10 November 2012

Resume Tarikh Tasyri' Islam



BAB  I
PENDAHULUAN

A.   Pengertian Tarikh Tasyi’ Islam
Secara etimologi, tarikh dalam Arab berarti buku tahunan, perhitungan tahun, buku riwayat, atau sejarah. Dalam bahasa Inggris, tarikh diterjemahkan history, yang berarti pengalaman masa lampu umat manusia, the past expreience of mankids. Pengertian selanjutnya, tarikh bermakna sejarah sebagai catatan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau yang diabdikan dalam laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Dengan demikian, tarikh merupakan pembahasan segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan kronologis.
Tasyri’, secara etimologi, berarti pembuatan undang-undang atau peraturan-peraturan (taqnin). Secara terminologis, tasyi’ adalah penetapan peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan penyususnan perundang-undangan. Menurut batasan ini, tasyi’ merupakan produk ijtihad manusia dalam proses pembentukan perundangan-perundangan (fikh).
Kata tasyri’ sendiri berasal dari kata syari’at. Syari’at sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Sya’ban Isma’il adalah apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya berupa hukum-hukum, baik hukum keyakinan (‘aqdidiyyah), hukum amaliyah maupun hukum akhlak. Dengan demikian, syariat merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada Nabi Muhammad bagi manusia yang mencakup keyakinan (‘aqaid), perbuatan (‘amaliah), dan akhlak.
Adapun tarikh tasyri’ Islam, seperti dikemukakan Ali Al-Sayyis, adalah ilmu yang membahas keadaan hukum-hukum (fiqh) pada masa Nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan periodesasinya yang padanya berkembang hukum itu, menjelaskan karakteristiknya (naskh, takhshish, dan sebagainya), juga keadaan fuqaha dan mujtahidin, serta merumuskan hukum-hukum-hukum itu.
Menurut batasan di atas, tampak bahwa tarikh tasyri’ Islam merupakan pembahasan tentang segala aktivitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam di masa lampau, baik masa Nabi, sahabat maupun tabi’in (para mujtahid) sampai sekarang, secara sistematis dan kronologis.


B.   Ruang Lingkup Pembahasan Tarikh Tasyi’ Islam
1.     Sumber Tasyri’ Islam
Secara garis besar, sumber tasyri’ Islam terbagi dua bagian, yaitu tasyri’ yang bersumber dari Allah (al-tasyri’ al’ilahiy) dan tasyri’ yang bersumber dari manusia (al-tasyri’ al-wadh’iy). Tasyri’ pertama merupakan peraturan yang ditetapkan Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sedangkan tasyri’ kedua merupakan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh para mujtahid, baik mujtahid sahabat maupun mujtahid tabi’in atau para pengikut tabi’in dan seterusnya, dengan cara mengistinbath dari tasyri’ ilahi.
Sumber tasyri’ kedua dibagi menjadi ibadah dan muamalah. Ibadah adalah tasyri’ Islam yang membahas hubungan manusia secara vertikal dengan Allah, sedangkan muamalah adalah tasyri’ Islam yang membahas hubungan manusia secara horizontal dengan manusia lainnya. Ulama Hanafiyah membaginya kepala tiga bagian, yaitu ibadah, muamalah, dan ‘uqubah. Adapun ulama Syafi’iyah membaginya kepada empat bagian: ibadah, muamalah, munakahah, dan ‘uqubah.

2.     Prinsip-prinsip Tasyri’ Islam
a.     Menegakkan Maslahat
Tasyri’ Islam benar-benar memperhatikan kemaslahatan manusia. Maslahat dapat diartikan perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Maslahat merupakan dasar yang dikembangkan dalam hukum dan perundangan Islam. Ia memiliki landasan yang kuat dalam Al Qur’an (Q.S. Al-Anbiya : 107) dan Al Sunnah, diantaranya hadist yang diriwayatkan oleh Al Daruquthni dan Hakim dari Abi Sa’id: “tidak boleh menyulitkan orang-orang lain dan tidak boleh pula disulitkan orang lain.
Secara umum, maslahat dibagi tiga: maslahat mu’tabarah, maslahat mulghah, dan maslahat mursalah. Maslahat mu’tabarah dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan: dharuriyyah (primer), hajiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Kandungan maslahat dharuriyyah ada lima tujuan agama (maqashid al-syari’ah), yaitu pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs), pemeriharaan akal (hifzh al-‘aql), dan pemeliharaan harta (hifzh al-mal).
Maslahat tahsiniyyah adalah sesuatu yang mengandung manfaat bagi manusia, tetapi tidak tergolong pokok, seperti nikah, bagi laki-laki dan belum ba’at yang dianjurkan Nabi untuk berpuasa. Maslahat mulghah adalah suatu perbuatan yang didalamnya terkandung manfaat, tetapi dalam syara’ tidak ditetapkan secara pasti.
Maslahat mursalah adalah sesuatu yang bermanfaat, tetapi tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Misalnya, memerangi umat Islam yang enggan membayar zakat.
b.     Menegakkan Keadilan (Tahqiq Al-Adalah)
Dalam pandangan Islam, manusia itu sama, tidak ada kelebihan antara satu dan yang lainnya karena faktor keturunan, kekayaan, atau kedudukan. Hukum Islam pun memperlakukan manusia secara sama dalam menghadapi keadilan.
Dalam beberapa ayat Al Qur’an dijumpai perintah untuk perilaku adil, di antaranya dalam surat Al Maidah ayat 5: “Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada takqa...”, surah Al Nahl ayat 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan...”.
c.      Tidak          Menyulitkan (‘Adam Al-Haraj)
Al haraj memiliki beberapa arti, di antaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Secara terminologi, al-haraj adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa, atau harta seseorang secara berlebihan, baik sekarang maupun di kemudian hari.
Meringankan hukum-hukum itu bisa dengan beberapa cara, yaitu sebagai berikut :
1.     Pengguguran kewajiban
2.     Pengurangan kadar yang telah ditentukan
3.     Penukaran
4.     Mendahulukan
5.     Mengangguhkan
6.     Perubahan
d.     Menyedikitkan beban (Taqlil Al-Taklit)
Secara etimologi, taklif berarti beban. Secara terminologis taklit adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga dipandang taat, dan tuntutan untuk menjahui cegahan Allah. Dengan demikian, yang dimaksud menyedikitkan beban adalah menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Pertimbangan menyedikitkan beban ini didasarkan pada surat Al-Maidah ayat 101.
e.      Berangsur-angsur (Al Tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara tertahap dan didasarkan pada Al-Qur’an yang diturunkan secara bertahap pula. Salat, misalnya pada awalnya diperintahkan pada dua waktu saja, yaitu pagi dan sore (Q.S. Hud: 114), kemudian dalam tiga waktu (Q.S. Al-Isra’: 78), akhirnya berdasarkan hadits fi’li yang mutawatir salat wajib dilakukan lima kali dalam sehari semalam.

C.   PERIODESASI (PERKEMBANGAN) TASYRI’ ISLAM
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan periodesasi tasyri’ Islam. Di antara para sejarahwan yang menentukan periodisasi tasyri’ Islam adalah Khudhari Beik, Abd Al-Wahhab Khalaf, Mushthafa Sa’id Al-Khin, Sulaeman Al-‘Asyqar dan ‘Ali Al-Sayis.
Periodesasi tasyri’ Islam mengikuti periodesasi yang dikemukakan Al-Sayis. Tarikh tasyri’ Islam, menurutnya mencakup tasyri’ masa Rasulullah, tasyri’ masa khulafa, tasyri’ masa pasca khulafa hingga awal abad kedua Hijrah, tasyri’ masa awal abad kedua hijrah hingga pertengahan abad keempat Hijrah, tasyri’ masa pertengahan abad keempat hingga kehancuran Bagdad, dan tasyri’ masa kebangkitan (sekarang).














BAB II
TASYRI’ ISLAM PADA MASA RASULULLAH

A.   Masyarakat Arab Sebelum Islam
Bangsa arab pra-Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis Arab yang strategis, membuat Islam mudah tersebar ke berbagai wilayah. Hal lain yang mendorng cepat lajunya perluasan wilayah karena berbagai upaya yang dilakukan umat Islam.
Ada beberapa ciri utama tatanan bagsa Arab pra-Islam, di antaranya (1) menganut paham kesukuan (qabilah); (2) memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas; faktor keturunan lebih penting ketimbang kemampuan, (3) mengenai heirarki sosial yang kuat, (4) kedudukan perempuan cenderung direndahkan.
Dalam aspek akidah, orang arab pra-Islam percaya  kepada Allah sebagai pencipta (Q.S. Luqman; 25 dan Q.S. Al-Ankabut; 63). Sumber kepercayaan itu adalah risalah samawiyah yang dikembangkan dan disebarluaskan di jazirah Arab, terutama risalah Ibrahim dan Ismail. Namun, mereka kemudian melakukan penyimpangan terhadap agamanya sehingga menjadikan berhala (ashnam), pepohonan, binatang, dan jin sebagai penyerta Allah, syirk (Q.S. Al-Anam; 100) demi kepentingan ibadah, bangsa Arab pra-Islam membuat 360 buah berhala di sekitar Kabah karena setiap kabilah memiliki berhala masing-masing. Mereka pada umumnya tidak percaya pada hari kiamat dan tidak percaya pada kebangkitan setelah mati (Q.S. Al-Mukminun; 27). Meskipun pada umumnya mereka melakukan penyimpangan, ada sebagaian kecil bangsa Arab masih mempertahankan akidah monoteisme (tauhid) seperti yang diajarkan ibrahim (Al-Hunafa). Di antaranya meraka itu, misalnya, Umar bin Nufail dan Zuhair bin Abi Sulma.
Dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di antaranya istibdla, poliandri, maqthu’, badal dan syighar.
Dilihat dari sumber yang digunakan, hukum Arab pra-Islam bersumber kepada adat istiadat. Dalam bidang muamalah, di antara kebiasaan mera adalah dibolehkannya transaksi barter (mubadalah), jual beli, kerja sama pertanian (muzara’ah), dan riba. Di samping itu, di kalangan meraka juga terdapat jual beli yang bersifat spekulatif, seperti ba’i al-munabadzah.

B.   Tasyri’ Periode Mekah dan Madinah
Tasyri’ masa Nabi dapat dibedakan dalam dua fase, yaitu fase Mekah dan fase Madinah. Fase Mekah di mulai sejak Nabi Muhammad menetap dan berkedudukan di Mekah yang lamanya sekitar 12 tahun dan diangkat menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah.
Periode Madinah di mulai sejak Nabi hijrah ke Madinah di sini beliau tinggal selama 10 tahun hingga wafatnya.pada periode ini umat Islam tidak lagi lemah karena jumlahnya banyak dan berkualitas. Mereka mengeliminasi permusuhan dalam rangka mengesakan Allah. Mereka juga mengajak pengamatan syariat Islam dalam rangka memperbaiki hidup bermanfaat serta membentuk aturan damai dan perang.

C.   Sumber Tasyri’ pada Masa Rasulullah
1.     Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang di-nuzulkan kepada Nabi Muhammad yang dinukil secara mutawatir, dan dipandang beribadah membacanya. Al-Qur’an memuat hukum-hukum yang mencakup hukum keyakinan (ahkam I’tiqadiyyah), hukum akhlak (ahkam khulqiyyah), dan hukum amaliah (ahkam ‘amaliyyah).
Adapun hukum muamalah, menurut Abd Al-Wahab Khalaf, mencakup hal-hal berikut :
a.     Hukum Keluarga (al-ahwan al-syakhsiyyah)
b.     Hukum kebendaan (ahkam al-madaniyyah)
c.      Hukum jinayah (ahkam jinaiyyah)
d.     Lembaga peradilan (ahkam al-murafa’at)
e.      Hukum perundang-undangan (ahkam al-dusturiyyah)
f.       Hukum negara (al-ahkam al-dawliyyah)
g.     Hukum negara (al-ahkam al-dawliyyah)
h.     Hukum ekonomi (al-ahkam al-iqtishaaiyya wa al-maliyyah)



2.     Al-Sunnah
Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang disadarkan (udhifa) kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir)-Nya. As-Sunnah dari segi bentuknya dibagi menjadi tiga bagian : Sunnah Qauliyyah, Sunnah fi’liyyah dan Sunnah taqririyyah.

D.   Ijtihad pada Masa Rasulullah
Para ulama berbeda pendapat mengenai Ijtihad Nabi yang tidak berdasarkan wahyu. Asy ariyyah dan mayoritas Mu’tazilah berpendapat, Rasulullah tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada nash (halal dan haram). Menurut ulama hadits dan ulama ushul, Rasulullah dibolehkan melakukan ijtihad dalam mengahdapi hukum-hukum yang tidak ada nash atau wahyunya.




















BAB III
TASYRI ISLAM PADA MASA
SAHABAT GENERASI PERTAMA (KHULAFA RASYIDUN)

A.   Pengaruh Fatwa terhadap Perkembangan Hukum
Setelah Rasulullah wafat, para sahabatlah yang meneruskan ajaran dan misi kerasula. Abu Bakar, secara aklamasi, diangkat menjadi khalifah pertama. Pada awal pemerintahnya. Ia telah menghadapi masalah berupa pemberontakan dari beberapa federasi (suku) Arab yang berusaha memberontak terhadap umat Islam, khususnya terhadap pemerintah sah Abu Bakar. Karena hubatnya pemberontakan itu, ada sebagian federasi di Arabia yang melepaskan diri dari Islam (al-riddah), ada juga sebagian masyarakat yang masih memeluk Islam, tetapi enggan membayar zakat. Dalam pandangan Abu Bakar, pemberontakan itu dapat menganggu stabilitas pemerintah. Berdasarkan itu, ia mengirim pasukannya untuk memerangi mereka. Dalam sejarah, pertempuran ini dikenal sebagai Perang Riddah.
B.   Perbedaan pendapat di Kalangan Sahabat
Perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang berhubungan langsung dengan Al-Qur’an adalah watak bahasa Arab yang mengandung makna ganda. Penyebab kedua dikarenakan ada dua ketentuan yang disebabkan oleh dua sebab yang berbeda, tetapi tidak diantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab tersebut.
Perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Al-Sunnah, di antaranya dikarenakan tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Al-Sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaan Sunnahnya cukup luas, ada yang sedikit. Ada sebab lainnya karena sahabat berbeda pendapat dalam menakwilkan Al-Sunnah. Perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan sahabat disebabkan oleh penggunaan ra’y.
C.   Perkembangan Fatwa Sahabat
Abu Bakar, sebagai khalifah pertama melakukan ijtihad berikut. Pertama, berhubungan dengan harta peninggalan Nabi Muhammad. Dalam Al-Qur’an ahli waris dapat menerima warisan jika yang mewariskan meninggalkan harta (Q.S Al-Nisa: 4).
Kedua, berkenaan dengan seorang nenek yang datang kepada Abu Bakar dan bertanya tentang kadar bagian yang dapat diterimanya dalam salah satu pembagian warisan.
Khalifah kedua, umar dikenal sebagai sahabat yang banyak melakukan ijtihad dan sangat hati-hati dalam menerima hadits.
Khalifah ketiga, Utsman bin ‘Affan, juga berijtihad. Diantara pendapatnya, istri yang dicerai suaminya yang sedang sakit dan suaminya itu meninggal dunia karena sakitnya, mendapatkan harta pustaka, baik si istri dalam masa tunggu (‘iddah) maupun tidak.
Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib melakukan ijtihad dalam hal-hal berikut. Larangan meminum khamar yang keharamannya ditetapkan secara bertahap. Pada awalnya dinyatakan bahwa khamar lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya (Q.S. Al-Baqarah :29). Larangan kedua menyatakan bahwa orang mabuk dilarang melakukan shalat (Q.S. An-Nisa :43)
Demikianlah perkembangan tasyri’ pada masa Khulafa’ Rasyidan. Berbeda dimasa Nabi Muhammad pada masa Khulafa’ Rasyidan ini permasalahan hukum semakin banyak seiring dengan semakin banyaknya penganut Islam di berbagai penjuru dunia.
















BAB IV
TASYRI’ PADA MASA SAHABAT
GENERASI KEDUA
(BANI UMAYYAH/ 661-750 M)


A.   Keadaan Sosial Masyarakat Islam
1.     Sistem Pemerintahan
Setelah masa khulafa’ Rasyidan berarkir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau sahabat generasi kedua yang memerintahkannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Kepala pemerintahannya dipimpin Muawiyyah setelah ia berhasil mengalahkan rival beratnya, Ali bin Abi Thalib. Keberhasilan Muawiyyah menjadi nomer satu di pemerintahan tidak lepas dari kelihaiannya mengadu strategi dengan pihak Ali.
Mereka memisahkan diri dan tidak mendukung Ali lagi. Dalam sejarah kelompok ini dikenal dengan sebutan Khawarij.
Pemerintahan Bani Umayyah menggunakan sistem monarkhi (kerajaan) menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang bersifat kekhalifahan. Perubahan sistem pemerintahan ini merupakan masalah baru bagi umat Islam, sebab pada pemerintahan Bani Umayyah ini telah dikenal putra mahkota yang akan menggantikan kepala negara secara turun-temurun. Umat Islam saat itu paling tidak terpecah menjadi tiga kelompok: Khawarij sebagai penentang, Ali: Syi’ah sebagai pendukung setia Ali; dan kelompok mayoritas (jumhur).

2.     Perluasan atau Ekspansi Wilayah Islam
Langkah awal yang dilakukan Muawiyyah dalam menjalankan pemerintahannya yaitu memindahkan pusat pendidikan dari Madinah ke Damaskus.

3.     Perbedaan Penggunaan Ra’y
Pada masa Tabi’in ini para ulama dibedakan menjadi dua aliran, yaitu Ahl Al-Hadits (Madrasah Al-Madinah) dan Ahl Al-Ra’y (Madrasah Al-Kufah). Ahl Al-Hadits adalah golongan yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan Ra’y. Aliran ini dipelopori oleh Sa’id bin Al-Musayyab (wafat th 93 H). Salah seorang imam Ahl Al-Hadits, Imam Malik, berpendapat, bahwa Ijma’ penduduk Madinah merupakan Hujjah yang wajib diikuti. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terpecah menjadi empat aliran : Malikiah (pengikut imam Malik), Syafi’iah (pengikut Imam Syafi]i), Hanbaliah (pengikut Ahmad ibn Hanbal), dan Hanafiah (pengikut imam Abu Hanifah). Bahkan ada yang menganggap Zhahiriah sebagai aliran Ahl Al-Hadits.

B.   Sumber Tasyri’ pada Masa ini
Dengan demikian, sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al Sunnah, Ijma’ (qaul) sahabat, dan ijtihad.

C.   Ijtihad pada Masa ini
Ada tiga aliran dalam pemikiran hukum Islam yang akan dibahas dalam tulisan ini, Khawatrij, Syi’ah dan Jumhur. Ketiga aliran ini memberikan kontribusi dalam perkembangan pemikiran hukum Islam.
1.     Pemikiran Hukum Islam Khawarid
a.     Pemikiran Jumhur (Sunni) di antaranya bahwa kepemimpinan mesti di pegang oleh  Quraisy;
b.     Dalam Al-Qur’an terdapat sangsi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk (al-jild) seratus kali (Q.S. An-Nur : 2).
c.      Dalam Al-Qur’an terdapat perincian tentang perempuan yang haram dinikahi, di antaranya anak perempuan (banat) (Q.S An-Nisa: 23-24)
d.     Khawarij pada umumnya berpendapat bahwa menikah dengan perempuan yang tidak termasuk sekte Khawarij tidak sah, sebab mereka dianggap kafir.
e.      Ketika terjadi perang antara kelompok Khawarij dan umat Islam yang boleh dijadikan ghaninah, menurut Ibadiyah, hanyalah senjata dan kuda.

2.     Pemikiran Hukum Islam Syiah
Menurut Syi’an sumber hukum Islam, secara umum, ada dua yaitu Al-Qur’an dan Al Sunnah. Mereka menolak ijma’ secara umum, kecuali mengambil pendapat dari para imam mereka. Mereka juga menolak qiyas sebagai bagian dari ra’y, karena menurut mereka, agama bukan diambil dari ra’y.
Al-Qur’an dalam pandangan mereka ada dua makna, yaitu lahir dan batin. Makna batin Al-Qur’an hanya diketahui oleh Imam. Adapun Al-Sunnah, menurut mereka, dapat dibedakan menjadi empat, yaitu hadits shahih (otentik), hadis hasan (baik), hadits mutsaq (kuat). Dan hadist dla’if (lemah).

3.     Pemikiran Hukum Islam Jumhur
Ada beberapa pemikiran hukum yang dikemukakan Jumhur.
a.     Penolakan terhadap keabsahan nikah mut’ah. Menurut jumhur Sunni, nikah mut’ah haram hukumnya dilakukan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Umar bin Khadab.
b.     Jumhur menggunakan konsep ‘aul dalam pembagian harta warisan. Dalam hal ini, pendapat mereka sejalan dengan Umar, Zaid bin Tsabit, dan Abbas Abd Muthalib.
c.      Nabi Muhammad tidak dapat mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan: “Kami, seluruh Nabi, tidak mewariskan harta; harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah.
d.     Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode sampai empat orang sebagai penafsiran atas surat An-Nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim. Ayat dan hadits tersebut pada dasarnya merupakan pembentukan hukum Islam secara bertahab.









BAB V
TASYRI’ PADA MASA AWAL ABAD
KEDUA HIJRAH SAMPAI PERTENGAHAN ABAD KEEMPAT
(DAULSH ABBASIAH/750-1258 M)

Pemerintah Islam pasca keruntuhan Daulah Umayyah segera digantikan oleh Daulah Abbasiah. Masa Abbasiah ini disebut juga masa Mujahidin dan masa pembukuan fikih, karena pada masa ini terjadi pembekuan dan penyempurnaan fikih. Pada masa Abbasiyyah, yang dimulai dari pertengahan adab ke-2 H sampai peretngahan abad ke-4 ini, muncul usaha-usaha pembukuan Al-Sunnah, fatwa-fatwa sahabat, dan tabi’in dalam bidang fikih, tafsir, ushul al-fiqh. Pada masa ini pada lahir para tokok dalam istinbat dan perundangan-undangan Islam.
Masa ini disebut Masa Keemasan Islam yang ditandai dengan berkembangannya ilmu pengetahuan yang pengaruhnya dapat dirasakan hingga sekarang. Pada masa ini muncul pula mazhab-mazhab fikih yang banyak mempengaruhi perkembangan hukum Islam.
A.   Faktor Pendorong Perkembangan Tasyri’
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembanganya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, adanya penterjemahan buku-buku Yunani, persia, Romawi, dan sebagainya, ke dalam bahasa Arab.
Faktor lain yang mempengaruhi berkembanganya pemikiran adalah luasnya ilmu pengetahuan. Faktor lainnya adalah adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-Qur’an, baik yang dicatat, termasuk yang dikumpulkan dalam satu mushaf, maupun yang dihafal.

B.   Dasar Pemikiran dan Perkembangan Mazhab Hukum Islam
Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa,di antaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
1.     Aliran Hanafiah
Aliran ini didirikan oleh Abu Hanifah, yang nama lengkapnya adalah Al-Nu’man ibn Tsabit  ibn Zuthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi; pada masa Bani Umayyah selama 52 tahun dan pada masa Abbasiah selama 18 tahun. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluk kali. Sikap politiknya berpihak pada keluarga ‘Ali (Ahl Al-Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas oleh Bani Umayyah.
a.     Guru dan murid Abu Hanifah
Pada masnya, terdapat ulama yang tergolong sahabat yang masih hidup, yaitu Annas ibn Sa-ad Al-Saidi di Madinah, dan Abu Tufail Amir ibn Waillah. Diantara murid Hamad ibn Sulaiman adalah Ibn Hanifah. Selain kepada Hamad ibn Sulaiman, Abu Hanifah juga belajar fikih kepada Atha’ ibn Abi Ribbah, Hisyam ibn Urwah, dan Nafi maula Ibn ‘Umar. Di antara murid dan sahabat Ibn Hanifah adalah Yusuf Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Syaiban.

b.     Cara ijtihad Abu Hanifah
Thaha Jabir membagi cara Ijtihad abu Hanifah menjadi dua cara, yaitu cara ijtihat yang pokok dan cara ijtihad yang bersifat tambahan. Adapun yang dimaksud cara Ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan bahwa lafazh umum (‘am)badalah qath’i seperti lafazh khasah.

c.      Fiqh Abu Hanifah
Ada beberapa pemikiran Abu Hanifah dalam bidang hukum. Misalnya, ia berpendapat bahwa benda wakaf masih tetap milik waqif.

d.     Kitab Fiqh Hanafiah
Risalah Al-Figh Al-Akbar, Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, Jami’Al-Fushulain, Dlarar Al-Hukkam, Multaqa Al-Akhbar, Majmu’ Al-Anshar, dan Radd Al-Mukhtar ‘ala Al-Dlarar Al-Mukhtar yang dikenal dengan Hasyiyah ibn ‘Abidin.

2.     Aliran Maliki
Aliran ini didirikan oleh Imam Malik, yang nama lengkapnya Malik bin Anas ibn Abi’ Amr Al-Asbahi. Ia dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sebagaimana Abu Hanifah, ia termasuk ulama dua zaman. Lahir pada masa Al-Walid bin ‘Abd Al-Malik (Bani Umayyah) dan meninggal pada massa Harun Al-Rasyid (Bani Abbasiyah).
Semasa hidupnya ia menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman penguasa waktu itu.
a.     Guru Murid Imam Malik
Guru-guru Imam Malik di antaranya Abd Al-Rahman ibn Hurmuz, Nafi’ Maula Ibn Umar, dan Ibn Syihab Al-Zuhri. Gurunya dalam bidang hukum Islam adalah Rabi’ah ibn ‘ Abd Al-Rahman. Dalam  Al-Muwaththa’, Imam Malik meriwayatkan 132 hadits dari Ibn Syihab, sedangkan dari Nafi’ sekitar 80 hadits. Kalau Abu Hanifah dikenal sebagai pelanjut Ahl Al-Ra’y, maka Imam Malik dikenal sebagai pelanjut Ahl-Hadits.

b.     Cara Ijtihad Imam Malik
Menurut Al-Faayadh Al-‘Uwaniy, ada beberapa langkah ijtihad Imam Malik, yaitu megambil dari Al-Qur’an; menggunakan zhahir Al-Qur’an (lafazh ‘am); menggunakan dalil Al-Qur’an (mafhum al muwafaqah); menggunakan mafhum Al-Qur’an (mafhum al Mukhalajah), dan menggunakan tanbih Al-Qur’an (memperhatikan ‘illat). Langkah berikutnya adalah ijma’ qiyas, amalan penduduk Madinah, istihsan, sadz dzara’i, mashalih mursalah, qaul shahabiy, mura’at khilaf, istishhab, dan syar’ man qablana.

c.      Ijma’ Ulama Madinah
Ada beberapa pendapat Imam Malik yang didasarkan atas Ijma’ ulama Madinah.

d.     Pendapat Imam Malik
1)    Ulama sepakat tentang ketidakbolehkan menikah bagi wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, baik ‘iddah hamil, ditinggal mati maupun cerai (Q.S Al-Baqarah : 223 dan 234).
2)    Hanafi berpendapat bahwa salah gehana matahari dan salat gerhana bulan dilaksanakan dua rakaat dan terdapat dua rukuk dalam setiap rakaatnya.
3)    Imam Malik berpendapat bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga dirham atau seperempat dinar.


3.     Aliran Syafi’iyah
Aliran ini didirikan oleh Imam Al-SyAfi’i, yang bernama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn Al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn Al-Sa;ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd Manaf. Ia dilaahirkan di Gazza, daerah Palestina, pada tahun 150 H. Kemudian ia dibawa oleh ibunya ke Meka. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Ia lahir pada masa Abbasiyah, tepat pada zaman kekuasaan Abu Ja’far Al Manshar (137-159 H/734-774 M). Ia belajar hadits dan fikih di Mekah.
Al-Syafi’i kemudian berguru kepada Muhammad ibn Al-Hasan dan yang lainya untuk mempelajari fikih Irak.
Iamam Al-Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa pengetahuan tentang fikih Irak. Di Mesjid Al-Haram, ia mengajarkan fikih dalam dua corak, yaitu corak Madinah dan corak Madinah dan corak Irak.
Di madinah Al-Syaf’i berguru kepada Imam Malik dan Kufsah berguru kepada Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani yang beraliran Hanafi. Yaman yang menjadi gurunya adalah Muthrraf ibn Mazim, Hisyam ibn Yusuf, ‘Umar ibn Abi Salamah, dan Yahya ibn Hasan. Ulama Mekah yang menjadi Gurunya adalah Sufiyan ibn ‘uyainah, Muslim ibn Kahalid Al-Aththar, dan ‘Abd Al-Hamid ‘Abd Al Aziz. Sa’ad Al-Anshari, ‘Abd Al-Azizibn Muhammad Al-Dahrawardi Ibrahim ibn Abi Yahya Al-Aslami, Muhammad ibn Sa’ad ibn Abi Fudaik, dan ‘Abd Allah Ibn Nafi’.
Diantara muridnya adalah Al-Za’farani, Al-Kurabisri, Abu Tsaur, Ibnu Hanbal Al-Buthi, Al-Muzani, Al-Rabi’ Al-Muradi di Mesir, dan Abu Ubaid Al-Qasim ibn Salam Al-Luqawi di Irak.

a.     Cara Ijtihad Imam Syafi’i
Langkah-langkahnya ijtihadnya dapat diketahui dari perkataannya: “Asal adalah Al-Qur’an  dan Al-Sunnah”. Imam Syafi’i, seperti dikatakan Mana’ Al-Qaththan, mengatakan bahwa ilmu itu bertingkat-tingkat.
1)    Al-Qur’an dan Al-Sunnah
2)    Ijma’ terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam keduanya.
3)    Qaul sebagian sahabat tanpa ada yang menyalahi-nya.
4)    Pendapat sahabat Nabi yang saling berbeda-beda.

b.     Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Qaul Qadim adalah pendapat Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak, sedangkan qaul Jadid adalah pendapatnya yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Sebab terbentuknya qaul Qadim dan Qaul Jadid karena ia mendengar dan menemukan hadist dan fikih yang diriwayatkan ulama Mesir yang tergolong Ahl-Al-Hadits.

c.      Pendapat Al-Safi’i
Ia juga pernah memberikan kriteria pemimpin yang dianggap berkualitas, yaitu berakal, dewasa, merdeka, beragama Islam, laki-laki, dapat melakukan ijtihad, memiliki kemampuan mengatur (Al Tadbir), gagah berani, melakukan perbaikan agama, dan dari kalangan Quraisy.
Demikianlah sekilas riwayat hidup, cara berijtihad, guru-guru dan murid-murid Imam Al-Syafi’i beserta pendapat-pendapatnya.
1.     Aliran Hanbali
Aliran ini didirikan oleh Ahmad ibn Hanbal, yang nama lengkapnya adalah Abu’ Abd Allah Ahmad ibn Hilal ibn Asal Al-Saibani Al-Marwazi (164-241 H).Dia dilahirkan di Bagdad pada tahun 164 H.nia dikenal sebagai imam haditsndan memiliki kitab Al-Musnad. Pada masanya, kekhalifahan umat Islam dipegang oleh Al-Mu’tazilah Billah yang berpaham (berpihak kepada) Muktazilah. Paham Mu’tazilah dijadikannya sebagai mazhab negara, bahkan ajarannya dijadikan alat untuk melakukan mihnah.
a.     Gunu dan Murid Ahmad ibn Hanbal
Menurut Abu Zahra, ia berguru kepada Abu Yusuf (pengikut mazhab Hanafi) dalam bidang fikih. Ia juga memiliki banyak pengikut dan murid diantaranya :
-         Shalih ibn Ahmad ibn Hanbal, anak Ahmad ibn Hanbal (wafat 266 H).
-         ‘Abd Allah ibn Ahmad ibn Hanbal, anak Ahmad Ibn Hanbal ( wafat 290 H),
-         Ahmad ibn Muhammad ibn Hani Abu Bakr Al-Atsrami, seorang teman Ahmad ibn Hanbal (wafat 261 H),
-         ‘Abd Al-Malik ibn ‘Abd Al Hamid ibn Mahran Al-Maimanui, salah seorang sahabat Ahmad ibn Hanbal (wafat 271 H),
-         Ahmad ibn Muhammad ibn Al-Hajjaj yang populer dengan sebutan Abu Bakar Al-Mawardzi  (wafat 275 H).

b.     Cara ijtihad Ahmad ibn Hanbal
Pendapat-pendapat Ahmad dibangun atas lima dasar, yaitu:
-         Nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah
-         Apabila tidak didapatkan didalam nash itu, ia menukil fatwa sahabat, memilih pendapat, memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya,
-         Apabila fatwa berbeda-beda, ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada dua nash tadi,
-         Menggunakan hadits mursal dan dla’if apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, qaul sahabat, atau ‘ijma’ yang menyalahinya,
-         Apabila hadits mursal dan hadits dla’if tidak didapatkan, ia menggunakan qiyas, jika memeang terpaksa. Selanjutnya, langkah terakhir menggunakan sadz Al-Dzara’i.

4.     Aliran Al-Zhahiri
Aliran ini didirikan oleh Daud ibn ‘Ali Al-Asbahani (220-270 H) yang nama lengkapnya adalah Abu Sulasiman Daud Ali ibn ‘Ali ibn Khalaf Al-Asbahani Al-Baghdadi. Selanjutnya aliran ini dikembangkan oleh ibn Hazm (384-456 H). Ia digelari Al-Zhahiri yang juga menjadi nama aliran tersebut, karena pendapatnya tentang cara memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan makna zhahir Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Ia pertama kali belajar fikih Al-Syafi’i kepada gurunya di Baqdad, kemudian melakukan perjalanan ke Naisabur untuk belajar hadits. Adapun yang menjadi alasan ia keluar dari aliran Syafi’i, karena nash bagi Syaf’i dapat dipahami secara tersurat ataupun tersirat, sedangkan ia menolak pendapat ini. Menurutnya, Syariah hanya terkandung dalam nash; tidak ada wilayah ra’yu dalam syariah.
a.     Guru dan murid Al-Zhahiri
Sebagai pendiri sebuah aliran fikih, ia banyak diikuti muridnya seperti Muhammad (anak Al-Zhahiri), Zakaria ibn Yahya Al-Saji, Yusuf ibn Ya’qub ibn Mahran Al-Daudi dan Al-‘Abbas ibn Ahmad Al-Muidzakkir.

b.     Cara Ijtihad Al-Zhahiri
Al-Zhahiri menentang qiyas dan mengajukan dalil dalam memahami nash. Ia mempertegas ijtihadnya dengan mengatakan bahwa sumber hukum pokok hanyalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma’. Tujuan utamanya syariah adalah ta’abudi bukan ta’aquli.

c.      Fikh Daud Al-Zhahiri
Menurut Al-Zhahiri, Al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar itu bersifat makhluk (baru); sedangkan Al-Qur’an yang tertulis di Lauh Mahfudz bukan Mahkluk.

d.     Buku-buku Al-Zhahiri
Sebagai imam mahzab Al-Zhahiri banyak menulis buku, di antaranya Ibthal Al-Qiyas, Khabar Al-Wahid, Al-Akhbar Al-Mujib fi Al-‘ilm, Al-Khushush wa Al-‘Umum, Al-Mufassar wa Al-Mujmal dan Ibthal Al-Taqlid.

C.   Pelestarian Mazhab dan Akh Masa Keemasan
Mahzab Hanafi, misalnya, berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi di pemerintah tiga khalifah Abbasiyah, yaitu Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Harun Al-Rasyid. Al-Kharaj merupakan kitab yang ditulis atas permintaan khalifah Al-Rasyid.
Sulaiman Al-‘Asyqar mengatakan bahwa Dinasti Abbasiyah berjasa dalam melestarikan mazhab Hanafi dengan mengangkat Abu Yusuf sebagai Qadhi Al-Qudhat (hakim agung); Dinasti Fatimah berjasa dalam melesatarikan mazhab Isma’i’iyyah ; Dinasti Umayyah di Andalusia berjasa dalam melesatrikan mazhab Maliki; Dinasti Ayubiyah di Mesir berjasa dalam melesatrikan mazhab Al9Syafi’i; dan Dinasti Su’udiyyah di Saudi Arabia berjasa dalam melesatarikan mazhab Hanbali.






BAB VI
TASYRI ISLAM PADA MASA TAKLID DAN KEMUNDURAN
(310 H – AKHIR ABAD KE-13)

Sejak akhir pemerintahan Abbasiah, tampaknya kemunduran berijtihad sehingga sikap taklid berangsur-angsur tumbuh merata di kalangan umat Islam. Yang di maksud dengan masa taklid adalah masa ketika semangat (himmah) para ulama untuk melakukan ijtihad mutlak mulai melemah dan mereka kembali kepada dasar tasyri’ yang asasi dalam peng-istinbath-an hukum dari nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

A.   SEBAB-SEBAB TAKLID
Secara umum, sikap taklid disebabkan oleh keterbelangguan akal pikiran sebagai akibat hilangnya kebebasan berfikir.
Sikap taklid disebabkan pula oleh adanya para ulama saat itu yang kehilangan kepercayaan diri untuk berijtihad secara mandiri. Mereka menganggap para pendiri mazhab lebih cerdas ketimbang dirinya.
Sikap taklid juga disebabkan oleh banyaknya kitab fikih dan berkembangnya sikap berlebihan dalam melakukan kitab-kitab fikih. Hilangnya kecerdasan individu dan merajalelanya hidup materialistik turut mempertajam munculnya sikap taklid.

B.   PINTU IJTIHAD TERTUTUP
Adanya ketidakaturan suatu undang-undang fatwa yang harus diikuti para mufti, mendorong semua orang mengeluarkan fatwanya. Karena itulah, para ulama memploklamirkan bahwa pintu ijtihad tertutup. Mereka mengharuskan para qadhi untuk bermazhab kepada salah satu mazhab yang ada. Walaupun tidak ada data identik ‘Ali Al-Sayis, beranggapan bahwa ulama yang menyatakan ijtihad tertutup muncul pada abad IV H; didukung oleh fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ibn Jarij Al-Thabari (wafat 310 H) merupakan ulama mujtahid mustaqil terakhir. Setelahnya, ulama mengikatkan diri pada aliran fikih tertentu.
Setelah diidentifikasi, ternyata di antara alasan ijtihat dinyatakan tetutup adalah menjamurnya hubb al-dunya di kalangan ulama, terutama di kalangan birokrat Abbasiyyah. Perpecahan politikpun turut memperkeruh suasana.
Umat Islam ketika itu terpecah menjadi beberapa kerajaan; Basharah dikuasai oleh Dinasti Ra’iq, Fez dikuasai oleh Dinasti ‘Ali ibn Buwaihi, Ray dikuasai oleh Abi ‘ali Al-Husain ibn Al-Buwaihi. DIYAR Bakar dikuasai oleh Bani Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai oleh Dinasti Fatimah, dan Bahrain dikuasai oleh Dinasti Qaramithah, Khalifah hanya berkuasa di Bagdad.
Sebab lain yang ikut mendukung tumbuhnya kejumudan dengan menganggap bahwa pintu ijtihad tetutup adalah adanya perpecahan aliran fikih.
Selain itu, ada jawaban yang lebih mendasar menganggap ijtihad tertutup. Ijtihad ditutup karena munculnya keterbelengguan pemikiran atau kegiatan pengembangan ilmu. Oleh karena itu, tertutupnya ijtihad merupakan implikasi dari keadaan umum umat Islam yang sedang berada pada fase kemunduran.

C.   AKTIVITAS ULAMA DI MASA TAKLID
Masa taklid disebut juga masa para fuqaha mempropagandakan mazhab dan aliran mereka masing-masing. Mereka menulis kitab-kitab yang menjelaskan keistimewaan imam mereka masing-masing dan memberi fatwa pula bahwa orang yang bertaklid (muqalli) tidak boleh pindah dari mazhab satu ke mazhab lainnya.
Pada masa ini kitab-kitab para ulama mazhab dapat dikategorikan kepada tiga kelompok, yaitu matan, syarh, dan hasyiyah. Matan adalah kumpulan masalah-masalah pokok yang disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah. Syarh merupakan komentar dari kitab matan. Adapun hasyiyah adalah komentar dari syarh.

D.   ULAMA YANG HIDUP DI MASA TAKLID
1.     Ibn Hazm Al-Zhahiri (384-456 H)
Ia lahir di Kordova tahun 384 H. Ayahnya, Yazid, seorang menteri pada masa pemerintahan Al-Manshur dan Al-Muja’lar. Ia mempelajari dan mengikuti fikih Hanafi, fikih Maliki, fikih Syafi’i, dan fikih Hanbali.
a.     Cara istinbath hukum menurut Ibn Hazm
Beliau mengatakan bahwa adillah (sumber hukum) adalah Al-Qur’an, hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh atau mutawatir, ijma’, dan Al-dalil.
Al-dalil yang diambil dari nash sebagai berikut; pertama nash yang terdiri atas dua proposisi (muqadimah), yaitu muqaddimah kubra dan muqaddimah sughra tanpa konklusi (natijah).
Kedua, penerapan segi keumuman makna.
Ketiga, makna yang ditunjuk oleh suatu lafazh mengandung penolakan terhadap makna lain yang tidak mungkin bersesuaian dengan makna yang dikandung oleh lafad tersebut.
Keempat, apabila sesuatu tidak ada nash yang menentukan hukumnya, apakah wajib atau haram dilakukan, maka hukumnya mubah.
Kelima, qadlaya mudarajat (proposisi berjenjang), yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi dipastikan berada di atas derajat yang lain yang berada di bawahnya.
Keenam, ‘Aks Al-Qadhaya (pertentangan proposisi), yaitu pemahaman yang menyatakan bahwa setiap proposisi kulliyat senantiasa memiliki pengertian yang berlawanan dengan proposisi juz ‘iyyatnya.
Ketujuh, cakupan makna yang merupakan keharusan yang menyertai makna yang dimaksud.
Al-Dalil dari ijma’ ada empat macam; pertama, istishhab al-hal, yaitu kekalnya hukum ashl yang telah tetap berdasarkan nash sehingga ada dalil tertentu yang menunjukkan adanya perubahan.
Kedua, aqallu ma qila (target minimal atau terendah dari suatu ukuran yang diperselisihkan).
Ketiga, ijma’ ulama untuk meninggalkan suatu pendapat. Keempat, ijma’ ulama tentang universalitas hukum.

b.     Pendapat ibn Hazm
Ibn Hazm berpendapat tentang kulit bangkai yang disamak, termasuk kulit babi, anjing, dan binatang buas, suci. Apabila kulit hewan tersebut apabila telah disamak, kita dihalalkan untuk menjual kulitnya dan dibolehkan salat dengan memakai benda tersebut. Yang dikecualikan oleh Ibn Hazm hanyalah manusia. Kulit manusia, menurutnya, tidak halal disamak meskipun ia seorang kafir. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa bulu, rambut, tulang, dan tanduk hewan adalah haram sebelum disamak, dan halal apabila sudah disamak, tetapi tidak halal dimakan.

2.     ABU HAMID AL-GHAZALI (450-505 H/Wafat 1111 M
Al-Ghazali belajar fikih kepada Abi Hamid Ahmad ibn Muhammad Al-Thusi Al-Radzakani. Kemudian ia melakukan perjalanan ke Jurjan dan berguru kepada Abi Al-Qasim Isma’il ibn Mas’udah Al-Isma’ili (407-477 H). Ia lalu melanjutkan perjalanan lagi ke Nizapur dan berguru kepada Imam Al-Haramain Al-Juwaini (419-487 H).
Kitab-kitab hadits yang dipelajarinya adalah Shahih Al-Bukhari juga Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Maulid Al-Nabi Saw.

Langkah-langkah ijtihad menurut Al-Ghazali

Langkah-langkah yang dilakukan meliputi nushush Al-Kitab, hadits Mutawatir, hadits ahad.. apabila tidak didapatkan dalam tiga landasan di atas, ia menggunakan zhahir Al-Kitab. Apabila tidak didapatkan dalam empat landasan di atas, ia menggunakan ijma’ jika diketahui terdapat ijma’. Apabila dalam ijma’ pun tidak didapatkannya, ia menggunkan analogi (qiyas).

3.     Ibn Taimiah (661-728 H/1260-1328 M)
Nama lengkapnya Taqiy Al-Din Abu Al-‘Abbas Ahmad ‘Abd Al-Halim ibn Al-Imam Majd Al-Din Abi Al-Barakah ‘Abd Al-Salam ibn Muhammad Al-Khudlri ibn ‘Abd Allah ibn Taiminah Al-Harran. Beliau dilahirkan di Harran,, sebelah utara Mespotamia, sebelah tenggara Turki Modera, pada tahun 661 H, bertepatan dengan tahun 1263 M, lima tahun sesudah Bagdad jatuh ke tangan Hulaqu Khan. Ia dilahirkan dari keluarga terhormat, zuhud, wara’, dan takwa. Ayahnya dikenal sebagai orang alim, demikian juga kakeknya yang dikenal sebagai pengajar dan penghafal hadits, mufasir, ahli ilmu ushul, dan ilmu nahu. Ibnu Taimiah belajar menghafal Al-Qur’an dari ayahnya, mempelajari tafsir, ushul Al-Fiqh, mantik, filsafat, kalam, aljabar, ilmu hitung, kimia, ilmu jiwa, dan ilmu falak.
Murid-muridnya yang terkenal di antaranya Ibn Al-Qayyim, Al-Jauziyyah (wafat 751 H), yang menulis I’lam Al-Muwaqqi’in, dan Muhammad Husein Al-Dzahabi (701-748), yang menulis Al-Tafsir wa Al-Mufassirun.
BAB VII
MASA PEMBAHARUAN TASYRI’ ISLAM
(AKHIR ABAD 13 H-SEKARANG )

A.   Latar Belakang Perlunya Pembaharuan
1.     Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada pertengahan abad ke-18 M, muncul upaya reformasi (pembaharu) untuk melepaskan diri dari taklid di kalangan umat Islam. Usaha ini timbul setelah kaum Muslimin sadar akan kelemahan dan kemunduran mereak akbiat perselisihan di kalangan umat Islam sendiri.
Peradaban yang dahulu berada di tangan kaum Muslimin, beralih ke Barat. Mereka telah menemukan masa keemasannya (renaisance). Kemajuan modern di kalangan Barat, sekaligus keberhasilan mereka dalam menguasai peradaban dunia ketika itu tidak terlepas dari faktor utamanya.
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kesuksesan yang pernah di raihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemujian dilanjutkan oleh Al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku barat tentang berbagai macam pengetahuan modern, dan penulisan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan. Di antara karya Al-Tahtawi adalah Takhlis al Ibris ila Takhlish Al-Bariz Al-Muesyid Al-Amin li Al-Ban,t wa Al-Banin; Al-Qaul Al-Syadid fi Al-Ijtih, d wa Al-Taqlid.
Pada pertengahan abad ke-13 H, di Mesir, didirikan berbagai sekolah, seperti sekolah tehnik, militer, kedokteran, apoteker, pertambangan, pertanian, penerjemah.

2.     Dinasti Hukum Islam



B.   Usaha-usaha dalam Pembaharuan
1.     Penafsiran Kembali Sumber-sumber Tasyri’ (Al-Qur’an dan Al-Sunnah)
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba modern, para mujadid berusaha menafsirkan Al-Qur’an dengan disesuaikan perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng-dongeng yang bersifat Israiliyat dan Nasraniyat.
Dalam penafsiran ini Muhammad Abduh senantiasa berusaha mencari perselisihan antara Al-Qur’an dan teori-teori ilmu pengetahuan modern. Adapun tafsir yang menitikberatkan kepada ayat-ayat tasyri’ ialah tafsir Al-Qurtubi, Abu Bakar Al-Arabi, Abu Bakar Al-Jahash, dan Tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir ulama yasyri’.

2.     Memadukan Pendapat yang Bertentangan
Para mujtahid tidak terikat pada salah satu mazhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap seperti ini dikenal dengan istilah “talfik”, yakni mengamalkan suatu hukum furu’ yang zhanniy menurut ketentuan dua mazhab atau lebih.

3.     Pemurnian Tasyri’ Islam dari Bid’ah dan Khurafat
Bid’ah dapat diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Sunnah Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau itikad yang menyalahi kehendak Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Tokoh terkenal yang menetang bid’ah dan khurafat adalah Abd Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyllah Al-Dahlawi di India.
 Salah satu upaya untuk membangkitkan kembali tasyri’ Islam adalah menghidupkan kembali Ijtihad. Ijtihad, sebagaimana dikemukakan oleh Umar Syihab, dapat dikelompokkan kepada tiga macam:
-         Ijtihad i’tiqaiy (tarjih)
-         Ijtihad insyaiy
-         Ijtihad perbandingan
Ijtihad tarjih adalah memilih salah satu pendapat yang terkuat dari pendapat yang ada dalam karya-karya para mujtahid. Ijtihad insyaiy adalah mengambil kesimpulan hukum baru terhadap suatu masalah yang belum pernah dikeukakan ulama terdahulu. Ijtihad perbandingan adalah mengambil kesimpulan hukum dari sua ijtihad tadi untuk diketahui kesesuaian dengan masalah yang berlaku.
Ijtihad insyaiy tampaknya lebih relevan dengan apa yang dimaksud dalam pembaharuan hukum, karena pembaharuan hukum tersebut tidak lagi terikat pada mazhab-mazhab lama.

















DAFTAR PUSTAKA

Supiana, Karman. 1999. Materi Pendidikan Agama Islam pengantar Prof. DR. Ahmad Tafsir. Bandung : PT. Remaja Roddakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My New Style

My New Style

My Family

My Family
Miyya Kak Cintha and Family

Prambanan In Action

Prambanan In Action

Kakak Miya

Kakak Miya

PKN STAIMUS 2013

PKN STAIMUS 2013
Mahasiswa PKN dan Peserta Lomba TPQ

PKN 2013 STAIMUS

PKN 2013 STAIMUS


Entri Populer