IJTIHAD, TAQLID, ITTIBA`, TALFIQ,
HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH`I
A. IJTIHAD
1. Pengertian
Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada, yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.
Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.
2. Mujtahid dan Syarat-Syaratnya
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.
Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :
- Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
- Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat :
- Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.
- Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu :
- Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya, juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.
- Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya, perbedaan-perbedaan tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu pula cara menghasilkan daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal al Qur`an dan Sunnah yang diperlukan.
- Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh yang sudah ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya batal.
- Mengetahui masalah-masalah ijma` dan kedudukan-kedudukannya, sehingga fatwanya tidak bertentangan dengan ijma` itu.
- Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan `illat hukum serta jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari`at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad dan di dalamnya banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci).
- Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan, dan uslub-uslub.
- Alim dalam ilmu ushul fiqh.
- Memahami tujuan-tujuan syari`at yang umum dalam meletakkan hukum-hukum, sebab memahami nash-nash dan menerapkannya kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap tujuan-tujuan ini.
3. Tingkatan Mujtahidin
1. Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.
2. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.
4. Macam-Macam Ijtihad
Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam :
- Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.
- Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
- Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.
Sedangkan menurut ustadz Hakim membagi ijtihad menjadi dua, yaitu `aqli dan syar`i. Ijtihad `aqli ialah apabila hujjahnya hanya akal saja dan tidak menerima untuk dijadikan sebagai syar`i yaitu hal-hal yang semata-mata `aqli aturan-aturan yang biasanya untuk menolak kemudlaratan dan lain-lain. Sedangkan yang syar`i ialah yang memerlukan kehujjahan yaitu sebagian dari hujjah-hujjah syar`i di dalam kelompok ini termasuk ijma`, qiyas, istihsan, ishtishlah, `urf, istishab dan lain-lain.
B. TAQLID
1. Pengertian
Kata taqlid, fi`ilnya adalah qallada, yuqallida, taqliidan, artinya mengalungi,meniru, mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.
2. Hukum Taqlid
- Taqlid yang haram
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
- Taqlid yang dibolehkan
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
3. Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.
3. Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
4. Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
C. ITTIBA`
1. Pengertian
Kata “ittiba`” berasal dari bahasa Arab ittaba`a, yattabi`u, ittibaa`an, muttabi`un yang berarti “menurut” atau “mengikut”.
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
Ulama sepakat bahwa semua kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi laranganNya.
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
3. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
D. TALFIQ
1. Pengertian
Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.
Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
2. Pendapat-Pendapat tentang Talfiq
Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya.
E. HUKUM TAKLIFI
Hukum taklifi berbentuk tuntutan atau pilihan. Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi dua, yaitu; tuntutan untuk memperbuat dan tuntutan untuk meninggalkan. Sedangkan dari segi bentuk tuntutan, taklifi terbagi dua, yaitu; tuntutan pasti dan tuntutan tidak pasti. Adapun pilihan terletak antara berbuat atau meninggalkan.
Menurut jumhur ulama, hukum taklifi ada lima macam (al ahkamul al- khamsah), yaitu :
- Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu harus diperbuat. Hukum taklifi dalam bentuk ini disebut jab i, pengaruhnya terhadap perbuatan disebut b wuju, sedangkan perbuatan yang dituntut disebut wajib. Contohnya perintah shalat.
- Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, yaitu perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Tuntutan seperti ini disebut nadb, pengaruhnya terhadap perbuatan disebut nadb pula, sedangkan perbuatan yang dituntut disebut mandub. Umpamamnya memberi sumbangan ke panti asuhan.
- Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu dituntut harus meninggalkannya. Tuntutan dalam bentuk ini disebut tahrim. Pengaruh terhadap perbuatan disebut hurmah, sedangkan perbuatan yang dilarang secara pasti disebut muharram atau haram. Umpamamnya makan harta anak yatim.
- Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti, yaitu masih mungkin untuk tidak meninggalkan larangan itu. Larangan dalam bentuk ini disebut karahah, perbuatan yang dilarang secara tidak pasti disebut makruh. Umpamanya merokok.
- Titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Hukum dalam bentuk ini disebut h ibaha. perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak disebut mubah. Umpamanya berburu setelah melakukan tahalul setelah melakukan ibadah haji.
Menurut kalangan Hanafiyah, ada tujuh hukum wadh`i, yaitu :
- Fardhu, tuntutan mengerjakan dengan dalil qath`i.
- Wajib, . tuntutan mengerjakan dengan dalil zhanni
- Nadb
- Mubah
- Karahah tanzih, sama dengan pengertian karahah versi jumhur ulama.
- Karahah . Contoh, tahrim, yaitu larangan atau tuntutan dengan dalil zhanni larangan penipuan dalam jual beli.
- Tahrim (haram).
F. HUKUM WADH`I
Hukum wadh`i berbentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanakan hukum taklifi itu. Hukum wadh`i ada enam macam :
1. Sabab (sebab)
a. Pengertian Sabab
Secara bahasa (lughawi), sabab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud.
Menurut definisi para ahli, sebab adalah sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum; lazim dengan adanya tanda itu ada hukum. Dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Contoh, masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan disebut sabab, sedangkan datangnya kewajiban puasa disebut musabbab atau hukum.
Sabab tidak diketahui secara jelas oleh akal mengenai keserasian hubungan dengan musabbab, dalam hal ini kita serahkan saja kepada kehendak Allah.
b. Pembagian Sabab
1. Sabab yang berada di luar batas kemampuan mukallaf, yaitu sabab yang dijadikan Allah SWT sebagi pertanda atas adanya hukum. Umpamanya tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya shalat zhuhur.
2. Sabab yang berada di dalam batas kemampuan mukallaf, yaitu sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh ri` sya akibat hukumnya. Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng- qashar shalat.
2. Syarath (Syarat)
a. Pengertian Syarat
Abu Zahrah mendefinisikan syarath sebagai “sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim tidak adanya; tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan adanya; ada hukum.
Contoh syarat umpamanya; wali dalam perkawinan yang menurut jumhur ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali, pasti nikahnya tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah karena masih ada syarat lain, seperti; saksi, akad, dan lainnya.
b. Pembagian syarat
Syarat itu ada tiga macam :
1) Syarat `aqli, seperti kehidupan menjadi syarat untuk mengetahui adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
2) Syarat `adi, artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku. Seperti bersatunya api dengan barang yang dapat terbakar, menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
3) Syarat syar`i, yaitu syarat berdasarkan penetapan syara`, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat.
Syarat dari segi hubungannya dengan masyrut secara hukum terbagi dua, yaitu :
(i) Syarat yang kembali pada hukum taklif, baik disuruh melakukannya atau dilarang melakukannya. Contoh; syarat sucinya badan untuk shalat, dilarang adanya suami sementara (muhallil) menjadi syarat bolehnya suami kembali kepada isterinya yang telah ditalak tiga. Syarat ini jelas adanya kesengajaan dari ri`. sya
(ii) Syarat yang kembali pada hukum wadh`i, seperti haul menjadi syarat bagi kewajiban zakat. Syarat ini tidak ada kesengajaan bagi syari` untuk menghasilkannya ditinjau dari segi keberadaannya sebagai syarat.
Syarat yang kembali kepada hukum wadh`i itu ada dua :
1. Syarat syar`iyah, yaitu syarat-syarat yang ditetapkan Allah untuk terjadinya sebab atau terjadinya musabbab.
2. Syarat ja`liyah, yaitu syarat-syarat yang diperbolehkan oleh syari`.
Syarat ja`liyah merupakan perbuatan mukallaf yang dibolehkan syari`, terbagi dua :
a. Syarat yang berhubungan dengan adanya akad. Syarat ini merupakan sebagai pelengkap bagi sebab.
b. Syarat yang melengkapi musabbab, yaitu syarat yang beriringan dengan akad sehingga menyebabkan kelazimannya atau mengekalkan kelaziman itu.
3. Mani (Penghalang)
ni`, Ma yaitu sesuatu yang dari segi hukum keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud dari sebab atau hukum.
Dari definisi ini, ada dua macam ni` ma apabila dilihat dari segi sasaran uyang dikenai pengaruhnya, yaitu :
1. ni` Ma yang berpengaruh terhadap sebab. Umpamanya “hutang” menjadi ni` ma bagi orang yang berhutang meskipun jumlah kekayaannya mencapai nisab.
2. ni` yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak adanya hukum Ma meskipun ada sebab yang mengakibatkan adanya hukum. Umpamanya ayah ni` bagi hukum qishas karena membunuh anaknya, sesuai sabda menjadi ma Nabi “tidaklah diqishas seorang ayah karena membunuh anaknya”.
ni` Ma dalam kaitannya dengan hukum taklifi terbagi menjadi dua macam :
1. ni` Ma yang tidak mungkin berkumpul bersama dalam tuntutan taklifi, yaitu halangan yang berkaitan dengan hilangnya akal, umpamanya ; pingsan, tidur, gila, dan sebagainya.
2. ni Ma` yang mungkin berkumpul dengan asal taklif. ni Ma` ini ada dua macam :
a. ni` Ma yang dapat bertemu dengan asal taklif, mencabut prinsip taklifi, meskipun taklifi itu pada waktu itu dapat dilaksanakan. Umpamanya haid/nifas hubungannya dengan shalat dan sebagainya.
b. ni` Ma yang bertemu dengan asal taklif dan tidak mencabut asal taklif itu, tetapi mencabut sifat keharusannya. Jadi tuntutan wajibnya tidak berlaku lagi. ni` Ma ini ada dua macam :
1) ni` Ma yang tidak mengangkat asal taklif, tetapi mengalihkannya dari tuntutan pasti kepada kemungkinan adanya pilihan antara melakukan atau tidak. Umpamanya keadaan sakit dalam hubungannya dengan shalat Jum`at.
2) ni` Ma yang tidak mengangkat asal taklif, tetapi hanya mengangkat sifat keharusannya dan beralih kepada “tidak berdosa dan tidak menyalahi taklif”. Umpamanya semua bentuk rukhsah.
4. Shah (Sah)
Pengertian shah dalam bahasa Indonesia disebut “sah”. Digunakan secara mutlak dengan dua pandangan :
1. Shah, bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia, yaitu mempunyai arti secara hukum. Ibadah dikatakan sah, bila telah memadai dan telah melepaskan orang yang melakukannya dari tanggung jawab terhadap Allah dan telah menggugurkan dari kewajiban qadha dalam hal yang dapat diqadha.
2. Shah, bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh arti untuk kehidupan akherat. Misalnya berhaknya atas pahala dari Allah, apabila perbuatan sah dilakukan.
Jadi sah dalam bidang ibadah dan muamalah adalah telah tercapainya tujuan. Yaitu telah sesuai perbuatan yang dilakukan sesuai dengan perintah (terpenuhi syarat dan rukunnya). Dalam muamalah, sah bila diakui pembuat hukum dan menghasilkan pengaruh dan juga terpenuhi syarat dan rukunnya.
5. Bathal (Batal)
Batal adalah kebalikan dari sah. Batal mempunyai dua arti dilihat dari segi dalam bidang apa kata batal itu digunakan, yaitu :
1. Batal digunakan untuk arti “tidak berbekasnya perbuatan bagi si pelaku dalam kehidupan di dunia”. Batal dalam ibadah adalah ibadah itu belum melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban qadha. Karena menyalahi tujuan syari` dalam menetapkan amalan itu.
Muamalah dikatakan batal dalam arti tidak tercapai arti atau faedah yang diharapkan darinya secara hukum, yaitu pengalihan hak dan menghalalkan hubungan.
2. Batal digunakan untuk “tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di akherat, yaitu tidak menerima pahala”. Kemungkinannya :
a. Perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja, seperti perbuatan orang tidur.
b. Perbuatan itu dilakukan semata-mata mencari tujuannya yaitu mencari pahala.
c. Perbuatan itu dilakukan sesuai yang dikehendaki tetapi dalam bentuk keterpaksaan.
d. Perbuatan itu dilakukan sesuai yang dikehendaki dalam bentuk ikhtiyari seperti seseorang melakukan sesuatu perbuatan mubah sesudah itu diketahui itu mubah, hingga kalau sifatnya tidak mubah tentu tidak akan dilakukannya.
6. Fasid
Fasid juga kebalikan dari sah. Istilah fasid hanya berlaku dikalangan ulama Hanafiyah, itu pun berlaku hanya untuk bidang muamalah.
Dalam bidang muamalah atau akad terdapat kesepakatan dalam penggunaan arti sah, yaitu “suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak terdapat padanya mani` apa pun”. Namun dalam menetapkan hukum tidak sah terdapat perbedaan pendapat.
Menurut jumhur ulama akad yang tidak sah itu sama antara batal dan fasid, baik pada rukun maupun pada syarat atau sifatnya.
Menurut ulama Hanafiyah, bila kekurangan atau kesalahan pada rukun maka disebut batal dan tidak memberi bekas apa-apa; karena tidak terdapat sebab, dengan sendirinya tidak membawa akibat hukum.
Bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada salah satu syarat yang berkaitan dengan hukum, maka disebut fasid. Dalam bentuk ini perbuatan dapat berlangsung karena telah menghasilkan sebagian bekasnya dengan telah adanya sebab bagi hukum itu. Tapi tidak sempurna, maka harus disempurnakan kemudian. Dalam nikah umpamanya belum terdapat mahar. Akad nikah dapat berlangsung tetapi sesudah itu suami harus memberikan mahar kepada isterinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar