HUKUM
ORANG BERBUAT ZINA
Soal: Di
daerah tempat saya tinggal, ada orang (Mukhson) yang pernah berbuat maksiyat
perzinaan, namun waktu disidang di tingkat RT/RW, dia mengaku salah dan ingin
bertobat dan sekarang ia rajin sekali ibadah di masjid. Namun ternyata
perzinaan itu diulang lagi, konon menurut pengakuan korban beberapa kali. Orang
itu tidak mengakui perbuatannya, sebelumnya pernah tanda tangan berjanji untuk
tidak mengulanginya. Tapi sang korban (familinya sendiri yang sejak kecil
dinafkahi si pelaku) bersaksi dan membeberkan bukti visum dokter. Saat ini
orang tersebut dianggap cukup meresahkan warga walaupun aktif di masjid tapi
oleh warga dikucilkan bahkan hampir diusir.
1) Bagaimana solusi Islami terhadap kasus ini?
2) Bagaimana menghukumi seorang pezina dizaman sekarang yang tidak ada
Kholifah (Daulah Islam yang berwenang)?
3) Bagaimana kaifiyat menghakimi pezina dalam peradilan Islam?
4) Bagaimana bila saksi tidak ada atau kurang dari 4 orang, tapi ada
pengakuan korban?
5) Bagaimana menurut Syariah, kalau warga masyarakat memberikan hukuman
dengan mengucilkan (tidak ditanya/tidak dilibatkan di masyarakat) atau
mengusirnya?
6) Bagaimana hukumnya kalau pelaku zina kemudian dinikahkan?
Jawab: 1. Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah)
yang dikatagorikan hukuman hudud. Yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan
maksiat yang menjadi hak Allah SWT, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak
memaafkan kemaksiatan tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan
dengannya. Berdasarkan Qs. an-Nuur [24]: 2, pelaku perzinaan, baik
laki-laki maupun perempuan harus dihukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali.
Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhson (pernah menikah), sebagaimana
ketentuan hadits Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam.
2. Yang memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah Islamiyyah)
atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Jika sekarang tidak ada khalifah, yang
dilakukan bukan menghukum pelaku perzinaan itu, namun harus berjuang menegakkan
Daulah Khilafah terlebih dahulu.
3. Yang berhak memutuskan perkara-perkara pelanggaran hukum adalah qadhi (hakim)
dalam mahkamah (pengadilan). Tentu saja, dalam memutuskan
perkara tersebut qadhi itu harus merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’.
Yang harus dilakukan pertama kali oleh qadhi adalah melakukan pembuktian:
benarkah pelanggaran hukum itu benar-benar telah terjadi. Dalam Islam, ada
empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yakni: (1) saksi, (2) sumpah, (3)
pengakuan, dan (4) dokumen atau bukti tulisan. Dalam kasus perzinaan,
pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang dan
pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat orang, didasarkan Qs. an-Nuur
[24]: 4.
Sedangkan pengakuan pelaku, didasarkan beberapa hadits Nabi saw. Ma’iz bin
al-Aslami, sahabat Rasulullah Saw dan seorang wanita dari al-Ghamidiyyah
dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya mengaku telah berzina. Di samping kedua
bukti tersebut, berdasarkan Qs. an-Nuur: 6-10, ada hukum khusus
bagi suami yang menuduh isterinya berzina. Menurut ketetapan ayat tersebut
seorang suami yang menuduh isterinya berzina sementara ia tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi, ia dapat menggunakan sumpah sebagai buktinya.
Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa dia termasuk
orang-orang yang benar, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa lanat Allah
SWT atas dirinya jika ia termasuk yang berdusta, maka ucapan sumpah itu dapat
mengharuskan isterinya dijatuhi hukuman rajam. Namun demikian, jika isterinya juga
berani bersumpah sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya termasuk
orang-orang yang berdusta, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa bahwa
lanat Allah SWT atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar,
dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika ini terjadi, keduanya
dipisahkan dari status suami isteri, dan tidak boleh menikah selamanya. Inilah
yang dikenal dengan li’an.
4. Karena syaratnya harus ada empat orang saksi, seseorang tidak dapat
dijatuhi hukuman. Pengakuan dari salah satu pihak tidak dapat menyeret pihak
lainnya untuk dihukum. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah diceritakan bahwa ada seorang budak laki-laki yang masih bujang
mengaku telah berzina dengan tuannya perempuan. Kepada dia, Rasulullah
menetapkan hukuman seratus camnukan dan diasingkan selama satu tahun. Namun
demikian Rasulullah Saw tidak secara otomatis juga menghukum wanitanya.
Rasulullah Saw memerintahkan Unais (salah seorang sahabat) untuk menemui wanita
tersebut, jika ia mengaku ia baru diterapkan hukuman rajam (lihatBulugh
al-Maram bab Hudud). Hasil visum dokter juga tidak
dapat dijadikan sebagai bukti perbuatan zina. Hasil visum itu dapat dijadikan
sebagai petunjuk saja.
5. Tuduhan perzinaan
harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti di atas. Tidak boleh menuduh
seseorang melakukan zina, tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi.
6. Berzina termasuk perbuatan kriminal yang harus dihukum. Jenis
hukumannya hanya ada dua, yakni jilid dan rajam. Bagi pezina ghaoiru muhson
yang dijatuhi hukuman jilid, bisa saja mereka dinikahkan setelah menjalani
hukuman. Al-Qur’an dalam Qs. an-Nuur [24]: 3memberikan kebolehan
bagi pezina untuk menikah dengan sesama pezina. Tentu saja, ini berbeda dengan
pezina muhson yang dijatuhi hukuman rajam hingga mati, kesempatan untuk menikah
bisa dikatakan hampir tidak ada. [Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar