[34] . HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari jalan Anas bin
Malik radhiyallahu anhu.
[35] . HR. Abu Daud, An Nasai, Ahmad dan At Turmudzi.
[36] . HR. Al Baihaqi dan Ibnu Mubarak dalam Az Zuhd dari
Qais bin Ubad.
[37] . HR. Abu Daud, Hakim dan Al Baihaqi dari Abi Hurairah
Radhiyallahu anhu.
[38] . HR. Bkhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
anhu.
[39] .
[40] . HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Thalhah radhiyallahu anhu.
[41] . HR. Ashabus Sunan kecuali Ibnu Majah.
[42] . Supaya cepat prosesnya dan bisa diantar banyak orang dengan
jalan kaki.
[43] . HR. Abu Daud, At Thurmudzi dan An Nasai.
[44] . HR. Ibnu Majah dan Ahmad dari jalan Anas bin Malik
radhiyallahu anhu.
[45] . HR. Bukhari dan Muslim.
[46]. HR. Bukhari dan Ahmad dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu
anhu.
[47] . HR. Abu Daud dan Ahmad. Begitu juga diutamakan keluarga
terdekatnya sebagaimana riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi.
[48] . Tidak asal-asalan sebagaimana yang kita lakukan seperti
ini, bahkan terkadang yang menurunkannya adalah penggali kubur yang kita tidak
tahu bagaimana pengamalan agama dia (hal ini ada ditegaskan dalam kitab Al
Ahkam Al Janaiz)
[49] . HR. Ashabus Sunan kecuali An Nasai.
[50] . HR. Abu Daud dari Abi Ishaq secara marfu’ dengan sanad yang
shahih.
[51] . Berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas’ud secara mauquf
yang memerintahkan hal yang demikian dikeluarkan oleh Al Atsram, hal
serupa juga diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari. Inilah yang dipilih
oleh imam Ahmad dan imam Syafi’i juga syaikh Abdul Aziz bin Baz dan syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
[52] . HR. Ibnu Majah dari Abi Hurairah dengan sanad yang shahih.
[53] . HR. Bukhari dari Sofyan At Tammar.
[54] . HR. Abu Daud dan Al Baihaqi dari shahabat
Muthallibradhiyallahu anhu..
[55] . HR. Baihaqi, Abu Daud, dan Ahmad dari shahabat ‘Ustman bin
Affan.
[56]http://stitattaqwa.blogspot.com/2012/04/panduan-praktis-pengurusan-jenazah 2.html?showComment=1333416850761#c1854075536400207764
Tidak ada komentar:
Posting Komentar