23 Desember 2011

Apa itu QIRA'AT QUR'AN???


TUGAS ULUMUL QUR’AN
QIRA’AT QUR’AN


 







          SRI SUDARSINI / PAI
     
Semester    : III
Fakultas     :  Tarbiyah
Dosen          : Drs. Isfihani, M.Ag

Sekolah Tinggi Agama Islam Mamba’ul’ulum Surakarta
(STAIMUS)
2010





QIRA’AT QUR’AN



Pengertian Qira’at
Qira’at secara etimologis merupakan bentuk infinitif (al-mashdar) dari kata kerja (al-fi’il) qara’a yang berarti bacaan. Secara terminologis, seperti yang dikemukakan oleh al-Zarkasyi bahwa qira’at adalah perbedaan lafazh-lafazh Al qur’an baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid dan lain-lain.
Pendapat yang dikemukakan oleh al-Dimyati bahwa qira’at adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafazh-lafzh Al qur’an, baik yang disepakati maupun yang tidak disepakati (ikhtilaf) oleh para ahli qira’at (al-qurra), seperti hadzf (membuang huruf), itsbat (menetapkan huruf), tahrik (memberi harakat), taskin (memberi sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambung huruf), dan lain-lain, yang diperoleh melalui periwayatan (al-naql).
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas, ternyata qira’at mempunyai dua sumber, yaitu al-sima’ dan al-naql. Al-sima’ artinya bahwa qira’at itu diperoleh secara langsung dengan cara mendengar dari Nabi saw., sedangkan al-naql artinya qira’at itu diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira’at Al qur’an itu dibacakan dihadapan Nabi saw., lalu beliau membenarkannya.
Menurut penjelasan di atas, qira’at hanya berkisar pada cara pengucapan lafazh-lafazh Al qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabi, para sahabat dihadapan Nabi saw.lalu beliau mentaqrirkannya; diperoleh melalui periwayatan; dan terkadang hanya memiliki satu versi qira’at saja atau beberapa qira’at saja.
Ada sebagian ulama mengartikan qira’at yang dihubumgkan dengan aliran-aliran qira’at tertentu sebagai ahli qira’at yang bersangkutan dan mengembangkannya. Al-Zarqaniy, misalnya merumuskan qira’at yaitu suatu aliran yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan para imam qurra’ lainnya dalam pengucapan Al qur’an dengan kesesuaian riwayat dan thuruq (jamak dari thariq) darinya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf-hurufnya maupun dalam pengucapan bentuknya.
            Qira’at ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli atau imam qira’at) yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat ysng terkenal mengajarkan qira’at ialah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.

            Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Qira’at
            Pada permulaan abad pertama Hijriah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’ah lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Para ahli qira’at tersebut di Medinah adalah: Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, kemudian Nafi’ bin Abdurrahman. Ahli qira’at di Mekkah ialah: Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al-A’raj. Di kufah ialah: ‘Asim bin Abun Najud, Sulaiman al-A’masy, Hamzah, dan al-Kisa’i. Di Bashrah ialahL Abdullah bin Abu Ishaq, Isa Ibn ‘Amr, Abu ‘Amr ‘Ala, ‘Asim al-Jahdari dan Ya’qub al-Hadrami, dan di Syam ialah Abdullah bin ‘Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, Yahya bin Haris, dan Syuraih bin Yazid al-Hadrami.
            Ketujuh imam yang terkenal sebagai ahli qira’at di seluruh dunia di antara nama-nama tersebut ialah Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah, al-Kisai, Ibn ‘Amiir dan Ibn Kasir.
            Para sahabat Nabi saw. terkenal dalam menghafal dan membaca Al qur’an, termasuk mengajarkannya kepada para sahabat lainnya. Ketika mushaf disalin pada masa Usman, penulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga Al qur’an dibaca dalam beberapa qira’at. Adapun pengambilan Al qur’an ketika itu melalui talaqqi dan periwayatan dari orang-orang yang terkenal tsiqah (terpercaya). Talaqqi dan periwayatan ini merupakan kunci utama dalam membaca Al qur’an secara tepat dan benar seperti yang diajarkan Nabi Muhammad saw.
            Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke beberapa pelosok wilayah yang dikuasai Islam, pasca penaklukan di masa Abu Bakar dan Usman, beliau menyertakan orang-orang yang ahli dalam qira’at sesuai qira’at dalam mushaf-mushaf itu, yang qira’at diantara mereka berbeda, seperti halnya mereka mengambil Al qur’an dari sahabat yang berbeda pula. Para sahabat sendiri mengambil al-qira’at dari Nabi berbeda-beda pula. Kemudian mereka menyebar ke beberapa daerah sehingga berdampak pada para tabi’in sampai munculnya para imam qira’at.
            Setelah itu datanglah masa pengkodifikasian qira’at pertama kali yang dimunculkan oleh Abu “Ubaid bin al-Qasim bin Salam, Abu Hatim al-Syajastaniy, Abu Ja’far al-Thabary, dan Ismail al-Qadhi. Akan tetapi, dalam masa ini belum dikenal istilah qira’at sab’ah.
            Kemudian setelah tahun dua ratusan, muncul al-qira’ah para qurra’ yang dikenal dengan al-qira’ah al-sab’ah. Di penghujung abad 3 H, Abu Bakr Ahmad (Ibn Mujahid) menyusun qira’ah dalam kitabnya, Kitab al-Qira’ah al-Sab’ah. Kepopuleran tujuh qira’at semakin luas setelah Ibn Mujahid membukukan qira’ah-qira’ah para imam qurra’ kendati ada qira’ah lain yang memenuhi persyaratan sehingga harus diterima.
           
Latar belakang munculnya perbedaan qira’at
            Di jaman jahiliah, orang Arab mempunyai beberapa bahasa (dialek) yang kadang-kadang satu sama lain agak berbeda, terutama dalam cara pengucapannya. Akan tetapi mereka tetap mengutamakan bahasa Quraisy, yang dalam bahasa itu Allah menurunkan kitab suci Nya.
            Bahasa Quraisy mengatasi sekalian dialek yang hidup di jazirah Arabia yang jumlahnya waktu itu sampai puluhan dialek. Hal ini disebabkan karena beberapa factor. Antara lain :
1)      Kota Mekkah (yang memakai bahasa Quraisy) adalah pusat perniagaan dan pusat dari kegiatan sosial, budaya dan agama. Ini disebabkan di kota Mekkah ada kota suci (Baitullah/ka’bah), dan banyaknya penguasa-penguasa Arab dari daerah tersebut.
2)      Bahasa Quraisy adalah bahasa yang paling kaya dengan kata-kata asing yang telah di-Arabkan, sedangkan pada bahasa atau dialek lain tidak banyak menyerap kata asing. Dengan begitu tidak mengherankan kalau Al Qur’an turun dengan bahasa Arab Quraisy yang kaya akan bahasa asing sehingga memudahkan pengertian orang. Apalagi di kota Mekkah berkumpul ahli bahasa, sastrawan dan ahli-ahli pidato. Tidak mengherankan bila kabilah-kabilah Arab yang berdiam di sekitar kota Mekkah membaca mengucapkan ayat-ayat suci Al Qur’an itu menurut lidah dan dialek yang mereka kuasai. Hal ini lama kelamaan menimbulkan perbedaan Qira’at dikalangan mereka sendiri, sekalipun perbedaan demikian tidak prinsipil dan tidak merusak makna dari lafal ayat yang mereka baca.
Dari latar belakang linguistik itulah akhirnya timbul suatu istilah yang terkenal dengan “qira’at tujuh” (Qira’at Al qur’an yang dinisbatkan pada Imam Tujuh).

Kaidah qira’at yang sahih adalah sebagai berikut :
1.      Kesesuaian qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, sebab qira’at adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu (penalaran).
2.      Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja.
3.      Qira’at itu harus sahih isnadnya, sebab qira’at merupakan sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.

Mengutip pendapat Ibnul-Jazri, Imam Sayuthi mengatakan, bahwa menurut Sunnah, ada enam sistem qira’at:
  1. Qira’at mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berdusta.
  2. Qira’at masyhur, yaitu qira’at yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam Usmani serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at.
  3. Qira’at ahad, yaitu qira’at yang diriwayatkan dengan jalan atau sanad yang sahih akan tetapi tidak sesuai dengan mushaf Usmani, atau berlawanan dengan kaidah bahasa Arab.
  4. Qira’at mawdhu’, yaitu qira’at yang hanya dinisbahkan kepada orang yang mengucapkannya tanpa alasan (dasar).
  5. Qira’at syadz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih (cacat) dan tidak bersambung kepada Nabi saw.
  6. Qira’at mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari ayat tersebut.

Perbedaan Qur’an dan Qira’at
a.       Al qur’an adalah wahyu Allah yang terjamin keaslian dan kemurniannya semenjak turun kepada Nabi sampai ke akhir zaman. Sedang Qira’at adalah cara membaca Al qur’an itu.
b.      Pada Al qur’an tidak sedikitpun terselip rasa keraguan. Qira’at boleh jadi terdapat perbedaan antara satu riwayat dengan yang lain, sebagaimana terbukti adanya qira’at tujuh. Perbedaan Qira’at tersebut sama sekali tidak mempengaruhi kemurnian Al qur’an.

Urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya terhadap istinbath hukum
      Faedah Beraneka Ragamnya Qira’at yang Sahih
1)      Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2)      Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Qur’an.
3)      Bukti kemukjizaan Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena setiap qirs’at menunjukkan sesuatu hukum syara’ ter\rtentu tanpa perlu pengulangan lafaz.
4)      Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.

Perbedaan hukum karena perbedaan qira’at
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Berikut ini salah satu contoh perbedaan qira’at yang mempengaruhi makna yang terdapat dalam QS. AN NISA’:

Maka pada qira’at pertama antara laki-laki dan perempuan jika bersentuhan tidak membatalkan wudhu ( menurut Imam Syafi’i ), sedangkan pada qira’at kedua membatalkan wudhu (menurut Imam Hanafi).




DAFTAR PUSTAKA


Al-Qattan, Manna Khalil. 1996. Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an. Tarj. Mudzakkir AS. Bandung: Pustaka Litera AntarNusa.

As-Shalih, Subhi. 1988. Mabahis Fi Ulum Al-Quran. Beirut: Darul Ilmi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My New Style

My New Style

My Family

My Family
Miyya Kak Cintha and Family

Prambanan In Action

Prambanan In Action

Kakak Miya

Kakak Miya

PKN STAIMUS 2013

PKN STAIMUS 2013
Mahasiswa PKN dan Peserta Lomba TPQ

PKN 2013 STAIMUS

PKN 2013 STAIMUS


Entri Populer