23 Desember 2011

Apa itu Qiraat Al-Qur'an??




PENDAHULUAN

Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,  di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan mu`amalah manusia sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya, yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram suatu perbuatan atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini, pengetahuan bahasa arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat  telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an dapat juga dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.


QIRAAT  AL - QUR’AN

            Qiraat menurut bahasa adalah jama’ dari kata qiraah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia adalah mashdar (verbal noun) dari kata qaraa. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan Al Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan yang lain.
            Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ary dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.
            Pada permulaan abad pertama hijrah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan yang menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaiman yang mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada merekalah dihubungkan (dinisbahkan) qiraat hingga saat ini. Ketujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qiraat di seluruh dunia di antara nama-nama tersebut ialah Abu Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah, Al Kisa’i, Ibn ‘Amir dan Ibn Katsir.
            Qiraat-qiraat itu bukanlah merupakan qiraat tujuh huruf (lahjah). Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan madzhab bacaan qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan umat hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, idzhar, isyba’ madd, qashr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semua itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.
            Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yang telah di jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada masa pembacaan terakhir (al Urdah al Akhirah), yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat pada masa Utsman terdorong untuk mempersatukan umat Islam pada satu huruf, yaitu huruf Quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut.

Pembagian  Qira’at  dan Macam-macamnya
1.    Qira’at Mutawatir
Qira’at Mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara   mereka untuk berbuat kebohongan.
Contoh untuk qira’at mutawatir ini ialah qira’at yang telah disepakati jalan perawiannya dari imam Qiraat Sab’ah.
2. Qira’at Masyhur
Qira’at Masyhur adalah qira’at yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta qira’at -nya sesuai dengan salah satu rasam Usmani baik qira’at itu dari para imam qira’at  sab’ah, atau imam Qira’at ’asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima qira’at -nya dan dikenal di kalangan ahli qira’at bahwa qira’at itu tidak salah dan tidak syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada derajat Mutawatir.
Misalnya ialah qira’at yang diperselisihkan perawiannya dari imam qira’at Sab’ah, dimana sebagian ulama mengatakan bahwa qira’at itu dirawikan dari salah satu imam qira’at Sab’ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka.
Dua macam qira’at di atas, yaitu qira’at Mutawatir dan qira’at Masyhur, dipakai untuk membaca al-Qur’an, baik dalam shalat maupun diluar shalat, dan wajib meyakini ke-Qur’an-annya serta tidak boleh mengingkarinya sedikitpun.
3.  Q ira’at Ahad
Qira’at  Ahad adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam Utsmani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan imam qiraat.
Qira’at  Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya sebagai al-Qur’an.
4. Qira’at  Syadzah
Qira’at  Syazah adalah qira’at yang cacat sanadnya dan tidak bersambung  sampai kepada Rasulullah SAW.
5. Qira’at Maudlu’
Qira’at Maudu’ adalah qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa mempunyai dasar periwayatan sama sekali.
6.  Qira’at Syabih bil Mudraj
Qiraat Sabih bil Mudraj adalah qira’at yang menyerupai kelompok Mudraj dalam hadis, yakni qira’at yang telah memperoleh sisipan atau tambahan kalimat yang merupakan tafsir dari ayat tersebut.

Manfaat Perbedaan Qira’at
Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1.   Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2.    Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3.   Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9. Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4.   Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qiraat menunjukkan suatu hukum syar’i tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
5.   Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20.
وإذا رأيت ثَمّ رأيت نعيماً و مُلْكًا كبيراً
Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di akhirat nanti. 

Syarat-Syarat Sahnya Qiraat
Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qira’at. yaitu :
1.      Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2.      Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3.      Shahih sanadnya.
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi  qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qira’at yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu.
Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.

Pengaruh Qira’at Terhadap  Istimbat  Hukum
Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz  tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum, dan adakalanya tidak.
1.    Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum.
Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at   (  لامَسْتُمْ ) membantu penafsiran dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam  Q.S Al-Nisa’  (4): 43.
Terjemahnya:
"….. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya  Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) salah satu golongan membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) sedangkan golongan yang lainnya membaca (لمَسْتُمْ النِّسَاءَ).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (لامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (لامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (لامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas, al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.
Ada sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan (لمَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan  maksud  dari (لَامَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat sholat tanpa berwudhu lagi. Jadi  yang  dimaksud  dengan   kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at  (لمستم), makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.  

2.    Perbedaan  Qiraat  yang  Tidak  Berpengaruh  terhadap  Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap  istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraikan oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (قَبْلِ مِنْ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ  أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
  
3. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya qira’at mutawatir dan  masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat  Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qira`at Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qira’at Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1.    Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ  فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا

Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..

Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا 
2.    Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:
    فَمَنْ لَمْ يَجِد فَصِيَام    ثَلَاثَةِ أَيَّام متتابعات ٍ
Artinya :
………. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya  puasa selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
    فَمَنْ لَمْ يَجِد فَصِيَام ثَلَاثَةِ أَيَّام
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal  yang sangat baik.
Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut : “Jika penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar, yang kemudian menjadi bagian dari qiraat al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat.

Qari` tujuh yang masyhur
Semua qira’at yang mutawatir dikutip dari para qari’ yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannyamereka adalah imam-imam qira’at yang masyhur yang menyampaikan qiraa’at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat RasulSAW. Dan tujuh orang yang masyhur diantaranya adalah :
1.      Ibnu Amir
Nama lengkapnnya adalah Abdullah Al-Yashubi, seorang qadli di Damaskus pada masa pemerintahan Al Walid bin Abdul Malik. Panggilannya adalah Abu Imran. Dia seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Mahzumi yang mana Al-Mughirah belajar dari Usman bin Affan dan kemudian dari Rasulullah SAW. Ia wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi muridnya dalam qira’at adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
2.      Ibnu Katsir
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir Ad-Dari Al-Makki. Ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah. Ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama Abdullah Ibnu Jubair, Abu Ayyub Al-Anshari dan Anas bin Malik. Ia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan peserusnya adalah Al-Bazi (wafat pada tahun 250 H) dan Qunbul (wafat pada tahun 291 H)
3.      Ashim Al-Kufi
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin  Abu al-Nujud. Ada yang mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah nama panggilannya. Nama panggilan ‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar, ia masih tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 127 H. Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Syu’bah (w.193 H) dan Hafs (w. 180H).
4.      Abu Amr
Nama lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi al-Bashr. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Beliau adalah imam Bashrah sekaligus ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir di Mekkah tahun 70 H, besar di Bashrah, kemudian bersama ayahnya berangkat ke Makkah dan Madinah. Wafat di Kufah pada tahun 154 H. Beliau belajar qira’at dari Abu Ja’far, Syaibah bin Nasah, Nafi’ bin Abu Nu’aim, Abdullah ibn Kasir, ‘Ashim bin Abu al-Nujud dan Abu al-‘aliyah. Abu al-‘Aliyah menerimanya dari Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Abbas. Keempat Sahabat ini menerima qira’at langsung dari Rasulullah SAW.
5.      Hamzah Al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi. Beliau adalah imam qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H., wafat pada tahun 156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.Beliau belajar dan mengambil qiraat dari Abu Hamzah Hamran bin A’yun, Abu Ishaq ‘Amr bin Abdullah al-Sabi’I, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Ya’la, Abu Muhammad Talhah bin Mashraf al-Yamani dan Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainul ‘Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib serta Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW. Di antara para muridnya yang menjadi perawi qira’at -nya yang terkenal adalah Khalaf  (w. 150 H) dan Khallad (w. 229 H).
6.      Imam Nafi’
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi, maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di Madinah pada tahun 177 H.Ia mempelajari qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi; mereka semua menerima qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah.
7.      Al-Kisa’i
Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al-Nahwi. Nama panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai melakukan ihram di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.Beliau mengambil qira’at dari banyak ulama. Diantaranya adalah Hamzah bin Habib al-Zayyat, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laia, ‘Ashim bin Abun Nujud, Abu Bakar bin’Ilyasy dan Ismail bin Ja’far yang menerimanya dari Syaibah bin Nashah (guru Imam Nafi’ al-Madani), mereka semua mempunyai sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.




PUSTAKA

·         Manna Khalil al – Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur`an, Jakarta, PT. Litera Antar Nusa, 1994.
·         Prof. dr. Muhammad Ali Ash-Shaabuniy, Studi ilmu Al Qur`an, Bandung, Pustaka Setia, 1998.
·         http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My New Style

My New Style

My Family

My Family
Miyya Kak Cintha and Family

Prambanan In Action

Prambanan In Action

Kakak Miya

Kakak Miya

PKN STAIMUS 2013

PKN STAIMUS 2013
Mahasiswa PKN dan Peserta Lomba TPQ

PKN 2013 STAIMUS

PKN 2013 STAIMUS


Entri Populer